Semakin banyak pemuda akrab dengan jamu. Itu antara lain berkat upaya pemuda peramu jamu, disebut Barisja, yang mematahkan kesan ‘pahit’ jamu, dan pecinta jamu yang bertekad melestarikan minuman rempah itu.
Mereka juga gigih mengajak pemuda mencintai minuman tradisional supaya badan dunia PBB mengakui jamu sebagai warisan budaya Indonesia takbenda.
Jamu? Emoh. Pahit dan bau. Selain itu, oldies!
“Ada lho jamu yang tidak pahit dan baunya sedap,” cetus Andri Gunawan. Peramu jamu dari Stasiun Jamu ini menunjuk hasil kreasi perusahaannya, Rosela Sereh.
“Paling banyak itu memang dikonsumsi anak muda kalau Rosela Sereh,” imbuhnya.
“Jamu dari bunga sama sekali tidak bau. Malah wangi. Dan banyak jamu yang tidak pahit,” ujar Nova Dewi Setiabudi, pakar rempah dan ramuan (lead herbalist & mixologist).
Jamu identik oldies? Andri dan Nova menggeleng. Mereka tanpa ragu mengungkapkan bahwa sejak kecil mereka akrab dan doyan jamu.
Andri, yang kini menjadi konsultan dalam bidang usaha rempah atau jamu, dengan terus terang mengungkapkan bahwa kedua orang tuanya di Solo adalah pedagang jamu. Penjaja jamu, lebih tepatnya. Ayahnya menjajakan jamu dengan bersepeda. Ibunya berjalan, menggendong bakul jamu.
Nova terbiasa minum jamu sejak kecil karena di rumah orang tuanya di Surabaya selalu tersedia jamu. Di Jakarta, kesulitan mendapatkan jamu mendorongnya berbisnis ramuan rempah dan mendirikan Suwe Ora Jamu pada 2013.
Andri tidak menampik fakta bahwa lebih banyak pemuda yang tidak suka jamu. Namun, berkaca dari pengalamannya, juga pengalaman Nova dan pegiat jamu umumnya, ia berpendapat, anak-anak muda bukan tidak suka jamu. “Mereka hanya belum kenal,” katanya.
Karena, “Orang tua tidak memperkenalkan jamu, itu apa. Sebenarnya, kalau orang tuanya sudah mengenal jamu, biasanya sih mereka juga akan memperkenalkan jamu kepada anak-anaknya. Biasanya regenerasinya begitu, yang saya tahu,” tambahnya.
Tudingan bahwa jamu identik ‘oldies’ juga ditepis Andri. Ia mengingatkan bahwa jamu adalah bagian dari tradisi bangsa dan sudah ada sejak kita lahir. Tetapi, bukan berarti jamu hanya untuk orang tua.
“Manfaatnya untuk semua orang, termasuk pemuda,” kata Nova yang sering menjadi pembicara tentang jamu. Peserta umumnya anak-anak muda. Mereka adalah juga konsumen kafe Suwe Ora Jamu, yang kini sudah ada empat, tersebar di beberapa lokasi di Jakarta. Bersama tim, Nova juga membuka Bar Jamu.
“Kami memperkenalkan jamu tidak hanya dari segi rasa tapi juga dari filosofi, dari cerita, sehingga kita mengajak anak-anak generasi muda, bukan hanya ikutan tren, mau minum jamu, tetapi karena mereka believe, jamu itu our Indonesian heritage, khasiat jamu dari natural ingredients Indonesia, terus mereka jadi bangga dan cinta pada budaya jamu.”
Laiknya di bar, barisja (barista jamu) mengocok campuran beragam rempah. Ramuan lalu dibubuhi krim, misalnya. Konsumen menjadi lebih tertarik karena melihat langsung proses pencampuran itu.
Andri memaparkan apa yang dilakukan di Stasiun Jamu untuk menarik lebih banyak konsumen muda. Selain kemasan yang transparan, mereka memberi label, dan menyuguhkan jejamuan berwarna terang.
Toh, itu tidak cukup meyakinkan pemuda untuk minum jamu. Mereka merasa jamu tidak keren dan kalah gengsi dari minuman lain yang lebih terkesan modern dan kebarat-baratan.