‘Disuruh menyanyi lagu wajib’: Kemenkeu benahi prosedur penerimaan beasiswa LPDP

0
1204

Kementerian Keuangan melakukan pembenahan pengelolaan dan mekanisme penentuan awardee (penerima beasiswa) Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), sebuah badan berdana triliunan rupiah, yang bernaung di bawah kementerian tersebut.

Hal ini untuk menindaklanjuti kritikan tajam terkait proses wawancara seleksi program beasiswa LPDP yang dianggap berbau SARA, intimidatif dan tidak relevan, ujar Pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama LPDP Luky Alfirman.

“Itu jadi bahan perbaikan buat kami karena kami juga sedang membuat semacamimprovement, perbaikan di LPDP. Masih on going, nanti akan kami sampaikan,” ujar Luky kepada BBC Indonesia, Senin (20/11).

Saat ini sudah ada tim khusus untuk membenahi seluruhnya mulai dari tata kelola, proses rekrutmen, manajemen awardee dan alumni.

Komitmen ini juga ditegaskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani ketika menghadiri perayaan 65 tahun Fullbright (lembaga beasiswa Amerika Serikat), pekan lalu.

“Saya tahu bahwa akhir-akhir ini sedang viral (diskusi) soal rekruitmen LPDP, dan saya sekarang sedang dalam proses mereformasi dan memperbaiki manajemen, baik dalam hal rekrutmen awardee dan manajemen alumni,” ujar Sri Mulyani.

Pegiat isu gender dan hak asasi manusia, Tunggal Pawestri yang pertama kali memantik proses seleksi yang janggal ini merespons positif reaksi dari Kemenkeu terkait persoalan ini. Namun, ia berharap bahwa ‘ini tidak hanya jawaban diplomatis saja’.

“Jadi memang benar-benar ada upaya serius, perombakan, benar-benar ada evaluasi dan ada rekomendasi yang dijalankan dari evaluasi tersebut,” katanya.

Disuruh menyanyi lagu nasional

Pengalaman ganjil selama wawancara seleksi penerima beasiswa LPDP antara lain dialami oleh Pocut Hanifa. Tahun 2013, perempuan ini mendaftar sebagai penerima beasiswa untuk meneruskan studi S2 jurusan Southeast Asian Studies di Universitas Leiden, Belanda.

Pada saat itu ia diwawancara oleh empat pewawancara, salah satunya adalah psikolog. Wawancara dilakukan via Skype pada pukul 02.00 dini hari waktu Belanda.

“Pertanyaan yang saya dapatkan seperti, ‘Oh kamu orang Aceh ya?’ Waduh berarti nanti kalau misalnya udah balik, baliknya mau ke Aceh atau Indonesia nih? Suporter GAM juga dong?”

“Habis itu saya ditanya lagi, ‘Oh kamu dulunya Islamic University di Malaysia, berarti pakai jilbab dong. Sekarang udah nggak pakai jilbab lagi ya? Apakah di sana ada tekanan, merasa tertekan atau bagaimana?’ Saya jawab saya punya alasan pribadi, Pak untuk urusan jilbab.”

“Habis itu kembali ditanya, ‘Oh kamu S1-nya di Malaysia ya? S1-nya di Malaysia, habis itu S2-nya di Belanda, berarti kamu sudah kontribusi apa sama negara? Di situ saya bilang, ya kontribusi sama negara nggak harus ada dalam negara, Pak. Saya selama di Malaysia dan Belanda saya banyak aktif di domestic workers.”

“Ditanya juga ‘apakah sudah berkeluarga? Berarti nanti kalau calonnya dapat orang sana gimana dong?’ Menurut saya, itu pertanyaan-pertanyaan yang tidak dalam konteksnya di sini.”

“Habis itu, saya ditanya ‘Kalau kamu masih orang Indonesia, coba tolong sebutkan dan jelaskan semua simbol negara, simbol yang ada di Pancasila’. Saya akhirnya cuma bisa jawab dua, itu juga karena ada teman saya yang ngebantu. ”

Yang lebih konyol lagi, Hanna pula diminta untuk menyanyi lagu kebangsaan dan lagu daerah.

“Saya disuruh nyanyi lagu wajib [pada] jam 3 pagi. ‘Coba kamu nyanyiiin tiga waktu wajib, tapi yang bukan Indonesia Raya. Nyanyi lah saya malam malam lagu ‘Syukur’ dan ‘Maju Tak Gentar’. Mungkin orang ketawa, tapi interview saya disuruh nyanyi. Nggak masuk akal orang ketika di interview disuruh nyanyi.”

Bias lain: seksualitas

Pengalaman buruk Pcut Hanifa adalah satu dari sekian banyak peristiwa dalam wawancara proses seleksi pemberian beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang dinilai tak profesional karena alih-alih berbicara tentang bidang studi atau hal keilmuan, malah menanyakan urusan agama, suku, hingga rumah tangga yang bersifat pribadi.

Fenomena ini mengemuka setelah Tunggal Pawestri menulis pesan di Twitter awal bulan ini, berbunyi, “Jika ada yang saat wawancara beasiswa LPDP ditanya oleh tim seleksi kenapa tak berjilbab atau pertanyaan aneh lainnya, DM (Direct Message) saya, ya.”

Setelah beberapa jam, testimoni dari orang yang mengalami langsung atau mendengar cerita dari teman atau pasangannya terkait pengalaman janggal dalam seleksi LPDP memenuhi kotak pesannya.

“Di situ saya langsung mengumpulkan data, dan ternyata bukan hanya terkait soal agama, tapi ada cerita-cerita lain yang terkait isu seksualitas, kemudian ada soal promosi nikah di acara resminya LPDP,” ungkap Tunggal.

“Lalu ada komentar-komentar yang menurut saya tidak patut disampaikan pada saat wawancara, termasuk hal-hal SARA,” imbuhnya.

Dari 55 orang yang terdiri dari 14 laki-laki dan 41 perempuan, yang mengalami langsung pertanyaan atau komentar janggal dari pewawancara, ia lalu membuat riset kecil.

Temuannya, hampir semua responden perempuan mendapatkan pertanyaan bias SARA dan bersifat privat, menyangkut pasangan, dan anjuran pernikahan.

“Pertanyaan tentang nanti kamu kalau keluar negeri nanti kamu punya pacar ‘bule’, atau kalau buat yang belum menikah akan ditanya ‘kamu nanti dapat pacar bule, tinggal di sana dong?’ atau ‘bagaimana nanti kamu kalau dapat bacar bule?”

Fenomena lain, soal seksualitas. Misalnya, pelamar yang skripsi atau tesisnya mengupas isu seksualitas, atau si calon penerima beasiswa ini berpenampilan yang dianggap ekspresi gender, maka ia akan ditanyai pertanyaan seputar isu seksualitas.

“Bahkan ada satu orang yang memang dia identitas gendernya berbeda dengan ketika dia sedang wawancara, jadi apa yang ada di dokumen bebeda dengan identitas gender dia ketika diwawancara.”

“Dia tidak lolos. Kata dia, dia pernah menanyakan itu dan alasan tidak lolosnya karena identitas gendernya,” ujar nya kemudian.

Kendati begitu, ia mengakui bahwa riset kecilnya ini tidak secara keseluruhan mewakili pengalaman ribuan penerima beasiswa LPDP.

Hingga Agustus 2017, LPDP telah memberikan beasiswa kepada 16.887 pelajar dan sebanyak 47% siswa menempuh pendidikan di luar negeri sedangkan sisanya di dalam negeri.

Berdasarkan data per September 2017, dana abadi yang dikelola LPDP mencapai lebih dari Rp20 triliun, yang sebagian berasal dari pajak yang dipungut pemerintah.


Berdasar pedoman untuk wawancara dalam Petunjuk Teknis Penilaian Dokumen dan Wawancara yang dikeluarkan oleh LPDP, tampak bahwa pertanyaan-pertanyaan janggal dan penuh bias yang diajukan kepada calon penerima beasiswa tidak ada acuannya dalam manual itu.

Artinya, pertanyaan-pertanyaan tersebut ‘kemungkinan merupakan penyimpangan yang dilakukan para pewawancara’.

Menyikapi hal tersebut, Lucky menegaskan proses rekrutmen pewawancara juga menjadi bahan evaluasi.

“Betul, itu yang akan kita lakukan. Interview itu kita punya komitenya, yang ada sembilan orang yang memilih interviewer, kebanyakan kombinasi antara akademisi dan psikolog. Itu interviewernya,” kata Luky.

Ia melanjutkan bahwa seiring dengan perbaikan menyeluruh yang dilakukan, pemerintah tetap melanjutkan program beasiswa ini.

“Kami bukannya defence, ini akan jadi masukan buat kami. Tapi kemarin kita sudah mengirimkan 15.000 orang awardee-nya. Apakah dengan kasus ini semua kan berhenti, kan nggak seperti itu. Tetap kita akan perbaiki terus kok,” ujarnya.

Kendati begitu, Tunggal mengusulkan agar selain menggunakan evaluator di internal, Kemenkeu juga bisa mengundang evaluator eksternal sehingga data yang diperoleh lebih maksimal.

“Mereka kelihatannya nyaman berbicara dengan saya karena saya orang luar. Nah, mungkin mereka harus menggunakan cara itu. Jadi ada eksternal evaluasi,” jelas Tunggal.

Selain itu, ia pula merekomendasikan agar mekanisme wawancara seleksi juga diperbaiki.

“Kalau niatnya adalah untuk mengetahui apakah nanti awardee-nya akan mengalami hambatan di luar negeri ketika dia studi, maka menurut saya pertanyaan itu harus dipisahkan. Jangan masuk skema skoring,” ujarnya.

Prinsipnya, lanjut Tunggal, kalau orang tersebut mengalami kesulitan dan berprestasi, maka pemerintah harus membantu. Misalnya, dengan memfasilitasi perlakuan atau intervensi khusus terhadap mahasiswa ini.

Ia pula mengusulkan untuk pertanyaan seputar kondisi psikologi si calon penerima beasiswa, semestinya dilakukan secara terpisah, tidak dalam wawancara panel dengan tiga pewancara seperti yang selama ini terjadi.

“Jadi kalau mau, pisahkan. Kalau memang ada pertanyaan yang terkait dengan psikologi, ya itu tidak di wawancara yang bertiga. Saya bayangkan wawancara seperti itu akan menghambat teman-teman survivor sexual violence, kalau dia pernah mengalami kekerasan seksual kemudian pewawancara tidak punya pretensi apa pun untuk bertanya, tapi kemudian pelamar tidak siap ditanya hal yang mendalam, itu akan membuka trauma,” katanya.

Sumber : bbc.com