Israel-AS: Apakah Kita Menyaksikan Berakhirnya Hubungan Erat Kedua Negara karena Netanyahu Semakin Lemah?

0
636

Terdapat keanehan saat upacara pengambilan sumpah para anggota parlemen Israel, minggu lalu.

Baru saja lima bulan lalu anggota baru parlemen diambil sumpah, tetapi kelumpuhan politik terus berlanjut karena pemilu tidak memberikan ketegasan kekuasaan sehingga kemungkinan pemilu harus diulang sesegera mungkin.

Selain itu, pidato Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bernada suram. Dia memperingatkan kemungkinan perang dengan Iran dalam waktu dekat dan adanya tantangan keamanan yang belum pernah ada sebelumnya.

Netanyahu mengatakan ini tidak pernah terjadi sejak Perang Yom Kippur tahun 1973.

Perkataannya dimaknai berbagai komentator sebagai retorika kampanye, yang bertujuan untuk menguatkan posisinya sebagai perdana menteri.

“Ibu dan bapak, saya mempersembahkan kepada Anda, Ancaman Besar Iran,” tulis kolumnis Ma’ariv, Ben Caspit, saat mengejek “ancaman keamanan” yang disampaikan Netanyahu.

Tetapi pidatonya juga membantu memicu kecemasan menjelang Yom Kippur, peringatan hari penebusan dosa Yahudi yang dilakukan setiap tahun.

Yang paling dicemaskan adalah kebijakan Timur Tengah yang dijalankan Trump dan berbagai pertanyaan terkait kedekatan hubungan pemimpin AS dengan Benjamin Netanyahu.

Perdana menteri Israel menjadikan hubungan ini sebagai inti kampanye pemilihannya.

Di bawah kepemimpinan Trump, pemerintah AS telah membalikkan kebijakan yang sejak lama mengakui kedaulatan Israel atas daerah pendudukan Dataran tinggi Golan dan memindahkan kedutaan besar AS ke Jerusalem.

Netanyahu terutama melihat keputusan Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran dan ketegasan terhadap Republik Islam, sebagai dukungan pribadi terhadap strateginya sendiri untuk melindungi Israel dari semakin meningkatnya pengaruh Teheran di kawasan.

Tetapi Trump mencatat bahwa hasil pemilu Israel tidak menunjukkan kekuatan Netanyahu dan dia menekankan hubungan khusus Amerika adalah dengan rakyat Israel, bukannya dengan satu orang.

“Trump tidak menyukai orang-orang yang kalah” demikian kesimpulan beberapa media Israel.

Netanyahu telah dua kali mengalami kegagalan dalam membentuk pemerintahan. Tetapi dia terus berjuang untuk tetap berkuasa agar sedikit menguatkan posisinya ketika menghadapi tuduhan korupsi.

Kebijakan yang diterapkan Netanyahu telah diguncang usaha Trump berdiplomasi dengan Iran, selain keengganannya untuk menggunakan militer AS guna merespons serangan Iran terhadap kilang minyak Arab Saudi.

Jika Iran dapat secara langsung menyerang Arab Saudi dengan misil jelajah, maka Teheran juga dapat melakukan hal yang sama terhadap Israel.

“Serangan Iran terhadap kilang minyak Saudi dengan menggunakan misil jelajah yang ditembakkan dari Iran, sebuah serangan yang sama sekali tidak dibalas pemerintahan Trump, ini menunjukkan keruntuhan doktrin keamanan Netanyahu, yang mendasarkan semua keputusannya pada ‘presiden yang paling bersahabat (kepada Israel) yang pernah tinggal di Gedung Putih’,” tulis Shimon Shiffer di harianYedhioth Ahronoth.

Keadaan semakin memburuk dengan keputusan Trump menarik pasukan AS dari Suriah bagian timur laut untuk melancarkan operasi militer Turki, yang sebenarnya adalah sama dengan meninggalkan Kurdi, sekutu AS sejak lama.

Ini kembali meningkatkan kekhawatiran tentang sampai seberapa jauh Trump akan bertindak untuk melindungi sekutu-sekutunya yang lain: “Trump menjadi tidak bisa dipercaya Israel,” demikian kesimpulan Shiffer.

Sebenarnya, tidak ada isyarat AS akan mengurangi dukungan kuatnya bagi keamanan Israel.

Tetapi setelah hampir tiga tahun Trump berkuasa, Israel menghadapi seorang presiden yang tidak bisa diduga, enggan menggunakan kekuatan militer, takut terlibat dalam konflik Timur Tengah, dan sama seperti Netanyahu, perhatian Trump tersita dengan pertarungan politik dalam negeri agar dapat tetap berkuasa.