Vaksin Corona Rusia Kontroversial Sukses Picu Respons Imun

0
490

Studi ungkap vaksin Covid-19 yang dikembangkan dan diuji di Rusia mampu menghasilkan antibodi terhadap virus corona SARS-CoV-2.

Hal ini berdasarkan studi pada uji klinis fase 1 dan 2 studi dari vaksin yang bernama Sputnik V ini. Namun, vaksin corona Rusia ini belum selesai melakukan uji klinis tahap 3. Sehingga, timbul kritik ketika Rusia telah mengumumkan kalau vaksin ini bisa digunakan oleh publik.

Meski berhasil menghasilkan antibodi, namun berdasarkan data yang dipublikasikan jurnal The Lancet, vaksin ini sempat mengakibatkan efek samping seperti demam, namun masih dalam intensitas ringan.

Dalam proses uji klinis, setengah partisipan mengalami demam dan 42 persen sakit kepala. Kemudian sebanyak 28 persen partisipan mengalami lemah dan 24 persen mengalami sakit pada persendian. Peneliti tidak menyebutkan berapa lama efek samping terjadi tetapi efek cenderung ringan.

Selain itu, tingkat respons antibodi yang menetralisir virus corona ini disebut serupa dengan respon imun dari mereka yang sudah sembuh dari infeksi.

Dalam risetnya, para peneliti dari Gamaleya National Research Center for Epidemiology and Microbiology di Rusia juga mengecek response T-cell, ini adalah komponen lain dari sistem imunitas selain antibodi. Hasilnya, vaksin ini juga disebut mampu memproduksi respons sel T dalam 28 hari.

Meski hasil studi atas vaksin ini menunjukkan tanda-tanda positif, namun menurut mereka hanya uji fase 3 yang dilakukan secara masif yang akan membuktikan kalau vaksin ini ampuh menangkal Covid-19.

Kirill Dmitriev, Kepala Investasi Pendanaan Langsung Rusia yang membiayai vaksin ini menyebut saat ini para peneliti telah mendistribusikan vaksin ini kepada kelompok yang rentan.

Sputnik V menggunakan adenovirus untuk mengembangkan vaksin Covid-19. Cara serupa digunakan oleh Universitas Oxford dan AstraZeneca.

Adenovirus mengirimkan materi genetik kepada spike protein dari virus corona SARS-CoV-2. Materi genetik ini dirancang agar tubuh menghasilkan respons imun terhadap virus itu.

Penggunaan adenovirus bisa menyebabkan beragam efek sampin, termasuk gejala seperti flu biasa. Namun, para peneliti memanipulasi virus tersebut agar tidak berkembang biak dan menyebabkan penyakit.

Para penerima vaksin Gamaleya ini diberikan dua dosis vaksin yang menggunakan vektor adenovirus berbeda.

“Penggunaan dua jenis virus berbeda memberikan keuntungan teoritis,” jelas Dr. Paul Offit, seorang vaksionologis dari Universitas Pennsylvania.

Uji klinis massal tahap tiga dari vaksini ini bakal dimulai minggu depan di Moscow. Walikota Moscow, Sergey Sobyanin menyebut Lebih dari lima ribu orang sudah mendaftar untuk berpartisipasi. Dia juga mengumumkan bahwa dirinya sudah divaksin.

“Berdasar polling, sekitar setengah responden mengaku ragu apa mereka butuh vaksin buat corona, apakah cukup berkembang atau tidak. Dua bulan lalu hampir 90 persen ada yang skeptis,” kata Sobyanin mengutip dari CNN.

Rusia berencana bakal mulai vaksinasi massal pada Oktober 2020 mendatang. Kementerian Kesehatan setempat mengatakan staf medis dan guru-guru yang akan pertama mendapat vaksin.

Akan tetapi tanpa menyelesaikan fase 3, Rusia tidak punya bukti kalau Sputnik V manjur. Selain Rusia, China mengizinkan uji coba vaksin pada Juni 2020 terhadap anggota militer. Pada Agustus lalu dilaporkan vaksin sudah digunakan pada mereka yang punya profesi berisiko seperti tenaga medis dan inspektur perbatasan.

Sumber : CNN [dot] COM