Dukungan Warga Selandia Baru Setelah Serangan Masjid: ‘Kita Tak Takut Lagi’

0
635

Pemandangan yang tampak pada salat Jumat pertama pasca teror penembakan di dua Masjid di Christchurch, Selandia Baru yang merenggut 50 nyawa, membuat Ibnu Sitompul, mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di kota ini, tak lagi merasa takut berkegiatan dan beribadah secara terbuka.

“Melihat tadi masyarakat lokal memberi support yang cukup besar, kita merasa amanlah, sudah tak takut lagi,” kata Ibnu mahasiswa program doktoral di Fakultas Hukum, Universitas Canterbury, kepada Arin Swandari untuk BBC News Indonesia, Jumat (22/03).

“Tadi juga di jalan-jalan sudah banyak yang lalu lalang memakai jilbab,” tambah Ibnu.

Ibnu menuturkan, salat Jumat digelar di Hagley Park, sebuah lapangan di seberang masjid Al Noor, satu dari dua masjid di mana pelaku penyerangan, Brenton Tarrant, menembaki para jemaah.

Sampai Jumat ini, masjid Al Noor dan masjid-masjid lain di Christchurch masih ditutup. Walaupun demikian, masjid Al Noor yang awalnya penuh peluru sisa-sisa penembakan, dicat dan dibersihkan sebelum salat Jumat dilangsungkan, ungkapnya.

Mahasiswa asal Bandung, Jawa Barat ini kemudian bercerita bahwa salat Jumat digelar di taman di dekat masjid tersebut.

Di lokasi itulah, Perdana Menteri (PM) Selandia Baru, Jacinda Ardern, untuk menyampaikan pidato solidaritas yang memukau.

Warga kemudian mengheningkan cipta selama dua menit selepas panggilan solat tersebut dikumandangkan, ungkap Ibnu.

Bangga kepada warga Selandia Baru

Dia juga menyaksikan polisi dan warga Christchurch menjaga para jamaah yang salat.

“Bahkan kalau dilihat mereka jumlah lebih banyak daripada yang salat, mereka berdiri di belakang shaf perempuan, ramai mereka berbaris berkumpul di situ,” ungkap Ibnu, Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Christchurch.

Ibnu mengaku sepanjang salat jumat merasa aman. “Terlebih banyak saudara-saudara yang datang dari negara lain, volunteer dari Malaysia dan Australia, kita merasa terobati, mereka juga ikut salat Jumat,” tambahnya.

Salat Jumat, yang dipimpin oleh Imam Masjid Al Noor Gamal Fouda, Ibnu menyaksikan betapa jamaah salat jauh lebih ramai ketimbang sebelumnya.

“Saya hampir setiap Jumat mendengarkan kutbah, tapi ini yang paling bikin sedih, tapi juga bangga orang-orang New Zealand yang begitu support,” ungkapnya.

Dalam kutbahnya, menurutnya, Imam Gamal Fouda menekankan bahwa korban serangan adalah mati syahid, dan kita (umat Islam) disupport oleh perdana menteri yang baik, dan warga negara New Zealand yang baik, yang menjadi contoh di seluruh dunia.

Kaum perempuan Selandia Baru mengenakan kerudung

Mengikuti jejak sang perdana menteri yang berkerudung sebagai tanda solidaritas, menurut Ibnu, para perempuan non-Muslim juga mengenakan kerudung.

“Bahkan polisi-polisi yang perempuan juga mengenakan jilbab, orang-orang yang datang dan orang-orang di belakang juga pakai, bahkan di jalan-jalan saya lihat satu dua juga pakai,” kata Ibnu.

Sikap solidaritas seperti itu, demikian Ibnu, membuatnya merasa aman. Hal yang sama, katanya, juga dirasakan para anggota Perhimpunan Mahasiswa Indonesia “tidak takut lagi” dan “kembali beraktivitas normal”.

Usai salat Jumat, Ibnu ikut menghadiri proses pemakaman dan mengaku sempat berbincang dengan beberapa keluarga korban.

“Mereka tidak dendam, mereka yakin ini mati syahid, jadi mereka ikhlas, semua (yang saya ajak ngobrol mengatakan) ikhlas.”