Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengatakan negaranya sekarang sedang berusaha mendapatkan keadilan terkait dengan ‘hilangnya 60.000 pabriknya’ sejak China menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 2001.
“(China) telah menerapkan model ekonomi berdasarkan hambatan pasar besar-besaran, subsidi negara yang sangat besar, manipulasi mata uang … pemaksaan transfer teknologi dan pencurian hak cipta, di samping juga rahasia dagang dalam skala besar-besaran,” kata Trump saat berpidato di sidang ke-74 Majelis Umum PBB di New York pada hari Selasa (24/09).
“Bagi Amerika, masa-masa itu sudah berakhir,” tegasnya seperti dilaporkan kantor berita Reuters.
Trump berharap negaranya akan mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan dengan China, tetapi bea masuk yang diterapkannya telah membantu terciptanya perdagangan yang lebih adil.
“Warga Amerika sangat bertekad mengembalikan keseimbangan hubungan dengan China, dengan harapan kita dapat mencapai kesepakatan yang akan menguntungkan kedua negara. Tetapi, seperti saya sudah sangat tegaskan, saya tidak akan menerima kesepakatan yang merugikan warga Amerika,” katanya.
Pada permulaan bulan Agustus, Trump mengumumkan melalui Twitter bahwa dirinya akan menerapkan bea masuk sebesar 10% terhadap barang-barang impor China mulai 1 September.
Dia menulis bea masuk tersebut bakal berlaku untuk “barang-barang dan produk dari China yang masuk ke negara kita dengan nilai US$300 miliar”.
Bagaimana tanggapan Cina?
Tahun lalu, China telah membantah tuduhan sejenis yang telah dilontarkan Presiden Trump sebelumnya.
Lewat Perdana Menteri Li Keqiang, China mengatakan pihaknya “tidak akan pernah mendorong ekspor dengan mendevaluasi mata uangnya”, katanya pada minggu ketiga bulan September 2018.
Pemerintah China sudah melakukan aksi balasan dengan menerapkan bea masuk terhadap produk AS senilai US$50 miliar atau Rp706 triliun
Produk-produk AS yang disasar berkaitan dengan sektor pertanian—yang merupakan basis politik Presiden Trump.
China juga menerapkan bea masuk tambahan ke produk AS senilai US$60 miliar atau Rp847 triliun.