Wahana penjelajah Solar Orbiter dari Eropa telah berangkat ke luar angkasa dalam upaya untuk mempelajari matahari dari dekat.
Alat misi yang bernilai €1.5 miliar atau lebih dari Rp22 triliun itu dilengkapi dengan kamera dan sensor yang akan mengungkapkan pengetahuan baru yang luar biasa tentang cara kerja matahari.
Para ilmuwan ingin memahami lebih jauh tentang apa yang mendorong perilaku dinamis bintang itu.
Pesawat ruang angkasa Solar Orbiter diluncurkan dengan roket Atlas, yang lepas landas dari Cape Canaveral di Florida, Amerika Serikat pada pukul 04:03 GMT, Minggu (09/02).
Matahari kadang mengeluarkan miliaran ton materi dan jeratan medan magnet yang dapat mengganggu aktivitas di Bumi.
Dalam keadaan parah, badai itu dapat mengganggu alat-alat elektronik di satelit, mengganggu komunikasi radio dan bahkan merobohkan jaringan listrik.
Para peneliti berharap pengetahuan yang didapatkan oleh Solar Orbiter (SolO) akan meningkatkan model yang digunakan untuk memperkirakan ledakan-ledakan terburuk yang dapat terjadi.
Wahana itu adalah misi andalan milik Badan Antariksa Eropa (Esa) yang dijalankan dengan partisipasi mitra dari Amerika Serikat, yaitu NASA.
Pihak dari AS telah mengambil tanggung jawab untuk meluncurkan SolO.
SolO akan diletakkan di jalur yang membawanya secara berkala pada jarak 42 juta km dari permukaan matahari. Jarak itu lebih dekat daripada planet Merkuri dan di mana suhunya dapat membakar.
Untuk bertahan, satelit itu harus bekerja di balik perisai titanium besar.
Gambar akan diambil dari lubang-lubang yang harus ditutup setelah mengumpulkan data demi mencegah komponen internal meleleh.
“Kami telah mengembangkan banyak teknologi baru untuk memastikan bahwa pesawat ruang angkasa itu dapat bertahan hingga suhu 600C,” kata Dr Michelle Sprake, seorang insinyur persisteman yang bekerja dengan manufaktur dirgantara Eropa Airbus.
“Salah satu lapisan yang memastikan pesawat ruang angkasa tidak menjadi terlalu panas sebenarnya terbuat dari tulang binatang yang dipanggang,” katanya kepada BBC News.
SolO memiliki enam alat pengambil gambar dan empat alat in-situ. Alat-alat itu akan mengambil sampel dari ledakan gas (plasma) dan medan magnet yang bergerak dari matahari dan melewati pesawat ruang angkasa itu.
“Solar Orbiter ini akan menelusuri hubungan antara apa yang terjadi pada matahari dan apa yang terjadi di luar angkasa,” jelas Prof Tim Horbury dari Imperial College London.
“Kita perlu mendekati matahari untuk melihat daerah sumber, lalu mengukur partikel dan bidang yang keluar darinya. Kombinasi ini, ditambah jalur orbit yang unik, membuat Solar Orbiter sangat kuat dalam mempelajari cara kerja matahari dan pengaruhnya terhadap tata surya.”
Laju orbit yang unik itu akan mengangkat SolO keluar dari level bidang planet untuk dapat melihat ke bawah ke kutub matahari.
“Kami belum memiliki pemahaman terperinci tentang mengapa matahari memiliki siklus 11 tahun yang mengatur aktivitas naik dan turun,” kata Prof Lucie Green dari University College London.
“Ada pengamatan yang hilang yang mencegah kita untuk mengetahui mana dari teori kita yang benar, dan pengamatan yang hilang itu adalah yang belum pernah kita lakukan dari bagian kutub.”
Para peneliti belum dapat memastikan apa kira-kira yang akan dapat dilihat. Tapi, harapannya adalah bahwa SolO akan mendeteksi sinyal ketika aktivitas matahari akan berubah.
“Kami percaya kami akan melihat indikasi siklus berikutnya dari wilayah kutub,” ujar ilmuwan proyek Esa, Dr Daniel Müller. “Ini adalah konsentrasi kecil dari medan magnet.”
Dekade ini diharapkan menjadi periode emas untuk kemajuan dalam fisika matahari.
Peluncuran SolO menyusul peluncuran wahana Parker milik Amerika Serikat yang memiliki banyak tujuan ilmiah yang sama dan bahkan beberapa jenis instrumen yang sama.
Dan di Bumi, sebuah teleskop 4m yang baru saja dibuka di Hawaii, AS. Dinamakan Daniel K Inouye Solar Telescope (DKIST), fasilitas ini dapat menyelesaikan detail di permukaan matahari yang terbentang sepanjang 30km.
Gambar “cahaya pertama” yang dirilis bulan lalu menunjukkan sel-sel plasma mendidih dengan detail spektakuler.
“SolO merupakan bagian dari keluarga misi yang mempelajari tata surya bagian dalam. Saya menganggapnya sebagai semacam orkestra. Setiap instrumen memainkan nada yang berbeda tetapi bersama-sama mereka memainkan simfoni matahari,” kata Prof Günther Hasinger, direktur sains Esa.