Sebelum berangkat ke Swedia, saya sedang menikmati dunia kerja yang sudah saya geluti kurang lebih 10 tahun. Bisa dikatakan saya sudah berada di zona nyaman. Akhirnya tiba pada satu titik dimana saya sadar masih membutuhkan ilmu yang menunjang karir saya.
Sebelumnya saya telah lulus S1 dari jurusan Teknologi Media dan Cetak di Bergische Universität Wuppertal, Jerman tahun 2010. Pada tahun 2017, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan saya ke jenjang S2.
Setelah berdiskusi dengan banyak pihak dan mencari informasi, saya putuskan untuk melanjutkan S2 di KTH Royal Institute of Technology dengan jurusan Media Management.
Perjuangan dalam mempersiapkan dokumen dan mencari sumber pendanaan dimulai. Salah satu tahap yang memakan waktu adalah persiapan untuk mengambil ijazah kemampuan Bahasa Inggris.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, saya relakan waktu pulang kerja saya untuk lanjut les Bahasa Inggris. Mengorbankan waktu istirahat demi masa depan.
Beasiswa yang saya coba pertama kali adalah LPDP tahun 2017. Sayangnya perjuangan saya gagal. Percobaan di tahun berikutnya juga gagal.
Melihat banyak dari teman-teman saya yang mendapatkan beasiswa tersebut tidak lantas membuat saya menyerah, karena menurut saya seseorang dipertemukan dulu dengan yang kurang tepat sebelum dipertemukan dengan yang tepat.
Pada akhirnya di tahun 2019, saya berhasil mengantongi LoA dari KTH serta dinyatakan sebagai salah satu dari 16 orang Indonesia penerima beasiswa dari pemerintah Swedia yang bernama Swedish Institute.
Jalin silaturahmi
Setiap hari Senin hingga Jumat ke kampus. Jika jam kuliah sudah berakhir, saya biasanya mengerjakan tugas atau membaca jurnal di perpustakaan. Di akhir pekan, terkadang saya bersama teman-teman jalan-jalan keliling Stockholm dan diakhiri dengan duduk santai di sebuah kafe.
Di akhir pekan terkadang kami juga jalan-jalan keliling Stockholm.
Saya dengan teman-teman sejurusan juga mempunyai program ‘makan siang internasional’. Setidaknya satu bulan sekali tiap mahasiswa dari satu negara mengundang teman-teman sejurusan untuk makan makanan khas negaranya di rumahnya.
Saya pun tinggal di apartemen mahasiswa, dimana saya berbagi dapur bersama 13 mahasiswa lainnya yang berasal dari negara berbeda. Tidak jarang pula kami mengadakan makan malam bersama dengan memasak makanan khas negara masing-masing.
Selain mengenal budaya negara lain, kegiatan seperti ini juga bisa mempererat silaturahmi.
KBRI Stockholm juga beberapa kali mengadakan acara kumpul-kumpul WNI di Wisma KBRI untuk meningkatkan tali silaturahmi antara para mahasiswa ataupun masyarakat Indonesia di Swedia.
Menghadapi corona
Setelah pandemi virus corona melanda, aktifitas saya di luar rumah menjadi berkurang. Perkuliahan menjadi via digital. Saya hanya bertemu teman-teman via internet saja. Bahkan keluar kamar hanya untuk belanja ke supermarket.
Saya beruntung tinggal di komplek apartemen mahasiswa yang berada di pinggir kota dan dikelilingi oleh hutan dan berbatasan dengan pantai.
Jika bosan sudah melanda, saya biasanya jalan-jalan sore atau jogging di sekitar hutan dan diakhiri dengan duduk-duduk sendiri di pinggir pantai.
Seperti halnya penduduk Swedia, saya masih bisa dengan santai keluar rumah, untuk belanja ke supermarket misalnya, di tengah pandemi virus corona.
Pemerintah Swedia memang hanya memberikan rekomendasi untuk menjaga jarak (physical distancing), bukan menerapkan lockdown. Keputusan ini berbeda dengan mayoritas negara Eropa lainnya dan tak sedikit yang menganggapnya kontroversial.
Walau terkesan santai, namun sebenarnya pemerintah Swedia memberikan tanggung jawab yang besar kepada penduduknya untuk membantu mengurangi penyebaran virus corona.
Sebenarnya keputusan tersebut memiliki alasan yang kuat. Misalnya alasan tidak menutup sekolah adalah untuk menjaga kapasitas fasilitas kesehatan. Anders Tegnell, ahli epidemiologi Swedia, dalam wawancaranya dengan BBC menyampaikan bahwa jika sekolah ditutup maka kapasitas fasilitas kesehatan akan berkurang hingga 20 sampai 25 persen.
Hal ini karena para tenaga kesehatan harus menemani anak-anak mereka di rumah, karena tidak disarankan untuk menitipkan mereka ke kakek-nenek mereka untuk mencegah penularan.
Dalam wawancaranya, Tegnell juga menyampaikan efek lockdown dan menutup sekolah akan berdampak luas ke isu non-kesehatan. Beliau memprediksi bahwa dengan diliburkannya sekolah maka memberi dampak pada jumlah lulusan, terutama di sektor kesehatan yang terganggu, karena jumlah lulusan kesehatan akan terganggu.
Tak diterapkannya lockdown juga berlandaskan oleh kepercayaan pemerintah Swedia terhadap masyarakatnya yang terpelajar dan berpendidikan.
Menurut pengamatan saya, mayoritas penduduk Swedia patuh terhadap rekomendasi pemerintahnya.
Setidaknya saat ini suasana di Stockholm lebih sepi dibandingkan biasanya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar orang sepakat untuk melakukan physical distancing.
Sistem kesehatan terbaik
Sama seperti pendidikan, sistem kesehatan di Swedia juga sangat bisa diandalkan, baik untuk penduduk maupun perantau seperti mahasiswa.
Sistem asuransi dan pelayanan kesehatan di Swedia bersifat terpadu dengan sistem database lainnya, seperti data kependudukan. Jadi riwayat kesehatan seseorang bisa diketahui secara lengkap dan gamblang.
Setiap mahasiswa mendapatkan perlindungan asuransi kesehatan dengan sistem reimbursement hingga nominal maksimal yang telah ditentukan per tahun.
Jika dalam satu tahun seseorang sudah menghabiskan nominal maksimal tersebut, maka selanjutnya akan digratiskan.
Alhamdulillah saya belum pernah sakit dan merasakan pelayanan rumah sakit. Namun, beberapa teman sempat bercerita tentang pengalamannya. Semuanya memberikan nilai positif tentang pelayanan yang diberikan.
Misalnya teman saya bernama Ratna dari Uppsala yang pernah membawa anaknya yang masih usia SD berobat ke dokter. Ia mengatakan semua biaya gratis, mulai dari periksa dokter sampai ambil obat.
Hal senada juga dikatakan Anya, seorang mahasiswa S1 di Malmö, yang mengatakan bahwa ketika berkunjung ke dokter dirinya wajib menunjukkan ID Kort (semacam KTP ala Swedia).
Setelah dicek, pihak klinik menyatakan dirinya tidak perlu melakukan pembayaran sama sekali.
Setelahnya, Anya diperiksa dan harus melakukan rangkaian tes seperti ambil darah dan tes virus/bakteri. Semuanya dilakukan dengan cepat dan prosedural. Semua mengantre sesuai nomor. Tidak ada yang didahulukan.
Salah satu yang membedakan penanganan medis disini dengan di Indonesia adalah terkait pemberian obat.
Banyak teman-teman disini, misalnya Shilla dari kota Växjö, mengatakan jika berkunjung ke dokter di Indonesia, sakit ringan saja sudah dikasih obat. Sedangkan tidak demikian halnya di Swedia. Bahkan untuk sakit non-ringan pun belum tentu akan dikasih obat.
Shilla menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke pusat medis Jourläkarcentralen. Dirinya hanya diberikan satu jenis obat saja – paracetamol. Sedangkan di Indonesia mungkin bisa diberikan bermacam-macam obat.
Dirinya mengaku seseorang yang “langganan” ke rumah sakit di Indonesia, sehingga sangat merasakan perbedaannya.
Mendoakan Indonesia dari jauh
Di tengah pandemi virus corona, kondisi WNI di Swedia masih terpantau baik.
Kami memang mengikuti anjuran untuk di rumah saja, menghindari hadir di keramaian, dan terus menjaga kesehatan.
Kami sangat sadar betapa berbahayanya virus ini dan kami tidak ingin menyumbangkan angka kasus positif virus corona di Swedia.
Melihat kondisi pandemi di Indonesia, tentu saja saya dan teman-teman Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Swedia merasa sedih.
Dengan angka statistik yang secara terang-terangan menunjukkan jumlah yang meninggal lebih tinggi daripada yang sembuh, maka sudah seharusnya pemerintah Indonesia fokus meningkatkan layanan dan fasilitas kesehatan ke daerah-daerah non-lingkaran Jakarta.
Tak hanya pasien, petugas medis juga wajib dilindungi agar bisa tetap sehat selama merawat pasien.
Selain itu pemerintah Indonesia juga perlu memperluas perlindungan sosial, terutama bagi pekerja di sektor informal yang pendapatannya harian, seperti pelaku UKM, buruh pabrik, atau pengemudi ojek online.
Hal ini penting dilakukan, karena bisa saja mereka bakal pulang kampung karena tidak kuat menanggung biaya hidup di kota tanpa pemasukan.
Tentu saja hal ini beresiko terhadap penularan virus terhadap keluarga dekatnya.
Kami yakin pemerintah Indonesia mampu menangani krisis ini.
Sumber : CNN [dot] COM