Pemantauan satelit penginderaan jauh yang dilakukan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mencatat kondisi polusi udara di Jakarta semakin mengkhawatirkan. Selain Jakarta, kondisi serupa juga dihadapi oleh Medan dan Surabaya.

Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin mengatakan menurunnya kondisi udara terjadi lantaran kontribusi gas buang kendaraan bermotor, industri, dan musim kemarau di Indonesia.

“Peningkatan emisi atau pelepasan PM 2,5 dari kendaraan bermotor, industri, ditambah kondisi memasuki musim kemarau membuat polusi udara berada di tingkat yang perlu diwaspadai,” ungkap Thomas kepada CNNIndonesia.com usai seminar Penginderaan Jauh di Depok, Jawa Barat, Rabu (17/7).

Kondisi musim kemarau menurutnya memicu peningkatan PM2,5 di Jakarta. Laporan IPB mencatat PM2.5 (particulate matter) memiliki diameter kurang dari 2,5 mikrometer yang diyakni oleh para pakar lingkungan dan kesehatan masyarakat sebagai pemicu infeksi saluran pernapasan.

Hal ini terjadi lantaran partikel padat PM2,5 bisa mengendap dalam saluran pernapasan yang berujung pada gangguan kesehatan hingga mengganggu pandangan mata.

Thomas mengatakan kualitas udara di Jakarta tergolong lebih buruk dibandingkan Bangkok dan Singapura. Penggunaan transportasi pribadi yang tinggi disebut turut berkontribusi membuat kualitas udara Jakarta semakin memburuk.

“Sebenarnya ada banyak aspek yang menyebabkan polusi di Jakarta meningkat. Untuk mengatasi polusi udara yang sudah mengkhawatirkan bukan hanya tugas Pemda, tapi juga penggunaan kendaraan pribadi harus diatasi,” ucapnya.

Thomas menjelaskan sejauh ini LAPAN memberikan data satelit untuk menjadi acuan peringatan perkembangan kondisi udara Jakarta setiap hari dan saat perubahan musim. Dengan cara terebut, hasil pemantauan diharapkan bisa menjadi masukan untuk melakukan langkah pencegahan.

Menurutnya solusi hujan buatan yang ditawarkan BPPT hanya bisa menyelesaikan masalah secara sesaat. Mengingat penggunaan kendaraan pribadi terus menerus tidak sebandingkan dengan solusi berupa hujan buatan.

“Kalau penggunaan transportasi pribadi terus menerus tentu tidak sebanding dengan solusi hujan buatan yang ditawarkan. Sebenarnya peningkatan PM2,5 akan berkurang dengan sendirinya saat memasuki musim hujan,” ungkapnya.

Berkaca pada negara tetangga, Thomas mengatakan pemerintah bisa mengimplementasikan program langit biru ang pernah dilakukan Bangkok dan Beijing. Saat itu, Beijing berhasil ‘menghasilkan’ langit biru setelah ada larangan penggunaan kendaraan bermotor selama sepekan.

“Saat itu ada larangan penggunaan kendaraan bermotor selama sepekan saat APEC. Penduduk mengakui bisa kembali melihat langit biru setelah sempat mengeluhkan hal serupa seperti di Jakarta [polusi udara tinggi],” ungkapnya.