Sekolah bantuan Indonesia di Rakhine ‘baru dimanfaatkan’ siswa Rohingya

0
1301

Dari segi fisik, bangunan berbentuk aksara I itu tampak menonjol karena terbuat dari beton, berlantai keramik, beratap dan bercat cerah di antara gubuk-gubuk berdinding bambu dan beratap daun dengan tambalan terpal.

Di dalamnya terdapat tiga ruang dengan deretan bangku dan kursi kayu, papan tulis di depan ruang, sementara di pojok terdapat kursi dan bangku tunggal. Mulai pukul 08.00 hingga 15.00 gedung itu dipenuhi anak-anak.

“Terdapat 395 siswa di sekolah ini. Kita perlu menambah guru tetapi pemerintah hanya menyediakan empat guru. Bagaimana kami bisa mengajar dengan baik? Kami mengajar sehari penuh, kelas pagi mulai pukul 08.00 hingga 12.00. Kelas siang mulai 13.00 hingga 15.00,” kata salah seorang guru M. Amin.

Itulah gambaran sekolah bantuan dari rakyat Indonesia, yang disalurkan oleh lembaga kemanusiaan Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), untuk wilayah konflik Rakhine. Sekolah diresmikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, pada Januari 2017.

Tapi satu ruang kelas ternyata sudah bocor sehingga tak digunakan lagi.

Selama puluhan tahun, negara bagian Myanmar di bagian utara itu telah mengalami konflik sektarian antara mayoritas etnik Rakhine yang beragama Buddha dan kelompok minoritas Rohingya yang pada umumnya Muslim.

Ketika otoritas Myanmar melarang LSM internasional masuk ke daerah-daerah yang terkena dampak operasi militer di Rakhine, beberapa LSM Indonesia sudah beroperasi di sana sejak 2012, termasuk PKPU.

Gagasan awalnya, sekolah ini dimanfaatkan oleh siswa lintasetnik, seperti etnik Rakhine, Chin dan Rohingya sehingga terjadi pembauran yang mengarah ke perdamaian di tingkat generasi muda.

Namun mungkin itu tinggal harapan untuk tahap ini sebab sekolah bantuan Indonesia di Desa Hla Ma Chay, di pinggiran ibu kota Rakhine, Sittwe ini, hanya digunakan oleh siswa-siswa Rohingya.

‘Dua versi nama mirip Orba’

Empat gurunya adalah orang Rohingya, kepala sekolahnya orang Rakhine tetapi hanya datang ke sekolah pada acara-acara khusus. Mereka digaji oleh pemerintah negara bagian Rakhine.

“Mereka semua siswa Rohingya, tidak ada siswa dari komunitas Rakhine. Ada kampung di dekat sini yang dihuni oleh orang-orang Rakhine, tapi siswa yang kami didik adalah anak-anak Rohingya. Tidak ada siswa etnik Rakhine,” jelas M. Amin.Seperti orang-orang Rohingya pada umumnya di Myanmar, ia punya dua nama: M Amin nama Rohingya dan Maung Chit Khin, nama Myanmar. Kondisi ini sama dengan zaman Orde Baru di Indonesia ketika warga negara dari keturunan Cina lazimnya mengadopsi nama setempat.

Saya juga tanyakan kenapa tidak ada siswa dari etnik lain di sekolahnya padahal di dekat lingkungan sekolah itu ada desa yang dihuni komunitas lain.

“Kenapa? Saya tidak tahu. Kami mengajar anak-anak Rohingya. Anak-anak dari etnik Rakhine belajar di sekolah-sekolah lain. Sebelum kerusuhan, di sekolah yang lama sebelum dibangun gedung baru ini, gurunya adalah orang Rakhine.

“Tetapi setelah kekerasan terjadi, para guru tidak datang lagi untuk mengajar anak-anak Rohingya ini. Saya tidak tahu kenapa mereka tidak mengajar siswa Rohingya lagi, tetapi saya pikir mereka membenci orang-orang Muslim Rohingya.”

Seorang pengamat mengatakan ada jalan ke luar atas sentimen negatif terhadap kelompok Rohingya -yang oleh Myanmar tidak dianggap sebagai warga negara tetapi sebagai pendatang dari Bangladesh sehingga dipanggil ‘orang-orang Bengali atau orang-orang Muslim’.

Cendekiawan asal Rakhine, Aung Myo Oo, berpendapat diperlukan niat baik dari kelompok-kelompok yang bertentangan di masyarakat untuk mengatasinya.

“Di tataran lapangan, kita harus mengukur tingkat toleransi baik dari kelompok Rakhine maupun komunitas lain dan melihat hal yang menjadi kesamaan untuk hidup berdampingan. Pada akhirnya mereka hidup di atas tanah yang sama meskipun permukimannya terpisah-pisah. Mereka minum air dari sumber yang sama,” jelasnya.

Rekonsiliasi lewat pendidikan?

Sayangnya, menurut Aung Myo Oo, untuk tahap sekarang mereka tampaknya belum siap berdamai karena belum mencapai pijakan bersama tentang bagaimana akan menyelesaikan konflik agama, ekonomi dan kehidupan sosial.

Di sisi ekonomi, misalnya, komunitas Rakhine menuding Rohingya mencaplok tanah leluhurnya, sedangkan kelompok Rohingya bersikukuh Rakhine adalah tanah leluhurnya pula.

Mungkin, jelas Aung Myo Oo, ketegangan dapat ditekan jika pola pikir generasi muda mulai diubah mengarah ke rekonsiliasi, hidup berdampingan, dan saling menerima.

Tapi tampaknya hal itu tidak tercermin dalam kurikulum yang diikuti anak-anak di sekolah di Hla Ma Chay, yang mengikuti kurikulum nasional Myanmar, termasuk mata pelajaran wajib geografi, bahasa Myanmar, dan pendidikan kewiraan yang mengajarkan kecintaan pada negara.

Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Ito Sumardi, yang turut berperan dalam pendirian sekolah bantuan Indonesia, mengesampingkan anggapan bahwa sekolah itu tidak inklusif dan gagal menjadi titian perdamaian di wilayah konflik.

“Kepala sekolahnya beragama Buddha, murid-muridnya kebanyakan orang Muslim. Kenapa komunitas Buddha di sana kurang memanfaatkan? Karena memang sekolah dibangun di tempat yang mayoritas warganya adalah orang Muslim,” jelas Dubes Ito Sumardi.

Namun kepala sekolah yang disebutkan oleh Duta Besar Ito Sumardi hanya datang dalam acara-acara khusus sehingga tidak terlibat langsung dalam kegiatan belajar mengajar setiap hari.

Ito Sumardi meyakini pendidikan dan fasilitas-fasilitas lain yang direncanakan akan dibangun pada akhirnya akan dapat merangkul semua kelompok masyarakat.

“Jadi kita kalau melihat bantuan dari Indonesia yang di Sittwe itu memang situasinya belum kondusif, kemudian keinginan masyarakat di situ untuk sekolah masih rendah. Tapi itu adalah salah satu upaya untuk bagaimana, melalui pendidikan, melalui pasar yang direncanakan, melalui rumah sakit, di situlah bisa berkumpul semua komunitas karena mereka secara umum membutuhkannya.”

Bagaimanapun, para siswa dari kelompok Rohingya, berharap mereka dapat menimba ilmu sebanyak mungkin dari sekolah SD ini untuk mewujudkan cita-cita mereka.

“Saya ingin menjadi insinyur setelah lulus sekolah,” ungkap Ebdullah, 11.

“Saya ingin menjadi guru,” kata Um Habiba, 10.

Mereka mungkin masih terlalu belia untuk memahami bahwa setelah lulus dari sekolah ini, maka akses ke pendidikan yang lebih tinggi sangat terbatas bagi mereka.

Soalnya, kelompok etnik mereka tak masuk dalam daftar 135 etnik yang resmi diakui di Myanmar sehingga mereka tidak boleh masuk ke sekolah-sekolah negeri. Adapun untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi swasta akan terhambat oleh biaya.

Untuk sementara inilah sarana pendidikan resmi di Desa Hla Ma Chay yang menjadi tumpuan bagi 1.700 penduduk Rohingya itu.

Sumber : bbc.com