Kasus beras: Dari penggerebekan hingga harga yang ‘mencekik petani’

0
1280

Semuanya berawal dari penggerebekan gudang beras milik PT Indo Beras Unggul (IBU) yang berlokasi di Kedungwaringin, Bekasi, pada Kamis (20/07) malam.

Tim Satgas Pangan yang dikomandoi oleh Mabes Polri menyita sebanyak 1.161 ton beras merek Maknyuss dan Cap Ayam Jago milik PT IBU.

Belasan orang masih diperiksa terkait penggerebekan ini. Pelaku terancam hukuman pidana lima tahun penjara lantaran melanggar pasal 382 Bis KUHP dan pasal 141 UU 18 tahun 2012 tentang Pangan serta pasal 62 UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Pengoplosan beras subsidi?

Pasca penggerebekan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkapkan modus operandi yang dilakukan PT IBU adalah dengan mengemas beras subsidi jenis IR64 dengan label Ayam Jago dan Maknyuss yang merupakan merek beras premium.

“Padahal beras IR64 adalah beras medium yang disubsidi pemerintah dengan harga Rp 9.000 per kilogram. Setelah dibungkus dan dilabeli, mereka jual seharga Rp20.000,” tutur Tito kepada wartawan.

Simpang siur yang muncul di masyarakat adalah perusahaan ini mengoplos beras subsidi program beras keluarga sejahtera (rastra) yang disalurkan oleh Bulog.

Rastra merupakan kelanjutan dari program raskin (beras miskin), program subsidi pangan dalam bentuk beras yang diperuntukkan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah.

Simpang siur ini langsung dibantah oleh manajemen PT Tiga Pilar Sejahtera, yang merupakan induk usaha PT IBU. Direktur Jo Tjong Seng membantah bahwa beras kemasan anak usahanya merupakan oplosan beras subsidi dan oplosan.

Ia juga menyatakan anak usahanya tidak mengemas beras subsidi program rastra. Beras kemasan yang dijualnya berasal dari pembelian gabah petani dan beras mitra penggilingan.

“PT IBU mengeluarkan beras kemasan untuk konsumen menengah sesuai dengan deskripsi mutu Standard Nasional Indonesia (SNI),” sebut Jo dalam siaran pers resmi perseroan, Jumat (21/07).

Ia pula menegaskan perusahaan mengikuti ketentuan pelabelan yang berlaku dan menggunakan laboratorium serta mencantumkan kode produksi sebagai informasi stok hasil produksi.

Jo mengklaim PT IBU mengemas beras dan diberi label berdasar ISO 22000, sebuah standar sistem manajemen keamanan pangan global untuk seluruh rantai pasokan makanan, dari mulai petani dan produsen ke pengolah dan pengepak, hingga transportasi dan penjualan.

Perusahaan pula mengklaim bahwa temuan beras subsidi itu merupakan kebohongan publik.

Dugaan manipulasi kualitas dan harga

Namun, berdasar pada hasil laboratorium pangan terhadap merek beras tersebut, penyidik menduga mutu dan komposisi beras Maknyuss dan Cap Ayam yang diproduksi PT IBU tidak sesuai dengan apa yang tercantum pada label.

Selain itu, dua merek beras itu dijual dengan harga Rp 13.700 dan Rp 20.400 per kg. Harga yang tidak sesuai dengan kualitas beras yang dijual.

Sementara, berpegang pada regulasi pemerintah soal penetapan harga eceran tertinggi (HET) yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan pada 18 Juli lalu, harga acuan penjualan beras ke konsumen sebesar Rp9.000 per kg.

Artinya, PT IBU meraup keuntungan besar dari penjualan beras yang tidak sesuai kualitasnya. Keuntungan yang diraup, menurut hitungan polisi, bisa mencapai puluhan triliun, bahkan ratusan triliun.

Kepala Subbidang Data Sosial-Ekonomi pada Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian Ana Astrid menegaskan yang dimaksud beras subsidi adalah beras yang dalam proses produksinya disubsidi oleh pemerintah.

“Ada subsidi input yaitu subsidi benih Rp1,3 triliun dan subsidi pupuk Rp31,2 triliun, bahkan ditambah lagi ada bantuan sarana dan prasarana bagi petani dari pemerintah yang besarnya triliunan juga,” tuturnya dalam Siaran Pers Kementerian Pertanian, Minggu (23/07).

Ia menjelaskan varietas beras IR 64 merupakan salah satu benih padi dari varietas unggul baru di Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan beberapa wilayah lain. IR64 sering menjadi sebutan tipe beras, dengan ciri bentuk beras ramping dan tekstur pulen.

“Masyarakat sering menyebut beras IR, meskipun sebenarnya varietas VUB-nya beda-beda, bisa Ciherang, Impari dan lainnya,” tuturnya.

Anna menambahkan seluruh beras medium dan premium berasal dari gabah varietas unggul, seperti IR64, Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, yang dibeli dari petani di kisaran Rp3.500-Rp4.700 per kg gabah.

Artinya, perusahan membeli gabah atau beras jenis VUB dari petani dengan harga yang relatif sama untuk selanjutnya diolah menjadi beras premium dan dijual ke konsumen dengan harga tinggi.

“Ini yang menyebabkan disparitas harga tinggi, margin yang mereka peroleh tinggi bisa 100%. Mereka memperoleh margin di atas normal profit, sementara petani menderita dan konsumen menanggung harga tinggi,” imbuhnya.

Negara rugi Rp10 triliun

Atas tindakan yang dilakukan PT IBU, Ana menambahkan, kerugian negara ditaksir mencapai 10 triliun.

Kerugian pertama, uang negara dibelanjakan untuk membantu produksi petani, namun petani tidak menikmati keuntungannya.

Kemudian, produk dari petani dipoles sedemikan rupa sehingga menjadi premium dan dijual dengan harga tinggi di konsumen.

Jika hitungan kerugian seperti ini, harga beras di petani sekitar Rp7.000 per kg dan harga premium di konsumen sampai Rp20.000 per kg. Selisih harga minimal Rp10.000 per kg bila dikalikan beras premium yang beredar 1,0 juta ton (2,2% dari beras 45 juta ton setahun).

“Melalu hitungan ini maka kerugian keekonomian ditaksir Rp10 triliun,” tandasnya.

Harga eceran baru ‘mencekik petani’

Dua hari sebelum penggerebekan, Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.47/2017 tentang Harga Acuan Bahan Pangan.

Dalam revisi Permendag No.27/2017 ini, pemerintah menetapkan harga eceran beras di konsumen Rp 9.000 per kg untuk semua jenis beras. Aturan ini dinilai rancu dan justru akan ‘mencekik petani.’

Sebelumnya, Kemendag menetapkan harga eceran di tingkat konsumen sebesar Rp 9.500 pada Mei lalu.

Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso menuding aturan ini tidak menjelaskan secara gamblang kriteria beras, lantaran tidak membedakan harga beras medium dan premium.

“Perpadi sedang dan terus lakukan advokasi kepada Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Satgas Pangan bagaimana supaya ini jelas, kriteria jelas dan HET [sebesar] Rp 9.000 ini untuk beras jenis yang mana,” ujar Sutarto kepada wartawan BBC Indonesia, Ayomi Amindoni.

Sutarto memperkirakan jika dalam aturan tersebut mengatur harga acuan pembelian gabah sebesar Rp 3.700 per kg, artinya harga eceran di konsumen sebesar Rp 9.000 ini berlaku untuk beras medium. Padahal, jenis beras yang diproduksi petani sangat bervariasi.

“Harga beras premium seharusnya diatur lagi. Ini yang sedang kami sampaikan komunikasi dengan Kemendag, Kementan dan Satgas Pangan, mudah-mudan kita bisa ambil kesepakatan jangan sampai ada interpretasi,” imbuhnya.

Apalagi, petani Indonesia juga memproduksi beras organik, jenis beras tanpa pestisida dan bahan kimia yang perawatannya harus dikawal dengan baik sehingga produksinya tidak setinggi jenis beras lain. Imbasnya, harga beras organik bisa mencapai Rp 15.000 per kg.

“Beras ini justru diminati konsumen luar negeri, berpotensi ekspor. Kalau ini dibatasi, petani tidak mungkin bertanam lagi,” kata dia.

Sumber : bbc.com