Parlemen Hong Kong secara resmi telah mencabut rancangan undang-undang ekstradisi yang kontroversial, yang sempat memicu protes selama berbulan-bulan.
Berdasarkan RUU itu, para tersangka pelaku kriminal bisa diekstradisi ke China daratan. Ratusan ribu penduduk Hong Kong turun ke jalan, hingga akhirnya RUU itu ditunda pengesahannya.
Namun para pemrotes meneruskan demonstrasi yang kini berkembang menjadi gerakan menuntut demokrasi yang lebih luas.
Ini merupakan krisis terbesar di Hong Kong sejak bekas koloni Inggris itu kembali ke China pada tahun 1997.
Krisis ini juga menghadirkan tantangan serius bagi para pemimpin China di Beijing yang menggambarkan para demonstran sebagai kelompok separatis yang berbahaya, dan menuduh mereka didukung oleh kekuatan asing.
RUU yang telah dicabut itu memungkinkan Hong Kong untuk mengekstradisi tersangka kriminal ke berbagai wilayah yang tak terhubung dengan perjanjian kerjasama ekstradisi, termasuk China daratan, Taiwan dan Makao.
Para pengkritik kebijakan itu mengkhawatirkan ekstradisi ke China daratan bisa membuat tersangka menjalani penahanan secara semena-mena dan persidangan yang tak adil.
Pencabutan RUU itu hanya memenuhi satu dari lima tuntutan utama yang disampaikan oleh demonstran. Lima tuntutan ini sudah menjadi slogan yang sering dinyanyikan saat protes di jalan-jalan di Hong Kong: “lima tuntutan, tak kurang satu pun”.
Keempat tuntutan lain adalah:
- Protes ini tidak boleh disebut sebagai “kerusuhan”
- Amnesti bagi para demonstran yang ditahan
- Penyelidikan independen bagi kekerasan yang dilakukan polisi
- Penerapan hak pilih lengkap yang universal
Salah seorang demonstran, Connie, 27 tahun, mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa pencabutan ini “sudah agak terlambat”.
“Masih ada tuntutan-tuntutan lain yang harus dipenuhi oleh pemerintah, terutama brutalitas polisi,” katanya.
Carrie Lam, pemimpin Hong Kong yang sedang menghadapi tantangan besar ini, berkeras bahwa tuntutan lain dari para demonstran ini berada di luar kendali dirinya.
Awalnya protes panjang itu berlangsung dengan damai, tapi kini berubah menjadi bentrok dengan kekerasan antara polisi Hong Kong dengan demonstran garis keras yang merusak toko-toko dan melemparkan bom bensin ke aparat keamanan.
Polisi menggunakan meriam air, gas air mata dan peluru karet. Peluru tajam juga telah ditembakkan sesekali dan seorang demonstran berusia 18 tahun ditembak di dada oleh polisi pada tanggal 1 Oktober.
Surat kabar The Financial Times melaporkan pemerintah China sedang merencanakan untuk memecat Carrie Lam, sosok yang dibenci para demonstran tetapi terus didukung Beijing hingga kini.
Jika Presiden China, Xi Jinping menyetujui rencana ini, kata FT, Carrie Lam akan digantikan oleh kepala pemerintahan sementara sesudah Hong Kong kembali tentang.
Kantor Carrie Lam menyatakan kepada BBC: “Kami tidak mau berkomentar terhadap spekulasi.” Kementrian luar negeri China menyatakan laporan FT itu merupakan “gosip politik dengan motif tersembunyi”.
Secara terpisah hari Rabu (22/10), Hong Kong mengumumkan tersanga pembunuh yang kasusnya mengawali RUU ekstradisi itu.
Chan Tong-kai menjadi tersangka membunuh pacarnya yang hamil di Taiwan tahun lalu sebelum kabur ke Hong Kong.
Namun Hong Kong dan Taiwan tidak punya perjanjian ekstradisi dan kasusnya dikutip oleh pemerintah ketika perubahan rancangan undang-undang ini diajukan.