AS Sebut Penembakan Terhadap Negosiator Perempuan Sebagai Aksi Pengecut

0
520

Serangan terhadap Fawzia Koofi, satu dari sedikit perempuan yang mengambil bagian dalam negosiasi dengan Taliban, adalah aksi “pengecut dan kriminal” untuk mengganggu proses perdamaian Afghanistan, kata utusan AS.

Utusan AS untuk urusan rekonsiliasi Afghanistan, Zalmay Khalilzad mengatakan dia “lega” bahwa Fawzia Koofi lolos dalam insiden penembakan Jumat lalu “tanpa cedera serius”.

Koofi ditembak di lengan kanan saat bepergian dengan saudara perempuannya.

Taliban membantah mereka adalah pihak di balik serangan itu, yang terjadi ketika kedua belah pihak bersiap untuk melakukan perundingan.

Taliban sebelumnya menolak bernegosiasi langsung dengan pemerintah Afghanistan, tetapi setuju untuk mengambil bagian dalam pembicaraan yang bertujuan untuk mengakhiri konflik selama hampir dua dekade, setelah mencapai kesepakatan dengan AS Februari lalu.

Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, pemerintah Afghanistan harus membebaskan 5.000 tahanan Taliban.

Pada hari Kamis lalu, mereka mulai melepaskan 400 tahanan terakhir. Pembicaraan diperkirakan akan dimulai di Qatar setelah tahanan terakhir dibebaskan.

Namun, ada kekhawatiran bahwa serangan terhadap Koofi, seorang kritikus yang keras terhadap Taliban, yang diserang dalam perjalanan kembali dari sebuah pertemuan di Provinsi Parwan utara dekat ibu kota Kabul, dapat merusak proses tersebut.

“Pola serangan terarah yang mengkhawatirkan dapat berdampak negatif pada kepercayaan dalam proses perdamaian,” tulis kepala Komisi Hak Asasi Manusia Independen Afghanistan, Shaharzad Akbar, di Twitter.

Khalizad juga menulis di Twitter bahwa dia ingin “semua pihak yang mengupayakan perdamaian tidak hanya mengutuk serangan itu, tetapi juga mempercepat proses perdamaian dan memulai negosiasi intra-Afghanistan secepatnya”.

Serangan terhadap Koofi juga dikecam sebagai tindakan “pengecut” oleh Presiden Ashraf Ghani dan Abdullah Abdullah, kepala Dewan Tinggi untuk Rekonsiliasi Nasional.

Taliban telah berjuang untuk mendapatkan kekuasaan kembali sejak disingkirkan tahun 2001, melalui invasi yang dipimpin AS.

Tahun lalu saja, lebih dari 3.000 warga sipil tewas dalam konflik tersebut, menurut data PBB.

Namun, kesepakatan yang dicapai dengan AS terbukti kontroversial.

Pada hari Sabtu, Prancis keberatan dengan pembebasan sekitar 400 tahanan yang ditahan oleh otoritas Afghanistan – beberapa di antaranya dilaporkan terlibat dalam pembunuhan warga negara Prancis.