Terhentinya layanan publik Amerika Serikat alias ‘shutdown’ setelah Senat gagal mencapai kesepakatan terkait RUU anggaran belanja darurat dikhawatirkan bisa mempengaruhi perekonomian Indonesia.
Salah satunya adalah berdampak buruk pada ekspor jika pemberhentian layanan publik AS itu berlangsung selama lebih dari dua pekan.
Amerika Serikat memang merupakan salah satu pasar utama ekspor Indonesia dengan nilai ekspor nonmigas ke negara itu mencapai US$16,2 miliar atau Rp216 triliun pada tahun 2017, berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan. Angka itu meningkat Rp19 triliun dibandingkan 2016.
“AS adalah salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Kalau shutdown berlarut-larut, tentu akan berpengaruh ke banyak negara,” kata Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Shinta Widjaja Kamdani, Minggu (21/01).
Shinta menyebut penutupan badan pengurusan izin berpotensi menghambat proses masuknya barang dari Indonesia ke AS.
Meski demikian, ia memprediksi shutdown tidak akan berjalan lebih lama dari penghentian layanan publik yang terjadi pada 2013 di era pemerintahan Barack Obama, yaitu 16 hari.
“Shutdown dua pekan masih bisa ditanggulangi. Kalau lebih lama, Indonesia mesti bersiap-siap,” ujarnya.
Merujuk data Badan Pusat Statistik, selama empat tahun sejak 2013 tercatat peningkatan volume impor Indonesia ke AS, baik migas dan nonmigas.
Tahun 2016, volume ekspor ke AS mencapai 7,3 juta ton atau berada di peringkat ke-10 dalam negara tujuan ekspor Indonesia, di bawah Cina, Jepang, Korea Selatan, dan sejumlah negara Asia Tenggara.
Sementara itu pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal, menilai penghentian layanan publik yang berlarut-larut di AS dapat melemahkan daya beli masyarakat negeri Paman Sam.
Konsekuensinya, permintaan barang oleh AS ke Indonesia berpotensi menurun.
Namun Fithra berpendapat nilai ekspor terhadap AS yang turun tidak akan mengguncang perekonomian Indonesia, yang disebutnya memiliki banyak mitra dagang baru.
“Pemerintah Indonesia saat ini terus mencari partner dagang non-tradisional,” tuturnya melalui sambungan telepon.
Di sisi lain, kata Fithra, shutdown membuat investor berpikir ulang untuk menanamkan modal di AS dan memungkinkan pengalihan modal (capitol outflow) dari AS ke negara lain.
“Jika itu terjadi, dolar AS akan melemah dan seharusnya rupiah menguat. Tapi ada faktor lain di luar persoalan AS yang turut mempengaruhi naik-turunnya rupiah,” ujarnya.
Prediksi serupa juga disampaikan Peneliti Institute for Development of Economics & Finance, Bhima Yudhistira, yang menyebut shutdown AS pada tahun 1995 dan 2013 tidak mendongkrak nilai rupiah.
“Saat itu kurs rupiah hampir tidak terpengaruh oleh shutdown di AS karena sifatnya temporer atau jangka pendek, kira-kira berlangsung dua minggu,” kata Bhima.
Fithra Faisal menilai pengaruh penutupan layanan publik di AS tidak akan sebesar krisis keuangan global pada 2008, yang disusul memburuknya perekonomian Eropa.
Kala itu, kata Fithra, krisis ekonomi yang dialami negara Barat mendorong investor melarikan modal mereka ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu menjadi cukup baik, sekitar 6%,” ujarnya.
Bagimanapun, kata Shinta Widjaja yang juga berstatus CEO Grup Sintesa, pelaku usaha hanya akan terdampak peristiwa global yang berlangsung dalam jangka waktu panjang atau permanen.
Shinta menyebut keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa pada 2015, yang dikenal dengan istilah Brexit, sebagai salah satu contoh.
“Brexit dampaknya signifikan karena jangka panjang. Kebijakan AS sekarang yang lebih proteksionis juga berdampak bagi kami. Kebijakan global yang berjangka panjang pasti akan berdampak.”
Sumber : bbc.com