Setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara sepihak memutuskan menarik diri dari perjanjian nuklir Iran yang dikenal dengan nama Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) tahun 2018, Amerika menerapkan sanksi-sanksi baru terhadap Iran dan secara praktis memaksa negara-negara lain turut mengembargo Iran.
Salah satu contoh nyata adalah negara-negara yang selama ini mendapat pengecualian mengimpor minyak dari Iran; China, India, Jepang, Korea Selatan, dan Turki, mulai Juni mendatang terancam dikenai sanksi Amerika Serikat jika mereka terus membeli minyak dari Iran.
Tentu risiko sanksi AS dalam upaya mengisolasi kembali Iran agar mau membuat perjanjian baru tentang program nuklirnya tersebut memperumit keadaan.
Sebab, tak dapat dipungkiri banyak negara memerlukan pasokan minyak dari Iran.
Terlebih lagi, sejumlah negara juga sudah terlanjur menjejakkan kaki di Iran dengan berinvestasi begitu dicapai kesepakatan perjanjian nuklir JCPOA tahun 2015 antara Iran dengan Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Prancis, Rusia, dan China.
Konsekuensi perjanjian nuklir Iran adalah pencabutan sanksi-sanksi terhadap negara itu.
Dengan demikian kepentingan masing-masing negara, kata Direktur Indonesia Center for Middle East Studies Universitas Padjajaran, Dr. Dina Sulaeman, terganggu atas ‘instruksi’ embargo dari AS.
“Misalnya dari Parlemen Uni Eropa (UE) beberapa kali sudah menyatakan keberatannya atas embargo (pelarangan negara-konsumen untuk membeli minyak Iran), apalagi segera setelah JCPOA ditandatangani, UE sudah mulai melakukan proses investasi di Iran,” jelas Dr. Dina Sulaeman yang juga menjadi dosen Hubungan Internasional di Universitas Padjajaran.
Iran ‘dapat dukungan’dari Uni Eropa, Israel ‘tak senang’
Ia memandang ketegangan yang terjadi sehubungan dengan insiden yang disebut ‘sabotase’ terhadap empat kapal dagang termasuk dua kapal tanker Arab Saudi di perairan Uni Emirat Arab pada Minggu (12/05) merupakan kelanjutan dari berbagai manuver Amerika Serikat, terutama setelah Presiden Trump menarik AS dari perjanjian nuklir Iran.
“Jadi dalam perkembangannya, dalam ketegangan yang terjadi saat ini, Iran mendapatkan ‘dukungan’ dari negara-negara Uni Eropa karena eskalasi konflik AS dengan Iran akan mengganggu kepentingan nasional negara UE,” kata Dr. Dina Sulaeman.
Di sisi lain, Israel merasa terancam dengan pencabutan sanksi terhadap Iran dengan dicapainya kesepakan nuklir JCPOA pada tahun 2015 tersebut.
“Tampaknya Trump ingin menyenangkan Israel, maka dia keluar dari kesepakatan JCPOA. Kemudian AS mengerahkan kapal induk ke Teluk untuk menekan Iran,” tutur pengamat politik Timur Tengah dari LIPI, Hamdan Basyar.
Siapa yang dituding berada di balik serangan kapal?
Sejauh ini belum ada pihak yang dituduh berada di balik insiden ‘sabotase’ kapal di dekat Pelabuhan Fujairah di perairan Uni Emirat Arab, tidak jauh dari Selat Hormuz, yang memisahkan antara Iran dengan Uni Emirat Arab.
Tidak ada pula pernyataan resmi yang mengaitkan insiden ‘sabotase’ kapal dengan tuduhan yang dikeluarkan Amerika Serikat bahwa Iran merencanakan serangan yang “segera terjadi” terhadap kepentingan AS di Timur Tengah.
Utusan khusus AS untuk Iran, Brian Brook, menolak memberikan komentar terkait hal itu dan hanya mengatakan bahwa AS membantu menyelidiki peristiwa itu atas permintaan Uni Emirat Arab. Uni Emirat Arab menyebut insiden tersebut sebagai “sabotase yang disengaja”.
Iran sudah menyatakan tidak terlibat dan meminta diadakan penyelidikan penuh. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Abbas Mousavi “menyerukan negara-negara di kawasan agar waspada dalam menghadapi petualangan unsur-unsur asing”, tanpa merinci pihak yang dimaksud.
Di samping pengakuan Iran bahwa negara itu tidak berada di balik serangan, ada faktor lain yang mungkin dapat menjadi alasan mengapa Iran tidak buru-buru dituduh, kata Direktur Indonesia Center for Middle East Studies di Universitas Padjajaran, Dr. Dina Sulaeman.
“Rekam jejak Iran sebagai state (negara), juga tidak pernah melakukan serangan terlebih dulu. Tapi kita tahu bahwa di kawasan juga ada musuh UAE dan Saudi, yaitu milisi Yaman yang memiliki kekuatan senjata yang cukup kuat, dan beberapa kali sudah melemparkan rudal ke Saudi,” tambahnya.
Kendati demikian, Iran bisa jadi negara yang gampang dituding berada di balik ‘sabotase’ empat kapal dagang.
“Ingat yang diserang tanker Saudi…. Dua negara itu berseberangan di berbagai tempat,” kata pengamat politik Timur Tengah dari LIPI, Hamdan Basyar.
Selain dua kapal minyak Arab Saudi, dua kapal yang diserang adalah masing-masing satu kapal Uni Emirat Arab dan Norwegia.
Tarik ulur
Yang mengkhawatirkan, kata Dina Sulaeman, adalah jika insiden serangan kapal itu digunakan sebagai dalih untuk melancarkan perang, sebagaimana yang terjadi di era tahun 1960-an, ketika muncul “tuduhan bahwa kapal Vietnam Utara menembaki kapal USS Maddox, dan ini dijadikan pretext (dalih) oleh AS untuk menyerang Vietnam”.
Meski demikian ketegangan yang meningkat belakangan, antara lain ditandai dengan pengerahan kapal induk USS Abraham Lincoln bersama pesawat-pesawat pengebom B-52 ke Teluk, diperkirakan tidak akan mengarah ke perang terbuka.
Menurut dosen Hubungan Internasional di Universitas Padjajaran, Dina Sulaeman, kedua pihak terlihat tarik ulur.
Di pihak Iran muncul pernyataan keras dari Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) yang menyebut kehadiran kapal induk AS di Teluk kini bisa menjadi sasaran dan peluang yang menguntungkan bagi Teheran, padahal dulu kehadirannya merupakan ancaman serius.
“Di saat yang sama, Presiden Rouhani juga menyatakan bahwa kurang lebih zaman sekarang adalah zaman diplomasi (bukan perang),” tambahnya.
Adapun di kubu Amerika Serikat, penasihat keamanan nasional John Bolton, dalam berbagai kesempatan menggarisbawahi bahwa negaranya tidak ingin beradu senjata dengan Iran.
Pernyataan itu seakan berbanding terbalik dengan ancaman-ancaman yang senantiasa dikeluarkan oleh Presiden Trump terhadap Iran.
“Di sisi lain, setelah memberikan berbagai ancaman, Trump malah memberikan nomer teleponnya, meminta Iran untuk menghubungi,” jelas Dina Sulaeman yang pernah bekerja di Iran tersebut.
“Banyak kepentingan besar yang terancam bila perang benar-benar terjadi, terutama, ancaman macetnya suplai minyak dunia bila Selat Hormuz dilanda perang, krisis ekonomi global bisa dipastikan akan menyusul.”
Tekanan terus menerus terhadap Iran diperkirakan akan semakin memperkeruh suasana di wilayah Timur Tengah.
“Hizbullah, Jihad Islam, Houthi sebagai proksi Iran akan bangkit lagi,”kata Hamdan Basyar.
Baik Hamdan Basyar maupun Dina Sulaeman mengatakan ketegangan seperti yang ada belakangan di wilayah Teluk pernah pula terjadi tahun 1980-an di masa perang Iran dan Irak.
Ketika itu, Irak menyerang kapal-kapal dengan tujuan pelabuhan Iran sebagai upaya menggagalkan pengiriman minyak dari Iran. Irak dibantu oleh Arab Saudi, Kuwait, Arab Saudi dan AS sebagai sekutunya di era tersebut.
Sebagai balasannya Iran menyerang pelabuhan minyak di Irak.