Trump Minta Bantuan Xi Jinping Agar Menang Pilpres, Kata Mantan Penasihat Keamanan Nasional

0
457

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, berupaya meminta bantuan kepada Presiden China, Xi Jinping, agar dia bisa kembali menang dalam pilpres AS mendatang, sebut mantan Penasihat Keamanan Nasional, John Bolton, dalam buku barunya.

Dalam cuplikan buku karyanya yang diberikan kepada media AS, Bolton mengatakan bahwa Trump ingin China membeli produk-produk pertanian dari para petani AS.

Para koresponden media mengatakan hal ini mengingatkan khalayak ketika Trump dituding meminta presiden Ukraina menyelidiki bakal calon presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden.

Pemerintahan Trump diketahui berusaha mencegah buku ini tidak terbit. Menurut Departemen Kehakiman, buku tersebut memuat “informasi rahasia”, namun Bolton menepisnya.

Buku berjudul The Room Where It Happened bakal dirilis pada 23 Juni mendatang.

Dalam buku tersebut, Bolton juga membahas klaim-klaim yang berujung pada sidang pemakzulan Trump.

Klaim itu, antara lain, Trump menahan bantuan militer ke Ukraina guna menekan Presiden Volodymyr Zelensky agar memulai penyelidikan terhadap Joe Biden dan putranya, Hunter.

Trump membantah laporan tersebut dan, setelah sidang berjalan selama dua pekan di Senat yang dikendalikan Partai Republik, dia tidak dimakzulkan.

Bolton mengatakan penyelidikan itu mungkin berbeda hasilnya jika tidak hanya fokus ke Ukraina, tapi contoh-contoh campur tangan politik lainnya.

Bolton bergabung dengan Gedung Putih pada April 2018 dan hengkang pada September 2019. Saat itu dia mengatakan dirinya memutuskan berhenti sebagai penasihat keamanan nasional. Akan tetapi, Trump berujar bahwa Bolton dipecat karena perbedaan pendapat yang “kuat”.

Apa yang dituduh Bolton terkait Xi Jinping?

Tuduhan Bolton merujuk pada pertemuan antara Trump dan Xi pada pertemuan G20 di Osaka, Jepang, pada Juni 2019.

Presiden China itu mengeluh bahwa sejumlah kalangan di AS menyerukan perang dingin yang baru, menurut Bolton dalam cuplikan buku yang diterbitkan harian New York Times,

Trump, seperti disebutkan Bolton, kemudian berasumsi bahwa Xi merujuk pada orang-orang Partai Demokrat.

“Trump, secara menakjubkan, mengubah percakapan itu menjadi soal pemilihan presiden AS [pada 2020], dengan menyebut kemampuan ekonomi China dan memohon Xi agar memastikan dirinya menang,” tulis Bolton.

“Dia menekankan pentingnya para petani dan pentingnya peningkatan pembelian kacang kedelai serta gandum dari China terhadap hasil pemilihan,” tambah Bolton.

Ketika Xi sepakat agar diskusi mengenai produk-produk pertanian menjadi prioritas dalam perundingan dagang, Trump menyebut Xi sebagai “pemimpin terhebat dalam sejarah China”.

Penuturan Bolton ini dibantah Perwakilan Dagang AS, Robert Lighthizer, pada Rabu (17/06). Lighthizer mengatakan permintaan agar China membantu Trump agar terpilih lagi “tidak pernah terjadi”.

Bolton juga menyebut soal percakapan antara Trump dan Xi saat makan malam dalam acara pembukaan pertemuan G20. Ketika itu, keduanya berdiskusi soal pembangunan kamp-kamp di wilayah Xinjiang, bagian barat China.

Trump, kata Bolton, berujar bahwa pembangunan kamp-kamp tersebut seharusnya terus berlangsung karena “itu adalah hal yang benar untuk dilakukan”.

Berbagai kelompok hak asasi manusia telah dengan keras mengritik China mengenai pembangunan kamp-kamp tersebut yang menahan sekitar satu juta orang etnik Uighur dan etnik minoritas lainnya untuk dihukum dan diindoktrinasi.

Apa hal lain yang disebutkan dalam buku Bolton?

Beberapa penasihat terdekat Trump, termasuk Menteri Luar Negeri Mike Pompeo dan Bolton sendiri, mempertimbangkan untuk mundur dari jabatan karena muak atau frustrasi, sebut sang mantan penasihat keamanan nasional.

“Dia menebak-nebak motif orang, melihat konspirasi di balik segala sesuatu, dan secara menakjubkan tetap tidak tahu bagaimana memimpin Gedung Putih—jangankan pemerintah federal yang besar,” tambah Bolton.

Dia menyertakan rincian sejumlah percakapan pribadi, antara lain Trump dituduh tidak tahu Inggris punya kekuatan nuklir dan Finlandia adalah sebuah negara.

Dalam satu kesempatan, sebagaimana dituliskan Bolton, sang presiden mengatakan akan mengancam mundur dari NATO jika para sekutu di blok tersebut tidak meningkatkan anggaran belanja di sektor pertahanan.

Bolton juga menyebut bahwa Pompeo—yang secara umum dianggap setia kepada Trump—pernah mengeluh dia mengalami “serangan jantung” dalam percakapan dengan pemimpin Korea Selatan.