Bougainville: Gelar referendum, Kawasan di Papua Nugini Pilih Merdeka

0
609

Mayoritas penduduk kawasan otonomi Bougainville memilih merdeka dari Papua Nugini dalam referendum yang telah digelar selama dua pekan pada 23 November hingga 7 Desember.

Dalam referendum tersebut, para pemilih diberikan dua pilihan, yakni perluasan otonomi atau kemerdekaan penuh.

Dari 181.067 kertas suara, hampir 98% di antaranya (176.928) memilih merdeka. Kemudian 3.043 lainnya memilih perluasan otonomi. Sisanya, 1.096 kertas suara, dikategorikan tidak sah.

Hasil ini diumumkan di Kota Buka oleh mantan Perdana Menteri Irlandia, Bertie Ahern, yang kini menjabat sebagai ketua Komisi Referendum Bougainville.

Ahern dipilih menempati posisi itu lantaran dia dipandang sukses mengawal proses perdamaian Irlandia Utara.

Berbicara di Kota Buka, Ahern mendesak semua pihak untuk mengakui hasil referendum sekaligus menyampaikan pesan bahwa suara setiap orang akan menentukan “perdamaian Anda, sejarah Anda, dan masa depan Anda”.

Suara tersebut, imbuhnya, menunjukkan “kekuatan pena ketimbang senjata”.

‘Inilah momen yang kami tunggu-tunggu’

Pengumuman bahwa mayoritas pemilih menginginkan kemerdekaan disambut dengan pekikan, tepuk tangan, dan air mata.

Beberapa orang sontak menyanyikan lagu My Bougainville.

“Bahagia tidak cukup menggambarkan perasaan saya. Anda melihat air mata saya, inilah momen yang kami tunggu-tunggu,” kata seorang lulusan keperawatan, Alexia Baria, kepada kantor berita AFP.

John Momis, pemimpin kawasan otonomi Bougainville, mengatakan “setidaknya secara psikologis, kami merasa dimerdekakan”.

Adapun Puka Temu, Menteri Papua Nugini untuk urusan Bougainville, menilai “hasilnya [referendum] kredibel.”

Namun, Temu meminta agar para pemilih “mengizinkan rakyat Papua Nugini mendapat cukup waktu untuk meresapi hasilnya”.

Bougainville, yang dihuni 300.000 penduduk, adalah sekumpulan pulau di bagian timur Papua Nugini. Bougainville pernah berupaya memproklamasikan kemerdekaan saat pembentukan negara Papua Nugini pada 1975, namun diabaikan.

Pada 1988, Bougainville terlibat peperangan separatis selama sembilan tahun yang dipicu isu ekonomi.

Pada 2001, pemerintah Papua Nugini memberikan status otonomi kepada Bougainville sebagai bagian dari kesepakatan damai untuk mengakhiri perang sipil antara pemberontak Bougainville dan militer Papua Nugini yang menewaskan sekitar 20.000 orang.

Kesepakatan itu juga menjanjikan referendum kepada rakyat Bougainville.

Apakah Bougainville langsung menjadi negara baru?

Meski mayoritas pemilih di Bougainville memilih merdeka, kawasan itu tidak serta-merta menjadi negara baru.

Pasalnya, hasil referendum tidak mengikat dan parlemen Papua Nugini harus meratifikasinya.

Pemerintah Papua Nugini juga akan menggelar rangkaian diskusi untuk menentukan apakah transisi menuju kemerdekaan penuh Bougainville bisa dimulai—dan jika bisa, kapan dilaksanakan.

Meski pemerintah PNG menentang kemerdekaan Bougainville, dan tidak harus menerima hasil referendum, suara mayoritas dalam referendum diperkirakan akan menambahkan tekanan terhadap pemerintah PNG untuk memberikan kemerdekaan kepada Bougainville.

Apakah Bougainville siap merdeka?

Jika Bougainville merdeka, luas daratan negara itu bakal mencapai kurang dari 10.000 kilometer per segi.

Populasinya juga bisa menjadi populasi negara paling sedikit di dunia, sedikit lebih kecil dari Vanuatu dan sedikit lebih besar dari Barbados.

Dari segi kemandirian, berdasarkan lembaga kajian Lowy Institute di Australia, kemandirian Bougainville baru terlaksana bertahun-tahun mendatang.

Kawasan itu kaya sumber daya alam, khususnya tembaga, yang sudah ditambang besar-besaran sejak 1960-an di bawah pemerintah Australia.

Namun, sektor pertambangan lumpuh akibat perang dan pendistribusian pendapatan hasil tambang merupakan salah satu faktor di balik konflik dengan Papua Nugini.