Menteri terbaik dunia: Mengapa Sri Mulyani layak mendapatkan predikat itu?

0
973

Ketika mendengar bahwa Sri Mulyani mendapat penghargaan sebagai Menteri terbaik dunia di World Development Summit di Dubai, saya tak terlalu terkejut. Bahkan mungkin, menurut saya, penghargaan ini agak terlambat. Seharusnya ia memperoleh predikat itu sejak beberapa tahun lalu.

Mengapa? Banyak studi yang menunjukkan bahwa salah satu pilar utama stabilitas makroekonomi Indonesia adalah stabilitas fiskal.

Ketika Sri Mulyani kembali ke Indonesia untuk menjadi Menteri Keuangan pada tahun 2016, ia memastikan bahwa kebijakan fiskal kita kredibel. Secara berani ia memotong anggaran sekitar Rp140 triliun, untuk memastikan bahwa anggaran pemerintah realistis, kredibel dan memberikan fondasi yang kokoh bagi struktur ekonomi Indonesia.

Tentu tak semua setuju. Kebijakan ini dianggap procyclical, tidak mendorong pertumbuhan. Padahal dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang melambat, yang harus dilakukan adalah ekspansi fiskal.

Kritik ini tentu saja ada benarnya. Namun jangan dilupakan, sebelum ekspansi fiskal dapat dilakukan, harus dipastikan dulu, bahwa anggaran pemerintah berkelanjutan (sustainable). Bila tidak, itu akan membahayakan perekonomian.

Kita belajar dari pengalaman Brazil, bagaimana defisit anggaran yang tak terjaga mengakibatkan perekonomian Brazil terpuruk, terutama setelah Taper Tantrum 2013.

Kita juga belajar dari pengalaman Yunani, bahwa defisit anggaran yang dibiayai oleh utang yang terlalu besar membawa perekonomian mereka kedalam krisis.

Selain itu, tentu kita harus mencatat: bahwa defisit anggaran di Indonesia yang meningkat tajam tahun 2015-2016, lebih disebabkan oleh rendahnya realisasi penerimaan pajak, akibat target pajak yang terlalu tinggi. Dan ini menggoyahkan kepercayaan orang kepada fondasi makroekonomi kita.

Sri Mulyani mengembalikan keberhati-hatian fiskal (fiscal prudence).

Saya ingat, dalam sebuah diskusi informal dengan Sri Mulyani, saya mengatakan beruntung sekali langkah itu diambil sebelum Trump menjalankan kebijakan pemotongan pajaknya dan sebelum the Fed merencanakan untuk mempercepat kenaikan bunga. Bila tidak, kekuatiran akan fiskal yang tak kredibel akan mendorong arus modal keluar jauh lebih besar dibanding beberapa waktu lalu.

Tentu kita harus mencatat: ke depan kebijakan fiskal harus bergerak lebih dari sekedar penopang stabilitas makro, itu harus menjadi instrumen countercyclicaldalam perekonomian. Namun ia membutuhkan tahapan.

Kita sudah mulai melihat arah itu sekarang. Pertumbuhan ekonomi 2018 berpeluang untuk tumbuh lebih baik dibanding tahun 2017. Fondasi makro yang baik membantu hal ini.


Kebijakan fiskal procyclical adalah saat pemerintah memilih untuk meningkatkan belanja negara dan mengurangi pajak ketika ekonomi sedang baik, namun mengurangi belanja dan meningkatkan pajak saat resesi.

Sebaliknya, kebijakan fiskal countercyclical, pemerintah mengurangi belanja dan meningkatkan pajak selama ekonomi sedang baik, dan mengurangi belanja dan memotong pajak selama resesi.


Mungkin karena hal ini, Sri Mulyani pantas dinobatkan sebagai menteri terbaik dunia versi World Government Summit.

Namun bagi saya, Sri Mulyani melangkah lebih jauh dari itu.

Ia tak hanya melakukan tugas utama Menteri Keuangan: memastikan kesinambungan fiskal dan menggunakan fiskal sebagai instrumen untuk pertumbuhan, stabilitas dan alokasi anggaran untuk mencapai target pembangunan seperti mengurangi kemiskinan, perbaikan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur.

Sri Mulyani bergerak lebih jauh. Dan hal ini dilakukannya jauh sebelum ia mendapatkan penghargaan ini.

Bagi saya kontribusi yang luar biasa dari Sri Mulyani adalah pembangunan institusi di Kementerian Keuangan. Sayangnya tak banyak media lokal atau studi di Indonesia dibuat tentang ini.

Tahun 2015 saat saya menjadi Senior Fellow di Harvard Kennedy School, saya diundang oleh Princeton University untuk memberikan ceramah tentang Taper Tantrum. Tetapi yang menarik adalah mereka meminta saya juga untuk menjadi pengajar tamu disalah satu kelas dan membagi pengalaman reformasi di Kementeri Keuangan.

Princeton University memang menulis sebuah studi kasus tentang reformasi di Kementerian Keuangan berjudul: Changing a Civil Service Culture: Reforming Indonesia Ministry of Finance: 2006-2010

Saya cukup beruntung karena terlibat didalam proses reformasi itu, sebagai Staf Khusus Menteri Keuangan ketika itu. Bagi saya, ini adalah kontribusi Sri Mulyani yang luar biasa.

Mereka yang memiliki interaksi yang cukup intens dengan Kementerian Keuangan akan melihat perbedaan yang fundamental sebelum dan sesudah tahun 2006.

Pembenahan institusi dilakukan secara menyeluruh. Ditata dengan sabar, tidak mudah. Termasuk upaya pemberantasan korupsi di bea cukai dan pajak. Masih jauh dari sempurna, namu upaya perbaikan dilakukan. Upaya pelayanan ditingkatkan. Tentu, hasilnya belum sepenuhnya memuaskan.

Bahkan di banyak sisi kita masih melihat berbagai kelemahan. Namun kita memang melihat Kementerian Keuangan yang berbeda setelah reformasi institusi dimulai pada tahun 2006.

Saya menyaksikan bagaimana proses reformasi institusi dilakukan dengan gigih. Tak mudah, kadang menimbulkan rasa frustrasi. Kerap kali Sri Mulyani juga tersulut emosinya.

Ketika saya menjadi Menteri Keuangan di periode 2013-2014, proses ini dilanjutkan, dan saya merasakan bahwa tugas Menteri Keuangan menjadi lebih mudah, karena — walau masih jauh dari sempurna — Kementerian Keuangan sudah memiliki sistem yang lebih baik dalam hal standar, prosedur, evaluasi kinerja dan sebagainya.

Tak heran bagi saya bila pada tahun 2016 Princeton University merilis studi kasus Kementerian Keuangan.

Karena itu saya tak terkejut ketika membaca rilis resmi tanggal 11 Februari 2018 dari Sri Mulyani: “Berbagai upaya reformasi kebijakan telah dicanangkan di Kementerian Keuangan, bertujuan untuk mendorong kebijakan fiskal menuju pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Reformasi birokasi di Kementerian Keuangan juga sudah membuahkan banyak hasil.”

Sri Mulyani benar. Itu sebabnya saya mengatakan bahwa ia berhak mendapat penghargaan itu sejak beberapa tahun lalu.

Tentu, keberhasilan ini, bukanlah keberhasilan individu. Seperti yang dikatakan Sri Mulyani, ia cukup rendah hati untuk mengatakan bahwa ini adalah keberhasilan kolektif, dan tentunya pengakuan akan keberhasilan Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Presiden Joko Widodo.

Saya mengenal Sri Mulyani cukup lama. Satu hal yang tak pernah saya lupakan adalah pengalaman kami di G-20. Saya ringkaskan sedikit disini.

Dalam pertemuan G-20 di Pittsburgh, Presiden Obama meminta Indonesia untuk membagikan pengalamannya dalam menurunkan subsidi BBM. Kita ingat pada tahun 2005 dan 2008, Indonesia menaikkan harga BBM dan mengalokasikan subsidinya untuk rakyat miskin melalui program BLT.

Mungkin aneh bagi sebagian diantara kita, mengapa kebijakan yang di dalam negeri dicaci maki habis-habisan, justru dianggap cerita sukses dan patut contoh oleh negara-negara anggota G-20.

Siang itu, Presiden Yudhoyono sudah siap untuk memberikan paparannya. Sayangnya, waktu sangat terbatas, sehingga Presiden SBY tak jadi bicara.

Tentu kami semua — saya ingat yang ada di ruang pertemuan itu adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani, juru bicara Presiden Dino Djajal, Mahendra Siregar dan saya sebagai Deputi Menteri Keuangan untuk G-20 — merasa amat kecewa.

Kami berusaha meminta keterangan dari delegasi Amerika Serikat, tapi jawabannya tak memuaskan karena yang memimpin sesi itu adalah Obama sendiri. Mereka tentu tak berani menanyakan kepada Obama.

Saya ingat Sri Mulyani setengah berbisik kemudian mengatakan, “Sepertinya saya mesti ngomong langsung dengan Obama kalau begini”. Saya kira dia bergurau. Tetapi kemudian saya sadar, Sri Mulyani serius dengan ucapannya.

Ia menghampiri Presiden Obama yang baru memasuki ruangan setelah jeda makan siang. Mereka berbicara berdua. Saya kebetulan berada kurang lebih dua meter di belakang Sri Mulyani, sehingga saya mendengar percakapan diantara mereka.

Dengan terus terang — khas Sri Mulyani — ia menyampakan kekecewaannya. Ia mengatakan bahwa Presiden Obama sudah meminta Indonesia untuk memberikan pidato, tetapi waktunya habis. Karena itu ia meminta Presiden Obama menyampaikan maaf kepada Presiden SBY dan memberikan kesempatan di sesi berikutnya.

Saya terkejut.

Presiden Obama — saya kutip dari ingatan — tersenyum dan mengatakan, “Itu kesalahan saya, saya minta maaf, saya akan berikan kesempatan di sesi berikutnya.” Setelah itu saya lihat Presiden Obama menghampiri Presiden SBY dan berbicara berdua.

Dan di sesi berikutnya, Presiden Obama meminta maaf secara terbuka, dan meminta Presiden SBY untuk menyampaikan pidatonya.

Sri Mulyani kelihatan tersenyum. Sambil bercanda kami mengatakan kepada Sri Mulyani: sebetulnya ia lebih cocok menjadi Menteri Pertahanan ketimbang Menteri Keuangan!

Ini adalah anekdot kecil tentang Sri Mulyani. Tentu bukan karena itu, ia dinobatkan sebagai Menteri terbaik dunia oleh World Development Summit.

Bagi saya reformasi kelembagaanlah kontribusinya yang luar biasa. Hal ini persis seperti yang kita lihat sebagai salah satu agenda utama Presiden Joko Widodo untuk memperbaiki ease of doing business (kemudahan melakukan usaha): mempermudah perijinan, menghapus regulasi yang berbelit.

Reformasi inilah yang akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Selamat!

Sumber : bbc.com