Mitos Seputar Profesi Data Scientist

0
1317

Profesi data scientist atau ilmuwan data merupakan salah satu karier yang paling seksi seiring industri teknologi berkembang. Namun popularitasnya mengundang sejumlah mitos mengenai data scientist.

Ainun Najib, Head of Business Data Platform Grab, mengumpulkan setidaknya ada lima mitos seputar ilmuwan data yang ‘melegenda’.

“Mitos pertama adalah data scientist musti ada dalam bisnis,” kata Ainun yang namanya sempat dikenal sebagai salah satu penggagas situs KawalPemilu.org saat ditemui di Jakarta, Kamis (22/3).

Menurut Ainun, kebutuhan akan ilmuwan data belum diperlukan apabila pengambilan keputusan suatu organisasi belum berbasis data (data-driven). Profesi data scientist kemudian jadi meroket lantaran entitas bisnis yang mencarinya begitu banyak kendati mekanisme kerja mereka belum sepenuhnya berbasis data.

Mitos berikutnya yang ia jabarkan adalah mayoritas waktu yang dihabiskan ilmuwan data berkutat pada hal-hal sederhana. Dari pengalamannya, Ainun yakin ilmuwan data sebentar saja mengurusi algoritma dan hal-hal rumit lainnya. Padahal waktu mereka lebih banyak dicurahkan untuk mengeksplorasi data dan bersih-bersih data yang kurang valid.

Kendati demikian, Ainun menegaskan profesi ilmuwan data bukan pekerjaan sembarang. Ia berpendapat ada mitos bahwa semua orang bisa menjadi ilmuwan data, padahal hanya mereka yang punya latar belakang relevan yang bisa berkarier di sana.

Sementara itu ada pula yang beranggapan bahwa untuk menjadi ilmuwan data harus punya titel akademik PhD. Ainun merasa tidak demikian.

“Tidak perlu memiliki PhD untuk jadi data scientist,” ujarnya.

Andreas Hadimulyono, Warehouse Engineer Grab, berkata profesi yang berkenaan dengan data saat ini memang sangat dicari. Tak heran prestise dari profesi ini cukup tinggi sehingga mengundang bermacam-macam cerita mengenainya.

Padahal, kata Andreas, menjadi ilmuwan data juga ada dukanya. Misalnya adalah mengejar kecanggihan pengolahan data yang larinya begitu cepat.

“Apa yang kita pelajari sekarang mungkin enggak akan dipakai lagi dalam tiga tahun ke depan,” tukas Andreas.

Kembali menurut Ainun, istilah ilmuwan data saat ini sudah terlampau populer. Analisisnya adalah ketimpangan antara kebutuhan yang besar dengan ketersediaan yang minim.

“Dan ini terjadi tidak hanya di Indonesia tapi juga secara global,” pungkas Ainun.