Memasuki bulan puasa, Indonesia justru diterjang berbagai serangan teror.
Setelah kerusuhan di Mako Brimbo dan bom bunuh diri di Surabaya, Markas Kepolisian Daerah Riau menjadi sasaran terbaru teroris yang diduga terkait dengan kelompok Jamaah Ansharud Daulah (JAD), Rabu (16/05).
Dan pengamat terorisme dari Yayasan Lingkar Perdamaian Ali Fauzi mengkhawatirkan serangan akan berlanjut di Bulan Ramadan karena para teroris meyakini bahwa ‘amalan’ mereka akan diganjar pahala berlipat ganda.
“Mereka meyakini bahwa bom bunuh diri, dengan melakukan serangan pada target-target yang mereka pilih itu bagian daripada jihad.”
“Tentu ketika melakukan amal di bulan puasa, pahala, ganjaran yang mereka pahami berlipat-lipat,” kata Ali, yang merupakan mantan kombatan dan pernah terlibat dalam kasus terorisme.
Serangan di Mapolda Riau menewaskan seorang polisi dan melukai dua lainnya sedangkan empat pelaku ditembak mati, dan satu pelaku yang berusaha melarikan diri telah berhasil ditangkap.
Rabiu (16/05) pagi sebuah mobil menabrak pagar Mapolda dan dari dalam mobil, ke luar empat orang bertopeng yang kemudian menyerang polisi dengan senjata tajam.
Juru bicara Polri, Irjen Setyo Wasisto, mengatakan para pelaku terkait dengan ISIS dan telah berbaiat kepada pemimpin kelompok teror itu, Abu Bakar al-Baghdadi.
Sebelum menyerang Mapolda Riau, kata Setyo, mereka sebenarnya sudah datang ke Mako Brimob di Depok, Jawa Barat, untuk melancarkan serangan lanjutan.
“Namun, karena Mako Brimob sudah kondusif, mereka pulang. Dua pulang ke Sumatera Selatan, sudah ditangkap. Yang empat ke Pekanbaru melakukan penyerangan,” paparnya.
Sementara polisi terus mengejar terduga teroris di berbagai tempat, antara lain tiga terduga teroris -seorang di antaranya perempuan- yang ditangkap satuan anti teror Densus 88, Rabu (15/05).
Sebelumnya, Densus 88 juga menangkap sejumlah teroris di Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan.
Polisi ‘kewalahan’
Bagaimanapun, polisi tampaknya luput dalam mencium sejumlah serangan yang dipicu oleh kerusuhan di Mako Brimob pekan lalu.
Pengamat kepolisian dari UI, Benny Mamoto, menilai polisi kewalahan dalam menghadapi luasnya jaringan teroris.
Sebelumnya Kapolri Tito Karnavian menyatakan bahwa terdapat 500 keluarga asal indonesia yang kembali dari Suriah setelah mempelajari strategi teror.
“Bayangkan saja 500 orang, mungkin lebih; ditambah mereka yang kemudian diradikalisasi oleh mereka yang berangkat ke Suriah. Ini kan 500 bisa berlipat,” kata Benny.
Bagaimanapun, dalam jumpa pers tak lama setelah serangan di Surabaya, Senin (14/05), Kapolri Tito Karnavian mengklaim bahwa aparat sebenarnya sudah berhasil menggagalkan banyak serangan teroris meski tidak diungkap ke publik.
Tapi apa kata warga tentang antisipasi polisi atas rangkaian serangan teroris ini?
“Kok bisa sampai kecolongan gitu, apakah nggak ada antisipasinya, enggak ada warning dari mereka ya,” kata Ulfa (31) di Jakarta.
Sedangkan Restu (24) bisa lebih memahami kesulitan yang dihadapi polisi, “Lagian emang namanya teroris tidak sembarangan bikin rencana. Mereka juga sudah menyiapkan berbulan-bulan.”
Masalahnya, kata Tito, dari sekian banyak rencana serangan yang berhasil dideteksi dan dihentikan oleh aparat, teroris hanya perlu berhasil satu kali saja.
“Bagi teroris, Anda berhasil menggagalkan 999 rencana kami tapi satu saja Anda gagal mendeteksi kami maka kami sudah sukses,” ujarnya.
Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo telah menyetujui pengaktifan satuan gabungan TNI untuk membantu Polri memberantas terorisme.
Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) akan dikomandoi Panglima TNI, yang dalam menjalankan tugasnya berkoordinasi dengan Kapolri.
“Unsur-unsur di dalamnya kekuatan-kekuatan dari pasukan khusus darat, laut, dan udara yang terpilih, yang terbaik,” kata Moeldoko kepada wartawan di Istana Negara.
Sumber : bbc.com