Krisis Teluk: Apakah Kita Sedang Menuju Pada ‘Perang Tanker’ Baru?

0
755

Kapal tanker yang terbakar di kawasan Teluk, kapal perang Amerika menjawab panggilan darurat, dan retorika perang yang menimbulkan ketakutan akan konflik yang besar.

“Perang tanker” adalah satu momen tegang internasional yang menegangkan pada saat-saat akhir perang antara Iran dan Irak. Iran baru saja menjalani Revolusi yang bersejarah, sementara Irak sedang dipimpin oleh Saddam Hussein.

Kedua pihak saling menyerang fasilitas minyak mereka, sejak pertengahan 1980-an.

Kapal-kapal netral kemudian diserang juga, ketika pihak yang bertikai mencoba memberi tekanan ekonomi kepada lawannya.

Tanker Kuwait yang membawa minyak Irak amat rentan untuk diserang ketika itu.

Amerika Serikat di bawah Ronald Reagan enggan untuk terlibat. Namun ketegangan kawasan Teluk mulai membahayakan. Ini ditandai ketika kapal perang Amerika USS Stark terkena hantaman rudal Exocet dari sebuah pesawat tempur Irak, sekalipun pejabat Irak menyatakan itu merupakan ketidaksengajaan.

Bulan Juli 1987, tanker Kuwait, memakai bendera Amerika, dikawal melalui kawasan Teluk oleh kapal perang Amerika. Pada masanya, ini merupakan konvoi kapal terbesar semenjak Perang Dunia Kedua.

Pada masa itu, Amerika dan Iran sedang berhadap-hadapan.

Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Khomeini, menyebut Amerika “Setan Besar” sejak Revolusi Islam di negeri itu tahun 1979.

Washington masih merasa kesal melihat 52 orang diplomat mereka disandera selama 444 hari di Teheran dari tahun 1979 hingga 1981.

Sekalipun Iran dan Irak bertanggung jawab terhadap krisis saat itu, perang tanker segera menjadi bagian dari pertengkaran jangka panjang antara Iran dan Amerika.

Pertengkaran ini belum hilang dan muncul sekali lagi di tengah keputusan Donald Trump untuk menerapkan “tekanan maksimum” setelah meninggalkan kesepakatan nuklir dengan Iran yang dibuat tahun 2015.

Kini sekali lagi, perairan di kedua sisi dari Selat Hormuz menjadi arena persaingan kedua negara.

Adakah yang berbeda dari konflik yang lama?

“Kedua pihak telah mengembangkan kemampuan tempur mereka,” kata Dr. Martin Navias, penulis buku tentang perang tanker.

Iran, katanya, kini lebih pandai memakai ranjau, kapal selam dan perahu berkecepatan tinggi untuk menyerang dan merusak kapal komersil dan militer.

Ini tidak hanya di laut. Kemampuan Iran untuk menembak jatuh pesawat nirawak Amerika memperlihatkan kemampuan perang yang meningkat.

Krisis 1987

Mungkinkah konflik menjadi lebih serius?

Jika serangan terhadap kapal tanker meningkat, kemungkinan kita bisa melihat lagi pengawalan dan penggunaan bendera Amerika untuk tanker-tanker itu.

Pada 24 Juli 1987, tanker Kuwait menghantam ranjau Iran dalam sebuah misi iring-iringan. Amerika mengirimkan lebih banyak pasukan dan kapal. Kedua pihak siap untuk konflik terbuka.

Bulan September tahun itu, helikopter Amerika menyerang kapal Iran sesudah melihat mereka memasang ranjau di malam hari.

Di bulan-bulan berikutnya, lebih banyak tanker dan kapal pengawal AS terkena ranjau. Pasukan Amerika merespon dengan mengirim lebih banyak kekuatan, menghancurkan pangkalan pasukan Iran – Pengawal Revolusi – dan menyerang kapal perang mereka.

Akhirnya krisis berakhir, tetapi dengan sebuah bencana ketika kapal penjelajah Amerika USS Vincennes, menembak pesawat penumpang Airbus A300 iran karena menyangka itu adalah pesawat tempur. Sebanyak 290 penumpang dan awaknya tewas.

Angkatan Laut AS kemudian mengembangkan teknologi dan pelatihan untuk menghindari kekeliruan mematikan seperti itu.

Namun analis angkatan laut pada International Institute for Strategic Studies, Nick Childs mengatakan dalam keadaan sekarang, di mana pihak berlawanan menyerang lewat sosial media, atmosfirnya lebih riskan.

“Ruang informasi telah berubah,” katanya. “Orang lebih gelisah. Bahayanya ialah satu pihak bisa menyalahartikan pihak lain.”

Pemimpin kedua negara, Donald Trump dan Hassan Rouhani menyatakan tak ingin berperang. Sedangkan pihak garis keras di kedua pihak sikapnya tidak terlalu jelas.

Dr. Navias mengatakan kita belum mengarah pada perang tanker.

“Kita tak sedang melilhat kampanye anti-kapal, kita sedang melihat kedua pihak sedang memberi tanda-tanda umum,” katanya. “Iran sekarang sedang memberi sinyal kepada Amerika, mereka bisa meningkatkankan tekanan.”

Dengan segala drama di tahun 1987 dan 1988, hanya sedikit kapal tanker yang benar-benar tenggelam, dan pelayaran lewat Selat Hormuz tidak terganggu secara serius.

Kini 30 tahun sesudahnya, AS tak terlalu tergantung pada minyak dari Timur Tengah. Iran lebih punya risiko dalam hal ekspor dan impor jika Selat Hormuz ditutup.

Dr. Navias berpendapat bahaya yang ada di sana cukup nyata.