Cerita sejumlah dokter yang menolak pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan karena dianggap riba telah menyebar di media sosial dalam beberapa hari terakhir dan menimbulkan pro kontra.
Dalam sebuah unggahan misalnya seorang dokter diceritakan menolak pasien karena menganggap bahwa layanan BPJS termasuk riba atau pinjaman yang dilebihkan – yang dilarang dalam agama Islam.
Sistem mana yang termasuk riba dan mana yang bukan secara umum masih menjadi perdebatan sejumlah organisasi Islam.
“Hari ini anak saya harusnya kontrol lanjutan setelah pemeriksaan yang pertama… tapi entah mengapa dokter tersebut menolak bahkan menunjukkan buku tentang riba tersebut (dihadapan suami saya) yang tebal banget,” begitu kisah yang banyak dibagikan di media sosial.
“Suami saya menjelaskan bahwa BPJS adalah program pemerintah dan kami termasuk kelas menengah dan tidak paham tentang peraturan riba tersebut, dokter tersebut malah menyalahkan sistem pemerintahan atau BPJS,” sambungnya.
Cerita ini menuai berbagai tanggapan di internet dan banyak orang mengkritisi pilihan itu. “Bagaimana jika yang datang pasien sudah parah, orang tidak mampu, hanya punya BPJS untuk berobat?” tanya Kinan Fajri di Facebook. Lainnya mengatakan, “tidak punya hati nurani.”
Tapi Donny Simatupang beranggapan, “tidak apa, itu hanya keyakinannya beliau saja. Kita harus hormati, cari dokter alternatif lain saja.”
Lantas, bolehkah dokter menolak pasien BPJS?
Kepada BBC Indonesia, Kepala Departemen Komunikasi dan Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi mengatakan bahwa itu adalah masalah internal rumah sakit yang tidak ada sangkut pautnya dengan BPJS.
“Kami sudah komunikasi dengan manajemen rumah sakit, prinsipnya itu tanggung jawab rumah sakit. Tinggal rumah sakit dan dokter itu bagaimana kontraknya,” papar Irfan.
Kerjasama BPJS Kesehatan dengan rumah sakit, lanjutnya, adalah kerjasama business to business.
“Pengelolaan di dalam, siapa dokternya, siapa keuangannya, itu wewenang rumah sakit. Bagi kami, yang penting Anda rumah sakit memastikan bahwa pelayanan bagi peserta bisa dilayani, siapapun dokternya yang penting dokternya memiliki izin praktik,” tambah Irfan.
Mengenai anggapan bahwa layanan BPJS adalah riba, dia enggan berkomentar karena itu adalah pendapat pribadi yang menyangkut keyakinan dan agama yang bisa jadi berbeda-beda satu dengan yang lainnya.
“Kami tidak mau masuk dalam ranah itu, kami melaksanakan sesuai UU dan ketentuan yang berlaku. Boleh jadi ada perbedaan pendapat antara A dan B, itu pilihan ya.”
BBC Indonesia mencoba menghubungi pihak rumah sakit untuk meminta keterangan terkait salah satu dokternya yang dianggap menolak pasien.
Menurut Setyadi Hadi Santosa, Marketing Rumah Sakit Permata Pamulang, kejadian itu betul namun terlalu dibesar-besarkan di media sosial.
“Keberpihakan kami pada pasien, karena itu solusinya pasien dipindahkan ke dokter lain. Pelayanan yang utama. Pasien kami layani maksimal,” jelasnya.
Menurutnya, dalam perjanjian kerjasama antara rumah sakit dan BPJS, setiap dokter terlebih dahulu dimintai komitmen hitam di atas putih, namun memang ada beberapa dokter yang belum menyanggupi dengan berbagai faktor.
Sementara itu seperti dilansir NU Online, forum bahtsul masail pra muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama pada 2015 lalu, menyimpulkan bahwa jaminan kesehatan nasional (JKN) yang ditangani BPJS Kesehatan tidak bermasalah menurut syariah Islam.
“Kalau bicara halal-haram, BPJS sudah jelas halal. Tetapi harus dilihat apakah BJPS ini mengandung mashlahah atau mafsadah? Kita tinggal memperbaiki saja mana kurangnya,” kata Ketua LBM PWNU Yogyakarta KH Ahmad Muzammil kepada NU Online.