Apakah AS Akan Berperang dengan Iran?

0
655

Ada dua narasi yang bertentangan.

Narasi pertama, yang diusung pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, Iran punya tujuan buruk.

Negara itu disebut-sebut terlihat berpotensi melancarkan serangan terhadap AS, meskipun hanya segelintir rincian yang diungkap ke publik.

AS pun menanggapinya dengan mengerahkan kekuatan militer ke wilayah sekitar Iran, menarik staf diplomat dari Irak, dan dilaporkan menyusun rencana perang.

Pesan ke Teheran jelas. Setiap serangan terhadap target AS dari sumber manapun—apakah Iran atau kelompok dukungannya atau sekutunya di kawasan Timur Tengah—akan direspons dengan aksi militer secara signifikan.

Narasi kedua adalah menyalahkan Washington DC atas timbulnya krisis ini.

Narasi ini diusung Iran, dan juga oleh para pengritik kebijakan pemerintahan Trump di AS.

Sampai batas tertentu, pendekatan ini pun disuarakan sejumlah sekutu AS di Eropa.

Menurut narasi ini, beberapa sosok di tubuh pemerintahan Trump, seperti Penasihat Keamanan Nasional John Bolton dan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, melihat ada peluang.

Tujuan individu-individu ini, berdasarkan narasi ini, adalah perubahan rezim di Iran. Dan jika tekanan ekonomi tidak berhasil, maka mereka meyakini aksi militer tidak boleh dikesampingkan dalam kondisi yang pas.

Kedua narasi ini mencerminkan interpretasi berbeda dari kenyataan di lapangan. Kerap pula narasi-narasi ini menonjolkan fakta tertentu dan mengabaikan fakta lain guna membenarkan argumentasi.

Namun, persepsi-persepsi ini sama pentingnya dengan kenyataan. Sebab, dalam berbagai cara, persepsi-persepsi ini menghasilkan kenyataan.

Kenyataannya adalah konflik antara Iran dan AS—walaupun tidak disengaja—amat mungkin terjadi pada masa sekarang daripada sebelum Trump menjabat presiden.

Ketegangan di Timur Tengah jelas memuncak.

Iran, yang ekonominya menderita karena kembali dikenai rangkaian sanksi AS, melawan balik.

Negara itu mewanti-wanti bahwa mereka boleh jadi tidak lagi mematuhi pengekangan terhadap aktivitas nuklir.

Kemunculan Trump adalah titik baliknya.

Presiden AS itu menarik mundur negaranya dari kesepakatan nuklir Iran setahun lalu dan menerapkan kebijakan tekanan maksimum terhadap Teheran.

Iran muak dengan langkah AS. Mereka mendesak negara-negara Eropa membantu ekonominya seraya mengancam jika tidak dibantu mereka akan melanggar kesepakatan nuklir.

Namun, apabila Iran melakukannya, pemerintahan Trump justru akan punya amunisi tambahan.

Kini tergantung dinamika di dalam pemerintahan Trump dan juga penilaian Teheran apa yang terjadi di Gedung Putih.

Trump sendiri telah berupaya meredam anggapan bahwa para bawahannya terpecah soal Iran. Beragam laporan juga mengindikasikan dia tidak terlalu antusiasi menggelar perang.

Penolakannya soal kepelikan militer di luar negeri sudah banyak diketahui. Meski demikian, Trump tidak akan mundur jika pasukan atau fasilitas AS diserang.

Hal ini mungkin bukan cara Teheran memandang pemerintahan Trump.

Apakah mungkin Iran menilai bisa mengadu Bolton dan Trump; dengan meningkatkan ketegangan sehingga rancangan Bolton terungkap dan memicu pelengserannya?

Jika itu penilaian Teheran, maka strateginya berisiko tinggi.

Walau para sekutu AS di Timur Tengah—Israel dan Arab Saudi—mungkin bertepuk tangan, sekutu AS di Eropa resah dengan kondisi yang mungkin terjadi.

Spanyol, Jerman, dan Belanda, mengambil langkah-langkah untuk menangguhkan aktivitas militer bersama AS di Timur Tengah seraya menyebut peningkatan ketegangan.

Ini bukan saatnya melatih skenario konflik antara Iran dan AS. Namun konflik Iran-AS tidak bisa dibandingkan dengan perang Irak tahun 2003 lalu.

Iran sangat berbeda dengan Irak tatkala masih dipimpin Saddam Hussein.

Invasi besar-besaran ke Iran tampaknya tidak akan terjadi.

Yang mungkin berlangsung adalah konflik udara dan maritim yang ditanggapi Iran secara asimetris. Insiden semacam ini bisa memicu konflik di Timur Tengah.

Ada kalangan yang memprediksi bahwa bencana kebijakan luar negeri bakal berlangsung apabila Trump menjabat presiden.

Yang justru terjadi, krisis multidimensi dengan banyak elemen.

Situasi Iran menggambarkan hal itu: antipati terhadap kesepakatan internasional, ketergantungan berlebihan terhadap sekutu di kawasan Timur Tengah yang masing-masing punya agenda, peningkatan ketegangan dengan para mitra di NATO, dan ketidakmampuan Washington DC dalam menentukan dan memprioritaskan kepentingan strategis yang sebenarnya.

Seiring dengan bangkitnya persaingan negara-negara adidaya, tatkala AS berupaya mengorientasikan kembali pengerahan sekaligus penguatan angkatan bersenjatanya guna menghadapi China dan Rusia, di mana Iran dalam skala prioritas strategi Washington DC?

Apakah ancaman Iran benar-benar layak menjadi konflik utama? Banyak pengamat kajian strategis AS mengatakan: tidak.

Banyak yang sepakat bahwa langkah mengurung Iran dan mengancam jika kepentingan AS diserang, mungkin diperlukan. Namun, terus-menerus menabuh genderang perang, sama sekali tidak perlu.

Dan satu hal yang seharusnya jelas. Tidak ada “pergeseran” menuju perang, seolah-olah ada proses yang tak terhindarkan.

Kalaupun ada konflik, maka itu terjadi karena pengambilan kebijakan yang dilakukan secara sadar, yang dihitung oleh Iran dan AS sendiri.