Komisi Pemberantasan Korupsi menegaskan tidak pernah ‘mencoret’ sejumlah nama politikus yang diduga menerima aliran dana e-KTP dalam materi dakwaan Setya Novanto.
Penegasan ini disampaikan KPK menanggapi tuduhan tim pengacara Setya Novanto bahwa lembaga antirasuah itu menghilangkan setidaknya tiga nama politikus PDI-Perjuangan dari dakwaan kliennya.
“Sebenarnya nama-nama itu ada dalam salah-satu bagian pembuktian unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain,” kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, kepada BBC Indonesia, Rabu (20/12).
Pihak yang disebut ‘memperkaya orang lain’, menurutnya, adalah sejumlah politikus dan anggota DPR yang diduga menerima aliran dana proyek e-KTP seperti yang muncul pada berkas dakwaan dua orang mantan pejabat Kemendagri, Irman dan Soegiharto.
Ada tiga nama politikus PDI Perjuangan, seperti Ganjar Pranowo (kini Gubernur Jawa Tengah), Olly Dondokambey (saat ini Gubernur Sulawesi Utara), serta Yasonna Laoly (sekarang Menteri Hukum dan HAM) yang disebut tim pengacara Setya ‘dihilangkan’ dari berkas dakwaan).
Menurut Febri, nama-nama itu tercantum dalam berkas dakwaan Setya. “Nah pihak-pihak yang diperkaya itu termasuk diantaranya sejumlah anggota DPR yang awalnya ada di dakwaan Irman dan Soegiharto,” tambah Febri.
KPK sengaja tidak memerinci
Dalam dakwaan Setya Novanto, pihaknya tidak memerinci nama-nama itu karena tim jaksa penuntut KPK ‘harus lebih fokus pada perbuatan Setya Novanto’.
“Maka sejumlah nama itu kita kelompokkan,” tegas Febri seraya menambahkan bahwa mereka dikelompokkan pada poin 13 di dalam dakwaan Setya Novanto. “Di dalam situlah, ada sejumlah nama-nama anggota DPR.”
Dia kemudian menjanjikan untuk memerinci nama-nama tersebut dalam rangkaian persidangan Setya Novanto berikutnya. “Sepanjang itu relevan dengan perbuatan yang dilakukan Setya Novanto.”
Karena itulah, Febri menganggap tuduhan bahwa KPK ‘bermain mata’ dengan para politikus PDI-Perjuangan itu sebagai tuduhan yang tidak berdasar.
“Kalau KPK ingin menyembunyikan, pasti sejak awal sudah tidak kita cantumkan. Tapi KPK tentu tidak bisa dan tidak akan mau melakukan hal-hal seperti yang dituduhkan tersebut,” jelasnya.
‘Menghambat pembelaan‘
Sebelumnya, tim pengacara Setya Novanto mempersoalkan yang mereka sebut sebagai hilangnya sejumlah nama penerima aliran dana proyek e-KTP seperti yang tercantum dalam dakwaan tersangka lainnya, Irman dan Soegiharto.
Salah-seorang pengacaranya, Maqdir Ismail, dalam wawancara dengan BBC Indonesia mengatakan bahwa secara teori dan praktik jika orang didakwa bersama-sama maka semua uraian dalam dakwaan ‘harus sama, tidak boleh berbeda’.
“Tidak boleh ada perbedaan antara satu dakwaan dan dakwaan lainnya,” kata Maqdir Ismail.
Itulah yang melatari pihaknya yang kemudian mempersoalkan materi dakwaan tim jaksa KPK yang disebutnya mengakibatkan ‘terdakwa tidak bisa melakukan pembelaan diri secara baik’.
Maqdir menepis persoalan ini sebagai masalah teknis belaka, “Orang mungkin menyebut ini kesalahan teknis, tapi bagi kami tidak. Ini masalah substansial dalam dakwaan orang yang didakwa bersama-sama.”
Jadi ‘justice collaborator‘
Secara terpisah, ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Mahmud Mulyadi mengatakan apabila nama-nama anggota DPR dan politikus itu terkait langsung dengan perkara Setya Novanto, maka KPK ‘harus mengejarnya’.
“Walaupun ada menteri di situ, harus dikejar, supaya tidak ada tebang pilih atau pandang bulu dalam penegakan hukum,” kata Mahumud Mulyadi kepada BBC Indonesia.
Namun demikian, menurutnya, apabila nama-nama itu tidak terkait langsung atau tidak relevan dengan perkara Setya Novanto, KPK disebutnya berhak tidak mencantumkan dalam berkas dakwaan.
“Kalau tidak terkait kasus Setya Novanto, tidak wajib disebutkan,” tandasnya.
Bagaimanapun, Mahmud kemudian mengusulkan agar Setya Novanto menjadi justice collaborator atau mengakui kejahatan dan membantu mengungkap siapa saja yang ikut menerima dana kasus e-KTP.
“Dia lebih baik jadi justice collaborator. Buka saja siapa yang menerima aliran dana itu,” kata Mahmud.
Menurutnya, langkah ini lebih penting ketimbang disibukkan tentang klaim bahwa KPK mencoret beberapa nama politikus dari berkas dakwaan dirinya.
Langkah lanjutan lainnya yang bisa dilakukan Setya Novanto, sambungnya, adalah melaporkan nama-nama politikus yang dicurigai menerima aliran dana e-KTP.
“Artinya, jangan tergantung kepada KPK. Tim lawyernya berhak melaporkan itu ke KPK, kejaksaan atau polisi,” kata Mahmud.
Sekilas perjalanan kasus e-KTP
Proyek Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik atau yang biasa disebut e-KTP dimulai Kementerian Dalam Negeri sebagai pelaksana pada tahun 2011-2012 dengan anggaran mencapai Rp5,9 triliun. T
emuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan ada kejanggalan pada ‘tahapan (awal) pembahasan anggaran’ dan pada September 2012, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga menangkap kejanggalan dalam proses tender.
KPK menduga ada aliran dana dari pemenang tender tersebut ke sejumlah pihak, termasuk sejumlah wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebuah tuduhan yang langsung dibantah oleh para anggota DPR yang disebut namanya.
Selain itu muncul juga dugaan penggelembungan Rp2,55 triliun dalam anggaran proyek pengadaan KTP elektronik atau e-KTP sebesar Rp5,9 triliun itu.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sendiri telah menvonis bersalah dua pejabat Kemendagri Irman dan Soegiharto dengan masing-masing vonis tujuh dan lima tahun penjara
Seorang anggota DPR, Miryam S Haryani, juga telah divonis bersalah dan dihukum lima tahun pidana penjara,
Dalam perkembangannya, Pengadilan Tipikor menuntut delapan tahun pidana penjara terhadap Andi Narogong, yang disebut sebagai rekanan proyek e-KTP.
Mantan Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto, juga telah didakwa pada Rabu, 13 Desember 2017 lalu.
Sumber : bbc.com