Berbekal Ketekunan dan Keuletan, Diaspora Indonesia Sukses Bertani di Amerika

0
783

Dua diaspora Indonesia berhasil dalam budidaya pertanian di Amerika. Syarif Syaifulloh yang berasal dari Magelang berhasil menjadi petani kota di Philadelphia, Pennsylvania, sementara Supadmi yang asli Solo menjadi petani dengan tanah garapan seluas 110 hektare.

Nama aslinya Syarif Syaifulloh, tetapi sebagai diaspora Indonesia di kota Philadelphia, Pennsylvania, dia dikenal sebagai Pak Tani Philadelphia. Julukan itu melekat pada diri pria asal Magelang, Jawa Tengah ini karena dia adalah sosok fighter tangguh yang berhasil membudidayakan berbagai jenis tanaman sayur endemik Indonesia yang beriklim tropis di lahan pekarangannya di belahan bumi utara yang beriklim empat musim.

Keberhasilan Syarif itu tentu tidak datang begitu saja, tetapi dicapai dengan perjuangan tanpa kenal lelah dalam mengolah pekarangan yang luasnya tidak seberapa menjadi sumber makanan organik bergizi. Makanan dari kebun sendiri itu juga mengingatkan Syarif akan makanan khas Indonesia, sekaligus sebagai sarana memperkenalkan Indonesia kepada tetangga dan komunitasnya.

Walaupun menghadapi berbagai tantangan, mulai dari iklim, jenis tanah, ketersediaan benih, dan keterbatasan lahan, Pak Tani Philadelphia terus berusaha dengan kerja keras yang dibarengi dengan ketekunan, keuletan, serta kesabaran.

Dari semua upaya itu, kebunnya yang hanya seluas 80 meter persegi mendapat perhatian dan pengakuan tidak saja dari diaspora Indonesia dan komunitas sekitar, tetapi juga dari para pejabat pemerintah dan bahkan kalangan akademia. Pada musim panas, kebun Pak Tani Philadelphia menjadi pilot project – proyek percontohan – dan model budidaya sayur mayur untuk mendongkrak ketahanan pangan keluarga.

Lelaki beristerikan Hani White dengan tiga anak ini telah menetap di Philadelphia sejak 2001, setelah mencoba berbagai pekerjaan dalam pengembaraan di berbagai kota, dan negara bagian. Syarif mengaku dirinya merasa nyaman di Philadelphia “karena semuanya komplit, di mana gedung-gedung kuno serta situs-situs bersejarah dilestarikan, selain juga kemudahan transportasi kota,” ujarnya.

Syarif mengatakan bahwa di kota yang dijuluki “brotherly love” atau “kota cinta persaudaraan” ini bermukim sejumlah besar diaspora Indonesia. “Di Philadelphia ini kan banyak orang Indonesia dan di sini kan markasnya orang Jawa, orang-orang dari berbagai daerah kumpul di sini. Jadi, makanan itu banyak, dan kalau kita mau ke mana-mana itu mudah banget. Kota Philadelphia itu sangat komplit, imigran dari berbagai negara itu tumplek di sini. Jadi gerakan saya itu lebih enak di sini. Saya nyaman di Philadelphia sampai saat ini.”

Syarif telah aktif bercock tanam selama hampir 10 tahun. Dia mengalami masa-masa sulit pada tahun pertama dan kedua, dan baru pada tahun ketiga hasil dari jerih payahnya mulai bisa dinikmati. Keberhasilan itu dicapai setelah melalui berbagai trial and error, coba-coba dan kegagalan, dan dari proses itu pula “saya banyak belajar karena saya berkebun secara otodidak tapi dengan konsisten membaca berbagai tulisan dan menonton banyak video tentang berkebun sebagai referensi.”

Syarif tidak hanya senang berbagi hasil kebunnya dengan tetangga dan sesama, tetapi dia juga berusaha menularkan pengetahuannya berkebun kepada sesama diaspora, baik dari Indonesia maupun dari manca negara, dan bahkan secara luas kepada warga Amerika di komunitasnya.

“Kebetulan saya juga banyak mengajarkan berkebun kepada diaspora, dan kebetulan hasil-hasil panennya itu saya bagi-bagikan,” tambahnya.

Syarif mengaku kegiatan berkebun yang digelutinya semata-mata dadasari oleh keinginan untuk memanfaatkan lahan kosong di pekarangan rumah. Menurutnya, mahalnya harga sayur-mayur dan keinginan menyediakan makanan sehat untuk keluarga juga menjadi faktor pendorong.

“Di Amerika itu sayur-mayur, terutama yang organik, harganya mahal, sedangkan ada lahan kosong, kenapa tidak dimanfaatkan? Jadi saya mencoba memanfaatkan lahan kosong itu.”

Syarif awalnya mencoba menanam sayuran apa saja dari Indonesia, termasuk brokoli, kacang panjang, sawi, kangkung, tomat, pare, oyong, bit, kunyit, dan serai. Namun, sekarang dia hanya memusatkan perhatian pada jenis-jenis sayuran berdasarkan kebutuhan yang sering dimakan oleh masyarakat Indonesia dan Amerika. “Misalnya, tahun lalu saya menanam kangkung, daun bawang, tomat ceri, cabe keriting, cabe rawit, pare, sawi hijau, dan bayam, sedangkan tahun ini saya akan menanam lebih banyak sayuran kale dan bayam, yang disukai oleh orang Amerika maupun Indonesia,” katanya.

Ia melanjutkan, “Saya merasa puas dengan hasil yang melimpah dari lahan sempit di depan dan belakang rumah karena saya memanfaatkannya semaksimal mungkin dengan sistem tumpang sari dan hasilnya luar biasa banget. Hasilnya dibagi-bagikan ke masyarakat, misalnya ke gereja dan ke masjid.”

Karena keberhasilannya berkebun dan keinginannya berbagai hasil maupun pengetahuan kepada sesama diaspora, pihak pemerintah kota Philadelphia memberi Syarif “hak garap” tanah publik seluas 500 meter persegi. Dia sempat menggarap tanah itu selama empat tahun sebelum akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah setelah dia mengalami cedera leher dalam suatu turnamen pencak silat.

Selain memperkenalkan tanaman sayur endemik Indonesia, Syarif juga berusaha memperkenalkan makanan Indonesia kepada warga Amerika lainnya yang semuanya dibuat dari hasil panen dari kebunnya.

“Saya itu juga menanam yang orang Amerika suka, dan juga memperkenalkan kepada orang Amerika makanan Indonesia atau sayur Indonesia. Seperti kalau ada para mahasiswa berkunjung ke sini, mereka saya buatkan gado-gado dan pecel, segala macam di sini. Mereka suka juga dengan makanan Indonesia. Mereka ini kan tak kenal maka tak sayang.”

Memang, setiap musim panas, kebun Syarif menjadi seperti model, seperti “workshop,” bagi siswa SMA dan mahasiswa yang datang dan belajar sebagai bagian dari praktek lapangan yang ditugaskan oleh sekolah/universitas. “Rata-rata anak-anak, misalnya dari gereja-gereja, itu berasal dari berbagai negara, ada sekitar 20 sampai 40. Kemarin itu dari Presbyterian Center, pendetanya Pak Ado, mengirim anak-anaknya ke sini,” tambahnya.

Syarif mengatakan tidak pernah terbetik dalam benaknya untuk menjual hasil panen sayur mayurnya. Walaupun hasilnya berlimpah, “semua hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan dibagi-bagikan kepada sesama diaspora dan mereka yang memerlukan,” paparnya.

Mengenai kemungkinan menjadikan kegiatan berkebunnya sebagai usaha yang menghasilkan uang, Syarif merasa tidak tertarik walaupun sudah ada beberapa pihak yang mengajaknya bekerja sama. “Saya sudah berada pada zona aman (secara ekonomi), dan kalau saya bisa makan enak, maka saya ingin juga memberdayakan orang lain (ke tingkat itu),” pungkasnya.

Walaupun telah berada pada zona nyaman secara ekonomi di Amerika, Syarif berterus terang tetap ingin menghabiskan masa pensiun di Indonesia, dan beraspirasi menjadi motivator bagi sesama warga negara di tempat tumpah darah yang dicintainya, Indonesia.

Supadmi, Diaspora asal Solo yang Sukses Kelola Tanah Pertanian

Lain ladang lain belalang, lain di kota lain di desa. Di sebuah komunitas atau semacam desa bernama Delaplane di Virginia juga tinggal seorang diaspora Indonesia yang tekun mengelola tanah pertanian. Supadmi Filsinger, asal Solo, Jawa Tengah, yang bersuamikan Danny Filsinger, seorang warga Amerika, mengatakan telah menekuni pekerjaan itu selama sedikitnya 10 tahun. Supadmi mengaku selama ini ia membantu suami mengelola tanah pertanian seluas 270 acre atau sekitar 110 hektare.

Luas tanah itu di atas rata-rata luas ladang pertanian yang dimiliki perorangan di Virginia, yakni 181 acre atau sekitar 74 hektare, menurut Departemen Pertanian Virginia.

Pengelolaan tanah seluas sekitar 110 hektare itu umumnya ditangani sendiri oleh sang suami yang dibantunya, dan mereka hanya sesekali mempekerjakan orang lain ketika sangat diperlukan, terutama pada musim panen buah apel atau pada waktu potong rumput di padang yang luas itu.

“Tanah yang kami tempati ada 270 acre. Itu semuanya suami saya yang mengurus. Ya, berdua saja yang ngurus. Jadi capai, tapi fun (menyenangkan). Yang penting urip itu happy (hidup itu bahagia). Yang penting hatinya senang, (kalau) capai memang iya, tapi tidak apa-apa.”

Di daerah-daerah pertanian Amerika, para wanita lazim ikut mengolah tanah, misalnya dengan mengemudikan traktor dan alat berat lainnya. Pertanian di Amerika memang mengandalkan mekanisasi dan tidak lagi bergantung pada tenaga manusia dan hewan.

Sekitar 50 hektare tanah yang dikelola Supadmi dan suaminya dijadikan kebun apel dan sisanya dibiarkan sebagai ladang rumput yang bisa dipanen dua atu tiga kali dalam setahun. Rumput yang dipanen menggunakan mesin langsung dibentuk dalam gulungan besar (bisa berdiameter lebih tinggi dari orang dewasa), dan dijual sebagai pakan sapi dan kuda, terutama pada musim dingin. Harga rumput per gulung besar rata-rata $80. Supadmi mengatakan, hasil panen rumput tidak menentu karena tergantung curah hujan.

“Karena ini cuma nungguin air hujan, jadi kalau hujannya banyak ya kita dapat panen banyak, tapi kalau tidak ya kita dapat sedikit,” ujarnya.

Karena bermukim di daerah pertanian pedesaan, rumah tinggal Supadmi jauh dari keramaian dan ke mana-mana harus ditempuh dengan mengemudi mobil sendiri karena di pedesaan Amerika tidak ada angkutan desa (angkudes) seperti umumnya di Indonesia.

“Karena kita jauh dari mana-mana, tetangga pun tiga kilometer kita baru sampai ke tetangga, jadi kadang just be friend (berteman) sama kuda.”

Supadmi menuturkan dia senang memelihara kuda yang menyita banyak waktu dan perhatiannya, terutama pada musim dingin ketika dia harus melengkapi kuda piaraannya dengan berlapis-lapis pakaian sesuai suhu udara di luar. Tentang kudanya, dia mengatakan:

“Di sini kalau sudah tua itu harus dipensiunkan walaupun cuma binatang. Kita harus respek karena dia banyak kerja dulunya. Dulu dia racehorse (kuda balap), tapi sekarang sudah retired (pensiun).”

Supadmi juga menyibukkan diri dengan memelihara ayam yang menghasilkan telor untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun dibagikan kepada teman-temannya. Selain itu, seperti Syarif Syaifulloh, Supadmi berhobi menamam berbagai sayur mayur, terutama yang umum ditanam di Indonesia, di kebunnya yang luas di sekitar rumah.

“Kalau buat saya ya senang ya karena apa yang saya mau ada. Maksudnya, saya suka dolanan lemah (mengolah tanah), jadi sampai di ini itu saya senang berkebun, mengurus hewan. Jadi, happy mawon (senang saja).”

Pada musim panas, Supadmi menanam berbagai jenis sayur di kebunnya, misalnya tomat, timun, kemangi, salad, dil, zukini, labu, dan lain sebagainya yang semuanya tumbuh subur. “Kalau musim panas kami panen sampai melimpah. Kami mengundang banyak teman diaspora Indonesia untuk datang mengambil hasilnya, pungkas wanita pemberani dari Jawa itu.