“Mereka telah menempatkan kami di zona merah, yang berarti kedatangan turis menjadi sepi. Bahkan para pekerja bantuan kemanusiaan tidak ada yang datang,” kata Antoine Atiou, gubernur wilayah Hauts-Bassins di Burkina Faso.
‘Zona merah’ mengacu pada risiko serangan teroris – peringatan tertinggi yang dikeluarkan oleh kedutaan besar negara Barat bagi para pelancong yang ingin mengunjungi barat daya Burkina dan ibu kota ekonomi, Bobo-Dioulasso, yang dulunya destinasi wisata populer.
Dampak label ‘zona merah’ ini sangat brutal bagi bisnis lokal. Hotel-hotel kosong, objek wisata sepi dan toko-toko suvenir tutup.
“Sulit dan susah! Kami belum melihat kehadiran turis selama dua minggu,” kata Sanou Moumouni, seorang pemandu wisata di masjid dan distrik bersejarah Kibidwe yang telah bekerja selama 22 tahun.
Saat masih ramai turis, ia kadang-kadang bisa menghasilkan 100 ribu franc CFA (sekitar Rp2,3 juta) dalam dua hari. Namun dalam tiga bulan terakhir, ia belum juga menghasilkan 5.000 franc.
“Saya hidup dari pinjaman,” katanya. “Kami tidak lagi bekerja karena aksi yang dilakukan para pembunuh. Kami muak dengan itu.”
Bagian utara dan timur negara Afrika Barat ini sering mengalami serangan teroris yang mengatasnamakan agama Islam, yang telah menewaskan sekitar 600 orang dalam empat tahun terakhir. Ditambah juga beberapa penggerebekan teroris di bagian barat.
Pada bulan Desember 2018, seorang pria Italia dan rekannya dari Kanada diculik dalam perjalanan dari Bobo ke ibu kota Ouagadougou. April lalu, pemerintah Burkinabe mengatakan memiliki informasi bahwa pasangan itu masih hidup, tetapi mungkin dibawa ke negara lain.
Bobo-Dioulassou sendiri relatif telah terhindar ketika ancaman jihadis meluas ke negara-negara miskin di wilayah Sahel.
Statistik Kementerian Pariwisata dari 2017 menunjukkan bahwa dari sekitar setengah juta turis yang setiap tahunnya ke Burkina Faso, jumlah turis mancanegara berkurang 150 ribu atau turun sebanyak 5,6 persen dari 2015.
Jumlah durasi menginap turis Barat di negara itu juga turun, dari sebanyak 30 ribu pada 2012 menjadi kurang dari 15 ribu pada 2017. “Jumlah ini mungkin bisa dikejar pada 2018 dan 2019,” kata operator tur lokal.
Kerajinan tangan terlupakan
Terkenal dengan kerajinan topeng tradisionalnya, tekstil cetak batiknya dan balafon – instrumen Afrika Barat seperti gamelan – Bobo sempat menjadi destinasi favorit ribuan turis asal Barat.
Panduan wisata Lonely Planet, mencatat situasi keamanan di Bobo-Dioulasso sedang tak kondusif sehingga suasana tropis di sana terlihat lesu.
Kota itu sendiri memiliki beragam pesona, dengan stasiun kereta api kunonya, pasar tradisional yang ramai, dan Masjid Agung yang memukau – struktur dari lumpur putih yang diplester dengan tiang-tiang kayu.
Bobo-Dioulasso adalah titik awal untuk mengunjungi tempat-tempat menarik regional seperti benteng Loropeni yang hancur, sebuah Situs Warisan Dunia UNESCO. Kota ini juga merupakan basis untuk menjelajahi negara Dogon di Mali, Pantai Gading dan Ghana.
“Semua orang datang melalui Bobo. Kami benar-benar kawasan wisata unggulan. Sekarang semunya sudah berakhir,” kata Benjamin Ouedraogo, pemilik hotel Watinoma dan presiden asosiasi pemilik hotel dan restoran di High Basins.
Dia mengatakan tingkat okupansi hotel di kawasan itu hanya laku sepertiga sejak serangan teroris terjadi.
Untuk menghindari penutupan hotelnya, Ouedraogo mengambil pekerjaan kedua dalam perdagangan bangunan. “Kami meminta bantuan, tetapi bantuan negara adalah bencana,” katanya, menjelaskan bahwa pihak berwenang menolak permohonan diskon pajak dan tarif air dan listrik.
Malam yang tak lagi sama
Di Kibidwe, lingkungan tua dekat masjid, anak-anak bermain di lorong-lorong dan perempuan mencuci pakaian di udara terbuka, tetapi sebagian besar toko yang melayani turis sekarang tutup.
Sanon Bissiri, seorang seniman, dengan cepat mengeluarkan batiknya pada para wartawan Barat yang berjilbab.
“Saya tidak lagi menggantung dagangan, itu tidak ada gunanya. Sejak Juli, saya bahkan belum menjual dua lembar batik. Semua ini karena para jihadis itu. Sekarang saya harus melakukan pekerjaan sebagai tukang batu.”
Bissiri biasa menjual tekstilnya ke asosiasi Italia yang melakukan kunjungan rutin.
“Itu sudah berakhir. Istri saya yang memenuhi kebutuhan keluarga sekarang,” katanya. “Saya masuk kerja setiap hari dengan berjalan kaki, enam kilometer. Saya tidak mampu membeli obat untuk anak saya yang sedang batuk.”
Kehidupan malam di Bobo juga tak lagi sama.
“Masih ada sedikit aktivitas dengan pengunjung Burkinabe,” kata musisi Gaoussou Ben Sanou. Tetapi “ada lebih sedikit uang, lebih sedikit pertunjukan. Kami tidak dapat menjual rekaman musik”.
Gubernur Atiou mengatakan orang-orang jadi enggan keluar malam.
“Semua itu membebani aktivitas ekonomi. Sayangnya, ini adalah tujuan para teroris.”
Sumber : CNN [dot] COM