Keturunan Tionghoa di kawasan Tangerang dikenal dengan sebutan Cina Benteng, tinggal di sepanjang pinggiran kali Cisadane. Banyak dari mereka yang hidup dalam kemiskinan. Bagaimana mereka merayakan Imlek?
Tan Cang In tengah membersihkan sebuah kuburan di pemakaman Cina Rawa Kucing, di Kampung Sewan, Tangerang. Sejak berhenti bekerja sebagai buruh pabrik puluhan tahun lalu, dia menjaga sekitar 20 makam.
“Kalau masalah bayaran saya tergantung orangnya, dia kasih gede milik saya, dia kasih kecil ya milik saya juga,” ujar Cang In.
Dia mengaku mendapatkan paling banyak Rp 3 juta per tahunnya untuk menjaga dan membersihkan puluhan makam. Penghasilan itu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, karenanya Cang In juga berjualan penganan kecil.
Cang in memiliki tiga anak, dua anak laki-lakinya berusia 30 dan 25 tahun, sedangkan anak bungsunya masih kelas dua SMP.
Dia mengaku mendapatkan bantuan dari sebuah organisasi keagamaan, untuk biaya sekolah anak-anaknya.
“Pengennya sih terus dibantu sampai selesai gitu sekolahnya,” harap dia.
Nyatanya tak ada yang sekolahnya tinggi di keluarga itu. Agus Tan, anak kedua mereka, hanya bisa menyelesaikan sekolah hingga lulus SMP. Dan sekarang sehari-harinya Agus kerja serabutan dengan penghasilan sekadarnya.
“Ya, paling bantu papa mama, kadang diajak saudara,” kata Agus.
“Susah sih cari kerja. Teman saja yang sarjana saja susah. Kalau cewek sih cepat (dapat kerja) kayak di konveksi gitu,” jelas Agus yang hanya lulusan SMP.
Dia terpaksa berhenti sekolah karena keluarganya tak bisa membiayainya lebih lanjut.
Menjelang imlek, biasanya Agus menerima pekerjaan dari sanggar barongsai.
“Nanti, pas Cap Go Meh, bakal main di Bogor dan Glodok,” jelas dia.
Selain Cang In, banyak keturunan Cina di Kampung Sewan yang dikenal dengan Cina Benteng, hidup dalam keterbatasan, tak memilki pekerjan tetap.
Etnis Tionghoa di Tangerang ini merupakan keturunan imigran Cina Hokkian, yang konon pertama kali datang di kawasan Tangerang pada 1407 sebelum Vereenigde Oostindische Compagnie VOC. Sebutan Cina Benteng ini merujuk pada nama lama Kota Tangerang yaitu Benteng, yang dibangun VOC di bagian timur Sungai Cisadane.
Peleburan budaya Tionghoa pun terjadi sejak dulu antara lain melalui kuliner, bangunan rumah dan juga musik gambang kromong.
Selain di Kampung Sewan, keturunan etnik Tionghoa di Tangerang ini juga tersebar di Teluk Naga. Dulu sebagian dari mereka merupakan petani seperti Ayah Tan Nun Nio, yang merupakan mertua Cang In.
Setelah rumah dan sawahnya terkena gusur untuk proyek pembangunan bandara Sukarno Hatta, mereka pun pindah ke Kampung Sewan pada 1970an.
“Tadinya (tinggal) di tempat landasan kapal (bandara) terus digusur jadi pindah ke sini, duulu waktu saya kecil pindahnya,” ujar Nun Nio.
Orangtua Nun Nio pun tinggal di Kampung Sewan sampai saat ini berusia lebih dari 80 tahun.
Sejak menikah dengan Cang In, Nun Nio tinggal di sebuah berdinding papan, di dekat rumah orangtuanya. Sekitar dua tahun lalu, mereka mendapatkan bantuan pembangunan rumah dari sebuah organisasi amal.
Di rumah dengan dua kamar tersebut hampir tak ada perabotan kecuali alas tidur dan beberapa bangku plastik. Di ruang tamu tampak terdapat altar untuk sembahyang seperti yang dilakukan Tan bersama Istri dan anaknya sore hari itu.
Mereka menghadap altar kecil Dewi Kwan Im yang merupakan dewi welas asih. Bergantian ketiganya menyalakan hio dan berdoa.
Di malam imlek, sembahyang biasanya dilakukan di klenteng, dan dilanjutkan dengan berkumpul dengan keluarga , jelas Cang In.
“Saya orang nggak punya, paling di rumah, ke orangtua silaturahmi, paling ke rumah ipar, kalau jalan-jalan saya nggak punya ini,” jelas Cang In sembari menggesekan jari tangannya menirukan gerakan menerima uang.
Untuk anak-anak, menurut Nun Nio mereka tak pula menyiapkan hal-hal yang terlalu istimewa.
“Paling yang kecil dibeliin baju di pameran, yang murah saja harganya, abis itu ya nyayur (masak),” kata dia.
Beberapa hari menjelang imlek, tampak tak banyak perubahan di rumah Cang In, tak ada hiasan lampion dan pernak Pernik lainnya.
Agus menjelaskan biasanya memang tidak ada persiapan khusus dalam menyambut imlek, namun yang berbeda tahun ini keluarganya menjalani berbagai pantangan karena masih dalam suasana duka.
“Biasanya kalau imlek ada kue Cina, dodol, tapi karena ada yang meninggal jadi tak ada, biasanya kan pakaiannya nuansanya merah kalau imlek , tapi sekarang ga boleh karena masih ada abu dan belum tiga tahun,” jelas Agus.
Masa duka setelah meninggalnya nenek Agus akan berlangsung selama tiga tahun.
Masih di Kampung Sewan, di salah satu gang dekat dengan Kantor Kecamatan Neglasari, seorang keturunan Cina Benteng, Oen Sin Yang tengah membersihkan botol-botol plastik bekas yang baru saja diambilnya dari pinggir kali Cisadane.
Sin Yang dulu tinggal di pinggir kali Cisadane namun terkena penggusuran beberapa tahun lalu.
“Dulu sih di sana dekat kali tinggalnya, sekarang saya tinggal di rumah orangtua ini,” kata Sin Yang.
Menyambut tahun baru imlek yang jatuh pada Jumat 16 Februari ini, dia mengaku tak melakukan persiapan khusus.
“Ya saya mah pemulung biasanya di rumah saja, nungguin anak-anak pada pulang pada datang, lebaran di rumah kan setahun sekali,” jelas dia.
Ketika saya menyusuri sejumlah gang di Kampung Sewan, kemeriahan suasana imlek tidak terasa. Tidak seperti di kawasan pasar lama di mana lampion, amplop ang pau dan pernak Pernik imlek bergambar simbol tahun Anjing banyak dijual.
Sumber : bbc.com