Berjarak sekitar 150 kilometer dari timur Singapura, ada Pulau Bawah kini beroperasi sebagai tempat penginapan orang berduit.
Hanya bisa dijangkau pesawat amfibi, pulau yang beroperasi dengan nama Bawah Reserve ini menawarkan wisata alam yang hakiki: pantai berpasir putih dan berair jernih sekaligus pepohonan yang rimbun.
Dibuka pada akhir tahun 2017 oleh bos perusahaan pengiriman Singapura, Tim Hartnoll, bersama dengan delapan rekannya yang menjadi investor, Bawah Reserve hanya satu dari sejumlah pulau kecil di Indonesia yang dimiliki hartawan dunia.
Dari 17 ribuan pulau kecil di Indonesia, bos-bos perusahaan internasional itu telah mengubah wajah Pulau Bawah, Nihi Sumba, Pangkil, Pulau Joyo, Wakatobi, Nikoi dan Cempedak, menjadi tempat bersantai yang mewah nan megah.
Tarif menikmati fasilitas dan layanan di pulau-pulau itu beragam, tapi ada kesamaan konsep yang diusung: menjunjung tinggi kelestarian alam serta memberikan pekerjaan dan pendidikan bagi warga lokal pulau.
“Saya melihat perkembangan ini secara garis besar sebagai perkembangan positif,” Andrea Oschetti, pendiri ahli perjalanan mewah yang berbasis di Hong Kong, Blueflower Inspired Travels.
“Pengembangan hotel di pulau-pulau terpencil bisa diartikan bahwa pemiliknya ingin menjaga pulau dan sumber daya alamnya.”
Kisah Menemukan Pulau Bawah
Pelaut dan penyelam yang tumbuh besar di Singapura, Hartnoll, mengaku mencintai bahari sejak kecil.
Ia telah merekam banyak pemandangan laut yang indah. Namun baru pada tahun 2006 ia mengaku jatuh cinta dengan pulau yang berada di Kepulauan Riau itu.
“Saya tahu bahwa Pulau Bawah adalah yang saya dambakan begitu pertama kali menginjakkan kaki di sana,” kata Hartnoll.
“Jauh dari keramaian, terdapat hutan, perbukitan, dan pesisir. Sejak saat itu saya tidak bisa melupakannya.”
Hartnoll, yang memiliki perusahaan pengiriman global X-Press Feeders, memutuskan untuk mengakuisisi enam pulau, yang merupakan rumah bagi tiga laguna dan lebih dari selusin pantai.
Dia merangkul delapan investor untuk mendapatkan sewa jangka panjang atas kepulauan tersebut.
“Ketika ada kesempatan untuk mengembangkan Bawah, sangat penting bagi bagi kami untuk mengelolanya dengan konsep berkelanjutan,” kata Hartnoll.
“Perairannya bisa dibilang cukup gundul ketika kami pertama kali tiba di sini karena banyak penangkapan ikan menggunakan bahan peledak. Saat itu kehidupan lautnya terbatas dan ada beberapa kerusakan pada karang.”
Sebelum membangun hotel, Hartnoll dan rekan-rekannya bekerjasama dengan pemerintah setempat untuk memperbaiki kondisi perairan Pulau Bawah dengan cara melarang penangkapan ikan dengan dinamit serta melarang kapal membuang jangkar terlalu dekat dengan pantai.
Mereka membutuhkan lebih dari lima tahun untuk membangun properti Bawah Reserve yang berisi 35 kamar. Salah satu alasannya untuk menghindari lalu lalang alat berat.
Pembangunan properti itu banyak dikerjakan dengan tangan yang dipercaya mengurangi dampak kerusakan lingkungan.
Hasilnya, Bawah Reserve kini menjadi tempat penginapan yang mewah dan mengedepankan keramahan lingkungan. Bahan bangunan kebanyakan dari bambu dan banyak ruangan beratap terbuka. Ditambah lagi dengan pernak-pernik bertema laut di setiap sudut ruangannya.
Untuk melengkapi upaya konservasi kelautan, hotel ini telah membangun taman permakultur, program daur ulang limbah, panen air hujan, dan sistem penyaringan air. Selain itu, mereka menggunakan botol kaca dan mobil angkut bertenaga surya.
Sekitar 95 persen staf hotel berasal dari Indonesia, dan 32,3 persen merupakan warga pulau.
“Ada keinginan besar dari warga pulau untuk bekerja di sini, namun posisi yang bisa mereka tempati sangat terbatas,” katanya.
“Jadi [Yayasan Bawah Anambas] bekerja untuk mendidik dan melatih warga pulau, sehingga di masa depan lebih banyak posisi yang bisa mereka isi.”
Dunia Baru di Nihi Sumba
Nihi Sumba, berjarak 50 menit penerbangan dari Bali, punya cerita lain soal pembangunannya.
Dimiliki oleh miliarder asal Amerika Serikat, Christopher Burch, yang merupakan CEO dari perusahaan investasi ventura Burch Creative Capital dan salah satu pendiri label fesyen Tory Burch, Nihi Sumba merupakan penginapan dengan 38 kamar.
Burch mengenal “sepotong surga” ini sekitar satu dekade yang lalu saat berlibur di Bali.
“Seorang teman menyarankan agar saya mengunjungi tempat keren bernama Sumba,” kenang Burch.
“Jadi saya terbang ke sana dengan pesawat kecil yang mendarat di landasan dengan satu jalur. Ketika sampai di sini, yang saya lihat hanyalah kuda. Pemandangan seperti itu pasti sangat membayangi Anda.”
Burch tinggal di sebuah hotel kecil dengan enam kamar milik Claude dan Petra Graves, yang telah mengunjungi pulau itu bertahun-tahun sebelumnya untuk berselancar.
“Claude berusaha menjual [atau memperluas] propertinya,” kata Burch. Meskipun pada awalnya ragu-ragu, gagasan untuk memiliki sudut surga itu tetap melekat dalam benaknya.
“Ada pengalaman yang berbeda saat berjalan ke sawah, air terjun, seperti perasaan bebas dan menjauh dari semua keramaian,” kenangnya.
Burch dengan cepat mengundang teman dan pengusaha hotel berpengalaman James McBride, seorang veteran The Carlyle Hotel New York yang merupakan presiden YTL Hotels di Singapura pada saat itu, untuk bergabung dengannya pada kunjungan kedua.
Sisanya, seperti kata mereka, adalah sejarah. Mereka menambah sejumlah area sampai Nihi Sumba bisa beroperasi dengan layak sebagai tempat penginapan.
“James dan saya terlibat langsung dalam setiap aspek pembangunan properti ini. Saya mengembangkan sisi kreatif dan indah untuk bangunan ini,” katanya.
Sama seperti Bawah Reserve, Nihi Sumba menyisipkan bahan jerami, kayu, dan batu sebagai bahan bangunannya.
“Kamarnya benar-benar memiliki kesan mewah. Tapi saat berkegiatan di luar tamu bisa menikmati alam liar seperti menunggang kuda, bersafari, hiking, menikmati air terjun, sampai berselancar,” kata Burch.
Namun membangun sebuah hotel di pulau terpencil bukanlah tugas yang mudah. Burch dan timnya butuh waktu lebih dari empat tahun untuk menyelesaikan pembangunan Nihi Sumba.
“Ini lahan paling indah yang pernah Anda lihat tetapi [proses konstruksinya] benar-benar sulit,” kata Burch.
“Kami mengalami banyak keraguan, mulai dari hujan sampai angin topan. Saya ingin berhenti beberapa kali, tetapi pulau itu terus memenangkan hati saya kembali.”
Enam tahun kemudian, Nihi menjalin hubungan yang kuat dengan masyarakat lokal Sumba, sekitar 93 persen karyawan hotel berasal dari desa dan kota sekitar.
Selain itu, tim tetap terhubung dengan Sumba Foundation yang sebelumnya didirikan, yang memiliki misi untuk memerangi kemiskinan dan malaria di pulau itu melalui pendidikan, air bersih, makanan, dan bantuan kemanusiaan.
Burch menanggung semua biaya administrasi yayasan untuk memastikan setiap dolar yang disumbangkan bisa dinikmati masyarakat lokal.
Dalam hal kelestarian lingkungan, hotel ini mendaur ulang air, menjalankan program pengelolaan limbah, dan melindungi telur penyu dari pemburu liar.
“Setahun dua kali saya selalu kembali ke sini bersama keluarga saya. Kami memiliki sejarah dengan pulau ini sekarang. Kami berusaha melindungi setiap lapisan pulau ini,” kata Burch.
Tantangan Membangun Pulau Joyo
Antony Marden, pemilik resor di Pulau Pangkil dan di Pulau Joyo, Kepulauan Riau, menemukan pulau-pulau itu lebih dari dua dekade lalu.
“Saya selalu menjadi pelaut dan saya selalu mencintai laut,” katanya.
“Dalam salah satu perjalanan berlayar saya di Asia Tenggara, saya menemukan pulau-pulau kecil yang cantik itu. Saya perhatikan mereka, mereka sangat indah.”
Mantan pemilik Fenwick Shipping Services, sebuah perusahaan manajemen kapal besar yang berbasis di Hong Kong, itu segera kembali dengan seorang teman untuk menjelajah.
“Pada masa itu, [kami] biasa menyewa perahu nelayan dan pergi ke pulau-pulau dan kemah. Kami membuat api unggun, membangun tenda, dan minum rum.”
Saat itu, katanya, pengembang membeli tanah di pulau-pulau besar, seperti Bintan, dan orang-orang khawatir akan adanya ledakan properti.
“Kami takut pembangunan juga melanda pulau ini. Tetapi kami tidak terburu-buru. Kami masih satu-satunya orang yang berkunjung ke sana.”
Marden membeli sembilan pulau dan “pantai besar yang hebat” tetapi ia hanya mengembangkan dua pulau.
Dia mulai dengan Pulau Pangkil. Dirancang sebagai destinasi liburan keluarga dari Singapura, lokasi pernikahan, dan tempat wisata perusahaan, pulau pribadi ini dibuka lebih dari 15 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2003.
Pengunjung dapat menyewakan seluruh pulau, yang meliputi lima pantai, restoran, bar, kolam renang, dan banyak peralatan olahraga air.
“Saya selalu ingin membangun istana kayu apung dan, pada tahap itu, ada sejumlah besar kayu apung tergeletak di sekitar. Jadi kami mulai mengumpulkan kayu apung dari kayu jati besar dan mengangkutnya dari karang,” kenang Marden.
“Kami meminta bantuan selusin orang untuk mengangkutnya ke daratan. Mereka merancang kayu menjadi rakit, menunggu air pasang, lalu menariknya ke daratan.”
Sekitar satu dekade kemudian, Marden memutuskan untuk mengembangkan Pulau Joyo.
Satu dekade kemudian, Marden mengembangkan Pulau Joyo. Lebih mewah dari dua pulau yang sebelumnya dikembangkan, Joyo dilengkapi dengan vila-vila bergaya tradisional, restoran, spa, kolam renang, area kegiatan alam, dan pantai berpasir kuning emas.
“Sangat tergoda untuk memiliki pulau sendiri,” kata Marden sambil tertawa.
“Tapi benar-benar sulit untuk mencoba menjalankannya secara komersial, harus ada air, diesel, listrik, Anda harus memesan bahan makanan dari luar. Cukup rumit. Hanya orang gila yang mengoperasikan resor di pulau kecil!”
Marden tidak memasarkan kepulauannya sebagai 100 persen destinasi wisata alam, tetapi ia mengambil beberapa langkah untuk melindungi alam sekitar pulau.
Misalnya, ia melarang perambahan hutan dan penggunaan pukat dalam upaya melindungi tanah dan terumbu karang.
“Kami mengizinkan memancing dengan tali. Tapi tidak untuk memancing dengan jaring besar,” katanya.
Meskipun dua pulaunya telah berhasil dikembangkan, Marden mengatakan tak lagi memiliki rencana mengembangkan pulau baru.
“Saya tidak tertarik mengembangkan pulau saya yang lain,” tambahnya.
“Sebenarnya, saya membelinya hanya untuk melindungi mereka dari pengembangan masif.”
Pengembangan Butuh Pengawalan
Sementara pulau-pulau kecil telah dikembangkan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip berkelanjutan, beberapa ahli prihatin dengan laju pertumbuhan pariwisata secara keseluruhan di Indonesia.
Negara ini telah mengalami lonjakan kedatangan wisatawan mancanegara selama beberapa tahun terakhir, meningkat dari 9 juta pada 2014 menjadi 14 juta pada 2017.
Para pelancong ramai mendatangi tempat populer seperti Bali dan Taman Nasional Komodo.
Di Taman Nasional Komodo, pariwisata telah meroket dari 15 ribu pengunjung pada tahun 2004 menjadi 187 ribu pada tahun 2018.
Pada tahun 2019, Komodo mengharapkan untuk menerima 500 ribu kunjungan.
Elis Nurhayati, direktur komunikasi WWF-Indonesia, mengatakan kepada CNN Travel bahwa pariwisata dapat menjadi pedang bermata dua.
Volume tinggi para pelancong biasanya menyediakan lebih banyak pekerjaan dan meningkatkan ekonomi lokal, tetapi juga memiliki dampak negatif pada ekosistem.
“Turis asing dan domestik yang berduyun-duyun ke daerah itu mengarah pada lebih banyak pembangunan infrastruktur dan fasilitas hotel, [yang meningkatkan] pendapatan negara dari pariwisata.”
“Namun, jejak ekologis yang menyertai pariwisata massal menjadi perhatian serius. Rata-rata pelancong saat ini menghasilkan enam kilogram sampah setiap hari.”
Dalam persiapan untuk pembangunan yang berkelanjutan, taman nasional telah menyusun rencana induk pengembangan ekowisata dengan WWF-Indonesia.
Di tempat lain di Indonesia, Bali terus menyambut bagian terbesar dari wisatawan.
“Terlepas dari semua bencana alam dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia dan khususnya Bali melaporkan rekor kedatangan tahun demi tahun, dan Kementerian Pariwisata memiliki rencana ambisius untuk meningkatkan jumlah pariwisata selama dekade berikutnya,” kata Oschetti.
Sumber : CNN [dot] COM