Wabah campak dan gizi buruk di Papua ternyata tidak hanya terjadi di Kabupaten Asmat, tapi juga di wilayah Pegunungan Bintang yang berjarak 286 km dari Agats, ibukota Asmat. Sementara jumlah korban terus meningkat. Hampir 100 orang meninggal di dua kabupaten tersebut, kebanyakan anak-anak.
Dinas Kesehatan Kabupaten Bintang, Provinsi Papua menyebutkan sebanyak 28 orang dilaporkan meninggal dunia di Kampung Pedam, Distrik Okbab, Kabupaten Bintang, lantaran mengalami dehidrasi berat akibat diare, campak dan gizi buruk atau kelaparan.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Oscar Primadi menyebut, tim pemerintah berusaha keras menangani masalah ini.
“Tim kita sedang turun, lagi memastikan sebabnya apa, gimana kondisi riilnya disana,” kata Oscar kepada BBC Indonesia, Senin (22/01).
Ia menyebut, tim kesehatan sudah diturnkan sejak Sabtu pekan lalu.
“Dua hari lalu dari dinas kesehatan setempat sudah turun sebetulnya. Kemarin juga bantuan-bantuan dari TNI dan Kementerian Kesehatan juga sudah bergerak kesana,” ujarnya pula.
Data terakhir mencatat jumlah korban meninggal di Kabupaten Asmat mencapai 68 orang. Satu orang di antaranya meninggal Senin hari ini akibat campak ,kata Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial, Harry Hikmat.
Sementara 67 lain sudah meninggal sebelumnya, semuanya anak-anak: 64 anak meninggal akibat campak dan 3 anak meninggal karena gizi buruk.
Seiring dengan meluasnya wabah dan semakin bertambahnya korban akibat campak dan gizi buruk, Harry menuturkan kementerian menaikkan status di wilayah ini sebagai bencana rawan pangan -atau bencana kelaparan.
“Untuk kedaruratan kamu sudah kirim bantuan yang dibutuhkan sesuai asesment dengan Dinsos, yaitu ada beras 3 ton, kemudian 8.000 paket makanan siap saji,” ujar Harry Hikmat kepada Ayomi Amindoni dari BBC Indonesia.
Bencana rawan pangan
Dari laporan tim kesehatan, sepanjang Oktober – Desember 2017 terdapat 28 orang meninggal di pedalaman Papua tersebut, 22 di antaranya adalah anak-anak.
Rincian anak-anak yang meninggal yakni laki-laki sebanyak 12 anak dan perempuan sebanyak 10 anak. Sementara, korban jiwa dewasa terdiri dari dua orang laki-laki dewasa dan empat korban perempuan dewasa.
“Kami sudah dapat laporan yang dari Pegunungan Bintang. Tapi dari sisi kementerian sosial, aspek kemanusiaan terutama. Kalau suatu komunitas ada gizi buruk ada kemungkinan kejadian rawan pangan atau bahkan ketiadaan persediaan pangan dalam jangka waktu yang lama,” jelas Harry.
Harry menyebut, berdasarkan pengamatan kelangkaan pangan di Asmat adalah akibat dari kurangnya buruan mereka.
Sebagian masyarakat Papua memang masih hidup dari berburu, berladang berpindah. Sebagian yang hidup di pedalaman sepenuhnya merupakan masyarakat peramu, dan tidak memiliki keahlian berladang.
“Jadi mereka mencabut, atau mengambil tanaman yang secara alami tumbuh,” jelas Harry.
Perkembangan baru membuat mereka semakin sulit mencari buruan binatang dan makanan yang mengandung protein dan karbohidrat.
“Pada kejadian sebelumya, wabah banyak terjadi di wilayah pantai dan sungai, sekarang bergeser ke pedalaman di pegunungan,” kata dia.
Lebih lanjut, Harry menuturkan saat ini tim Kementerian Sosial sedang menindaklanjuti laporan keadaan di Pegunungan Bintang.
“Memang jangkauannya lebih sulit daripada Asmat. Ada jalan darat yang harus ditempuh sangat panjang. Informasi dari Dinsos setempat memang daerah itu sering terjadi rawan pangan.” Jelas Harry.
Hal yang sama juga terjadi di wilayah lain seperti Nduga.
Bantuan elemen masyarakat mulai mengalir
Pekan lalu, Kementerian Sosial sudah mengirimkan bantuan dari ibu kota Jakarta. Menurut Harry, saat ini seluruh bantuan sudah berada ibu kota Kabupaten Asmat, Agats.
Ia menyebut, bantuan kemanusiaan yang terdiri dari selimut, matras, perlengkapan makanan dan baju anak, dan juga makanan tambahan lainnya, dibeli di Mimika dan Jayapura, senilai lebih dari Rp800 juta, sudah sampai di Posko Tanggap Darurat di Agats.
Sementara Humas Kementerian Kesehatan, Oscar Primadi menambahkan pihaknya sudah menerjunkan 49 orang ke Asmat, terdiri dari dokter ahli dan paramedis.
Sebelumnya, tim kesehatan Polda Papua dan paramedis dari puskesmas Atsj melakukan serangkaian upaya untuk menanggulangi campak dan gizi buruk di dua Distrik yaitu Distrik Aip yang terdiri dari kampung Kawet, Mausi, Comoro, Satoyot, Tomor Airo-Airo dan Distrik Awiyu yang terdiri dari Kampung Sagare, Yepu dan Wagi pada hari Sabtu (20/01). Sejumlah warga dirujuk ke Puskesmas Atsj.
Tim melakukan pemeriksaan kepada 472 pasien, kemudian 10 orang dirujuk ke Puskesmas Atsj lantaran didiagnosis campak, dehidrasi dan kurang gizi. Sementara warga yang mendapat imunisasi sebanyak 112 orang.
Selain itu, bantuan dari berbagai elemen masyarakat juga sudah mulai mengalir.
Misalnya, bantuan beras dan biskuit dari organisasi kemanusiaan Aksi Tanggap Cepat (ACT) telah tiba di Agats pada Minggu (22/01) sore. Nurjannatunaim dari Tim Emergency Response ACT menuturkan paket pangan siap santap akan didistribusikan bagi pasien campak dan gizi buruk dan keluarga yang menunggui mereka di RSUD Agats.
Sementara distribusi bantuan ke kampung-kampung dan pedalaman mendapat dukungan penuh dari TNI dan Polri.
Penyisiran tim kesehatan terus berlangsung
Saat ini, tercatat 5 pasien campak dan 29 pasien gizi buruk yang menjalani rawat inap di RSUD Agats.
Sementara itu, Tim Posko Kesehatan Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk mendata bahwa sampai dengan Sabtu (20/01), sebanyak 586 anak menderita campak dan 57 anak menderita gizi buruk. Tim mencatat pula sebanyak 4 anak menderita campak sekaligus gizi buruk.
Harry melanjutkan penyisiran ke rumah-rumah penduduk terus dilakukan di Kabupaten Asmat. Berdasar laporan, terdapat 14 orang dari dua kampung dievakuasi ke RSUD Agats.
Lantaran keterbatasan tempat di RSUD Agats, layanan rawat inap meminjam ruang serbaguna gereja yang lokasinya tidak jauh dari rumah sakit.
“Posisi sekarang 189 rawat inap di RSUD plus yang di ruang gereja,” cetusnya.
Apa langkah selanjutnya?
Menindaklanjuti bencana rawan pangan dan KLB campak di Papua, Oscar Primadi mengatakan pemerintah akan melakukan upaya penanganan intensif lintas sektor.
“Memang kita akan lebih intensifkan program yang melibatkan lintas sektor. Di sana kan bukan hanya masalah kesehatan, tapi berkenaan dengan infrastruktur dan hal-hal yang berkaitan dengan sosial,” kata Oscar.
Hal ini diamini oleh Harry Hikmat. Pertukaran informasi menjadi kunci dari koordinasi penanganan wabah campak dan gizi buruk. Terlebih ternyata yang terkena campak terindikasi gizi buruk.
Tak heran banyak ditemui pasien rawat inap, bahkan yang sudah meninggal, mengidap komplikasi antara campak dan gizi buruk.
Sumber : bbc.com