Bagaimana Paus Fransiskus Tangani Skandal Seks di Gereja Katolik?

0
994

Sebagai bagian dari usaha mengatasi skandal seks yang menguncang Gereja Katolik Roma, Paus Fransiskus menggelar konferensi khusus para uskup di Roma mulai 21 hingga 24 Februari.

Hal ini dilakukan setelah pengakuannya baru-baru ini yang tidak terduga, bahwa para pastor mengeksploitasi para biarawati menjadi “budak seks” di sebuah biara di Prancis.

Paus Fransiskus memutuskan untuk mengadakan konferensi dunia setelah merundingkannya dengan C-9, kelompok sembilan penasihat uskup yang ditunjuk tidak lama setelah Fransiskus menjadi pemimpin Gereja Katolik.

Paus sangat terdesak untuk menunjukkan kepemimpinan dan menempuh jalan keluar yang dapat diterapkan terkait krisis paling penting yang dihadapi gereja di masa modern.

Berbagai cerita tentang pelecehan muncul dari berbagai tempat dunia. Dan Gereja dituduh menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan para pastor, sehingga membuat semangat otoritas gereja hancur.

Awal mula skandal dunia terungkap

Paus Fransiskus juga harus menghadapi anggapan, sikap dan praktik yang memungkinkan berkembangnya budaya pelecehan. Skala tantangan ini kemungkinan akan sangat besar.

KTT yang akan dihadiri pemimpin konferensi uskup nasional dari lebih 130 negara ini hanyalah tahap permulaan dari usaha untuk mengatasi penyakit yang meracuni Gereja sejak tahun 1980-an.

Ketika Jason Berry, seorang wartawan koran lokal di Negara Bagian Louisiana, AS, mulai memberitakan pelecehan oleh seorang pastor bernama Romo Gilbert Gauthe, dia tidak menyangka tugasnya akan memicu skandal dunia yang masih hidup lebih 30 tahun kemudian.

Karya Berry menyebabkan terbitnya buku Lead Us Not Into Temptation pada tahun 1992, berdasarkan tuntutan hukum sipil bahwa Gereja berdamai dengan sejumlah orang yang menuduh terjadinya pelecehan pada akhir tahun 1980-an.

Tuntuan terhadap ‘pastor predator’

Tahun 2002, tulisan Berry ditindaklanjuti dengan penyelidikan koran Boston Globeyang memberikan narasi yang lebih luas terkait pelanggaran yang dilakukan pastor dan usaha untuk menutupinya.

Para wartawan media tersebut mendapatkan Pulitzer Prize yang bergengsi dan pekerjaan mereka didramatisir lewat film Spotlight.

Berbagai skandal terus terjadi.

Bayangkan saja, enam dari delapan keuskupan Katolik Roma di Negara Bagian Pennsylvania, diperiksa tahun lalu.

Jaksa Josh Shapiro mengkaji setengah juta dokumen internal keuskupan. Puluhan orang bersaksi, sebagian pastor mengaku telah melakukan kesalahan. Laporan Shapiro yang diterbitkan pada bulan Desember, dipandang menghancurkan Gereja Katolik.

“Lebih 1.000 anak-anak yang menjadi korban diidentifikasi berdasarkan catatan Gereja sendiri,” tulisnya, sehingga diluncurkan “tuntutan yang kuat terhadap lebih 300 pastor predator”.

Laporan setebal lebih dari 1.000 halaman itu mencatat kejadian dalam 70 tahun terakhir, dan contoh-contoh yang diungkapkan memang menakutkan.

Di keuskupan Scranton, seorang pastor memperkosa anak perempuan dan ketika dia hamil, mengatur dilakukannya aborsi. Atasan pastor, uskup setempat menulis sebuah surat.

“Ini adalah saat tersulit dalam kehidupan saya dan saya menyadari betapa terganggunya Anda,” tulisnya. “Saya turut merasakan masalah Anda.”

Surat tersebut bukan dialamatkan ke anak perempuan, tetapi kepada pastor.

Di keuskupan lain, seorang pastor melecehkan anak berumur sembilan tahun dan kemudian membersihkan mulut anak laki-laki tersebut dengan air suci.

Laporan tersebut menyimpulkan bahwa paedofil predator dapat melecehkan anak-anak karena Gereja menyembunyikan tindakan mereka dengan memindahkan pastor yang bersalah ke tempat lain dan tidak melaporkan pelanggaran tersebut kepada polisi.

Tuduhan perkosaan

Pastor Franco Mulakkal memulai tugasnya di kota kecil Kerala, di pantai barat daya India, dan menjadi uskup di bagian utara negara itu.

Dia ditangkap pada bulan September 2018 setelah muncul sejumlah tuntutan dari seorang biarawati yang dia datangi secara teratur untuk diperkosa. Uskup, yang mundur untuk sementara waktu tersebut, menyangkal semua tuntutan dan mengatakan kepada wartawan bahwa hal tersebut “tidak berdasar dan dibuat-buat”.

Lewat surat yang ditulis oleh biarawati kepada atasannya, sang biarawati mengaku perkosaan pertama dialami pada bulan Mei 2014 dan yang terakhir kali pada bulan September 2016.

Pada bulan Januari, para biarawati meminta menteri utama Kerala untuk campur tangan, karena Gereja diduga memaksa mereka untuk meninggalkan negara bagian itu, guna menutupi masalah.

Para biarawati mengeluh bahwa mereka dieksploitasi karena mereka sering kali bergantung pada pastor dan uskup terkait dengan tempat tinggal dan khawatir ditelantarkan jika melawan terhadap pastor yang melakukan pelecehan.

Di Malawi, prevalensi HIV di antara penduduk dewasa sampai umur 64 tahun adalah lebih dari 10%. Biarawati menduga mereka disasar karena dipandang “suci” dan lebih kecil berkemungkinan membawa virus tersebut.

‘Tidak lagi’

Tahun 2012, pemerintah Australia mengumumkan pembentukan komisi yang ditugaskan untuk menyelidiki respons kelembagaan terhadap pelecehan anak-anak. Organisasi yang dilibatkan di antaranya adalah pusat penampungan anak-anak, sekolah, pusat olah raga, seni dan kelompok lain masyarakat, selain juga Gereja.

Komisi tersebut menyimpulkan 7% pastor Katolik Roma di Australia diduga melakukan pelecehan anak dari tahun 1950 sampai 2010.

Pada satu ordo keagamaan, St John of God Brothers, 40% pemimpinnya dituduh melecehkan anak-anak.

Chrissie Foster, ibu dua anak yang dilecehkan para pastor di Melbourne, mengeluhkannya ke pemerintah. Dia mengatakan kepada BBC, bukannya menjawab kekhawatirannya, keluarganya malahan menjadi bahan desas-desus.

“Mereka mengatakan kami pembohong, bahwa kami hanya berusaha mendapatkan uang,” katanya.

“Itulah yang mereka katakan kepada para jemaat. Dan mereka akan meyakininya karena siapa yang percaya bahwa pastor akan memperkosa anak-anak? Lebih mudah untuk mempercayai kebohongan dari pada kebenaran bahwa para pastor melecehkan anak-anak secara seksual.”

Pada bulan Agustus 2018, Gereja Katolik Roma di Australia menyampaikan tanggapan resminya kepada komisi.

Uskup Agung Mark Coleridge, ketua Konferensi Uskup Katolik Australia, mengatakan “terlalu banyak” pastor, orang beragam dan biasa di dalam Gereja di Australia yang “gagal melakukan kewajibannya untuk melindungi dan menghormati semua orang dan terutama kelompok yang paling rapuh, anak-anak kita dan generasi muda kita.”

“Dengan satu perkataan, para uskup dan pemimpin ordo keagamaan yang ada di sini pagi ini menyatakan, ‘Tidak pernah lagi,'” katanya.

‘Pelecehan yang mengerikan’

Musim panas lalu, penyelidikan indepen di Inggris, Independent Inquiry into Child Sexual Abuse, menerbitkan laporan terkait dua sekolah Katolik Roma paling bergengsi di Inggris: Ampleforth College di North Yorkshire dan Downside School di Somerset.

Menurut laporan itu, sekolah-sekolah itu “memprioritaskan biarawan dan nama baik mereka dibandingkan perlindungan terhadap anak-anak” dan “pelecehan telah mereka lakukan selama puluhan tahun terhadap anak-anak, yang termuda berumur tujuh tahun di Ampleforth dan 11 tahun di Downside”.

Penyelidikan tersebut mendengarkan kesaksian orang-orang yang dipaksa melakukan hubungan seks, kadang-kadang di depan sesama murid.

Laporan itu menyimpulkan bahwa ditemukan “banyak pelaku bahkan tidak menyembunyikan ketertarikan seksual mereka terhadap anak-anak”.

“Keterbukaan yang gamblang terkait tingkah laku mereka tersebut memperlihatkan sebuah budaya yang menerima tingkah laku pelecehan.”

Karena penerbitan tersebut, Ampleforth menyatakan “biara dan sekolah mengulangi permintaan maaf mendalam kepada semua korban dan orang yang selamat dari pelecehan”.

Downside menyampaikan penyesalan yang sama: “Biara dan sekolah sangat menyadari terjadinya kegagalan dan kesalahan serius dalam melindungi orang-orang yang seharusnya kami lindungi.”

Bagi sebuah organisasi dengan lebih dari 1,2 miliar penganut dan saat ini hadir di semua negara di dunia, pusat perhatian sekarang difokuskan pada Paus Fransiskus.

Ketika dia terpilih pada bulan Maret 2013, Paus sangat menyadari pengaruh skandal pelecehan pastor terhadap Gereja.

Dalam setahun, pada bulan Juli 2014, dia telah bertemu enam korban dari tiga negara – dua orang dari Irlandia, Inggris dan Jerman. Dalam misa pribadi di mana enam korban hadir di antara para jemaat, dia menyampaikan permintaan maaf secara eksplisit.

“Di depan Tuhan dan umatnya, saya menyatakan kesedihan atas dosa dan kejahatan serius pelecehan seksual yang dilakukan pastor kepada Anda,” kata Paus Fransiskus dalam khotbah yang kemudian diterbitkan Vatikan.

“Dan saya dengan rendah hati memohon maaf. Saya meminta maaf Anda juga bagi dosa para pemimpin Gereja yang menghapuskan dan tidak merespons sepatutnya terhadap sejumlah laporan pelecehan yang disampaikan anggota keluarga, di samping korban pelecehan sendiri.”

Tidak lama kemudian, Paus Fransiskus menambahkan delapan anggota baru yang dudul di komisi perlindungan anak-anak bentukan bentukan Vatikan, dari Afrika, Osenia, Asia, dan Amerika Selatan. Tetapi badan ini menghadapi masalah karena anggotanya mundur. Dua orang di komisi yang juga korban pelecehan, Marie Collins dan Peter Saunders, mengundurkan diri

Marie Collins, yang dilecehkan seorang pastor saat berumur 13 tahun, menulis sebuah surat yang menyatakan meskipun Paus berkeinginan mengatasi masalah pelecehan yang dilakukan pastor, birokrasi Vatikan tetap saja menolak usulan perubahan.

Setelah komisi mengeluarkan rekomendasi bahwa semua surat-menyurat dengan para korban dan orang yang selamat seharusnya direspons, dia menemukan bahwa tidak satupun yang menerima jawaban.

“Saya merasa tidak mungkin mendengarkan pernyataan terbuka tentang kekhawatiran mendalam Gereja terkait dengan perlakuan terhadap orang-orang yang kehidupannya dirusak karena pelecehan,” tulisnya, ” sementara menyaksikan langsung bahwa kelompok di Vatikan menolak bahkan untuk menjawab surat-surat mereka.”

Dia menyimpulkan: “Ini sebuah refleksi bagaimana seluruh krisis pelecehan di Gereja ditangani: dengan kata-kata manis di depan umum dan tindakan yang bertentangan di balik pintu tertutup.”

Paus Fransiskus memutuskan untuk membuka pintu dengan mengadakan KTT yang belum pernah dilakukan sebelumnya untuk mengatasi masalah. Tetapi dia sudah berusaha mengurangi harapan dengan memperingatkan media, saat terbang kembali ke Roma dari Uni Emirat Arab, bahwa konferensi tiga hari itu hanyalah suatu permulaan dari sebuah percakapan.

Pihak lain memandang dia seharusnya mengeluarkan keputusan yang harus dipatuhi Gereja dan menerapkan protokol universal guna menghadapi berbagai tantangan karena keberadaan Gereja bergantung kepada serangkaian sistem budaya dan peradilan.

Sulit untuk membayangkan tantangan yang lebih mendesak bagi pemimpin yang berumur 82 tahun ini. Kepemimpinannya dimulai dengan antusiasme meluas dari seorang pria yang memilih kesederhanaan, bukannya upacara dan kemegahan, kerendahan hati dan kasih sayang bukannya jebakan status.

Tetapi bagaimana akhir dari hal ini kemungkinan ditentukan tindakan yang dia ambil dan protokol yang dia terapkan, untuk menangani masalah pelecehan skala besar.