Percobaan: 14 Hari Self Isolate demi Bebas Virus Corona

0
684

Wabah virus corona di seluruh dunia membuat saya yang baru pulang dari Korea Selatan pada akhir Februari lalu akhirnya merasa was-was. Bagaimana tidak, Korea Selatan, salah satu negara dengan angka pasien virus corona tertinggi.

Tapi sesampainya di Jakarta dari Korea Selatan, tak ada pemeriksaan kesehatan ketat yang menyambut saya. Padahal saat itu di Korsel sendiri, Covid-19 sudah menelan banyak korban. Tapi saat itu pemerintah mengklaim bahwa memang Indonesia masih bebas corona. Nyatanya saya masih bisa bebas melenggang masuk, bahkan di imigrasi pun langsung ditempel cap masuk.

Namun, berbagai imbauan untuk berhati-hati akan penyebaran Covid-19 dan juga melakukan self isolate atau isolasi mandiri ini setelah melakukan perjalanan ke luar negeri pun mau tak mau saya lakukan.

Meski tanpa gejala dan merasa sehat, saya tetap menjalani isolasi diri sesuai arahan kantor dan aturan WHO. Maklum, ini bukan untuk saya sendiri tapi juga untuk orang di sekitar saya, keluarga, teman, rekan kerja, dan lainnya. mengingat masa inkubasi virus corona dua hingga 14 hari.

Hari 1 di Korea:

Hari pertama tiba di Korea saya berada dalam kondisi baik. Suhu tubuh saya langsung dipantau saat turun dari pesawat. Saat tiba, pihak imigrasi telah meminta seluruh turis serta warga yang baru tiba diminta mengunduh aplikasi milik kementerian kesehatan Korea.

Lewat aplikasi itu, saya mengisi data diri termasuk tempat tinggal dan kontak yang bisa dihubungi selama berada di sana. Pengisiannya pun tak main-main, usai mengisi pihak imigrasi pun mengkroscek data yang sudah diisi dengan mengonfirmasi hotel serta nomor telepon yang dibubuhkan.

Hari 2:

Dan selama tujuh hari di sana, setiap hari saya mengisi ‘Daily Self-Diagnosis’ kondisi kesehatan saya dan menyalakan GPS untuk merekam wilayah-wilayah yang saya kunjungi.

Hari 3-7:

Setiap harinya, kondisi saya dipantau melalui aplikasi kementerian kesehatan Korea. Setiap hari saya harus mengisi semua pertanyaan ya atau tidak yang sama terkait self diagnosis, dari demam (suhu tubuh), radang tenggorokan, sesak napas, sampai batuk.

Hari 8:

Ketika sampai di Indonesia, proses imigrasi yang saya lalui hanya mengisi form riwayat kesehatan lalu keluar bandara tanpa pemeriksaan atau pemantauan lebih lanjut dari pihak bandara atau kementerian kesehatan, padahal saya datang dari area yang punya masalah kesehatan.

Saya pun langsung pulang ke rumah seperti biasa.

Hari 9:

Karena tak ada pemeriksaan dari bandara maupun pemerintah, saya yang sedikit cemas karena takut tertular pun kebingungan harus melakukan apa. Akhirnya kantor pun meminta saya untuk melakukan self isolate atau isolasi mandiri. Benar-benar mandiri, tanpa panduan atau pengawasan pihak terkait.

Karena bingung, saya pun memutuskan untuk mencari informasi terkait self isolate di internet, WHO.

Sejak itu saya melakukan self isolate.

virus corona

Hari 10:

Setiap harinya, saya diminta memberi laporan singkat soal kondisi kesehatan sehari-hari. Orang tua pun kebingungan ketika melihat saya hanya mengurung diri di kamar.

Kegiatan yang saya lakukan pun sebenarnya tak jauh berbeda, hanya saja semuanya dilakukan dari rumah. Saya pun tetap menjalani rutinitas pekerjaan seperti biasa.

Namun tak dipungkiri rasa khawatir beberapa kali muncul. Apalagi, hampir setiap orang dekat termasuk keluarga mulai menanyakan kondisi saya cukup sering.

“Lo sehat kan tapi?”

“Baik-baik aja kan?”

“Gimana kondisi sekarang?”

Saya sadar itu bentuk perhatian dari mereka, tapi ketika pertanyaan tersebut kerap datang, benak saya pun berpikir, “Gimana kalau sebenarnya ada apa-apa di dalam diri saya?”

Hari Akhir Isolasi dan Surat Sehat

Hari Akhir Isolasi dan Surat Sehat

Hari 11:

Kekhawatiran terbesar adalah karena saya masih tinggal dengan orangtua dan keluarga. Saya takut kalau ternyata saya membawa virus dan tentu keluarga saya adalah orang pertama yang mungkin tertular. Pikiran mengisolasi diri di tempat lain pun sempat terbenak dalam pikiran.

Namun saya akhirnya membuat jarak dengan memisahkan gelas dan tempat makan sendiri, mencucinya sendiri, menggunakan masker di rumah, serta semakin sering mencuci tangan.

Setidaknya, buat saya itu salah satu cara untuk tak menjadikannya sebagai beban dan timbul kekhawatiran berlebih dalam diri.

Hari 12-15:

Beberapa pertanyaan serupa sejak itu saya mulai abaikan atau jawab sekenanya. Kolom komentar di akun media sosial pun saya tutup sejak saya berada di Korea Selatan hingga selama isolasi diri demi menghindari komentar asal yang mempengaruhi kesehatan mental saya.

Beberapa hari awal berada di rumah saya berusaha membuat jarak dengan keluarga. Apalagi, di hari pertama saya mulai isolasi, Indonesia mengumumkan dua warga yang positif terinfeksi virus corona Covid-19 dan itu terjadi di Depok, dekat tempat tinggal saya.

Beberapa orang semakin intens menghubungi saya, apalagi ada yang sempat-sempatnya buat bertanya dan memojokkan dan membuat saya sedih dan tertekan.

“Duh ada warga Depok yang kena, bukan lo kan?”

Jujur pertanyaan seperti itu sempat membuat mental drop beberapa kali.

Hari 15:

Selama dalam isolasi, rutinitas yang saya jalani tak jauh berbeda dari yang biasanya saya lakukan. Saya tetap bangun pagi, meski lebih santai karena tak diburu harus mandi, sarapan, dan bergegas memikirkan waktu tempuh ke kantor yang bisa sampai satu setengah jam.

Bila biasanya saya berangkat pukul 07.30 WIB, waktu itu kemudian saya gunakan untuk menyiapkan peralatan kerja. Waktu kerja saya pun akhirnya bisa mulai lebih cepat.

Keuntungan lain yakni keuangan saya jadi lebih hemat, karena saya tak perlu mengeluarkan uang untuk ongkos pergi dan pulang kantor atau makan siang.

Namun bukan berarti itu tak ada masalah yang dihadapi. Perkara alat kerja yang kurang memadai, koneksi internet lebih lemot hingga tiba-tiba mendapat pemadaman listrik bergilir, saya alami selama isolasi.

ilustrasi

Hari 16-20:

Perkara bosan pun saya hadapi, bila biasanya selesai bekerja bisa pergi dengan rekan kantor tapi kini saya harus mencari cara lain.

Sepekan awal rasanya memang lebih  bebas terlebih dari kejenuhan padatnya KRL dan kemacetan Jakarta. Namun pekan berikutnya boleh diakui cukup mati gaya. Saya bingung apa yang harus dilakukan selain bekerja di kamar, dan melakukan rutinitas lainnya sendirian.

Setidaknya sudah dua serial di layanan streaming saya selesai nonton untuk mengatasi kebosanan selama isolasi. Cara lain yakni dengan memasak makan siang dan menjajal resep-resep baru. Beruntung keponakan dan sepupu saya sering berada di rumah. Buat saya itu jadi obat untuk berinteraksi dengan orang lain, meski harus ada sedikit jarak dulu.

Hari 20- hari terakhir isolasi:

Atasan saya di kantor masih rajin menanyakan perihal suhu tubuh dan juga dilakukannya. Saya beruntung karena si bos masih sangat perhatian akan kesehatan karyawannya.

Suhu tubuh selama dua pekan isolasi hanya berkisar di 35,8 C hingga yang tertinggi di 36,7 C. Suhu tertinggi saya dapat di dua hari terakhir isolasi, itu karena saya merasa kesehatan menurun karena menstruasi. Namun suhu itu pun masih normal.

Sekitar 14 hari berlalu saya tak merasakan gejala awal COVID-19. Saya sehat.

Hari 25:

Sebelum akhirnya mulai beraktivitas di kantor dan beraktivitas seperti biasa, saya ingin benar-benar menyakinkan kalau saya memang sehat tanpa virus corona dalam tubuh.

Kantor pun mewajibkan saya untuk melakukan pemeriksaan kesehatan lebih dahulu dan mendapatkan surat keterangan sehat untuk bisa kembali bekerja. Upaya melakukan proses pemeriksaan ini pun tidak mudah.

Semula, saya mengunjungi rumah sakit terdekat, saat itu hanya diminta tes darah dan selesai mendapat surat keterangan sehat. Namun, biaya pemeriksaan itu saya tanggung sendiri karena klaim sehat disampaikan pihak rumah sakit tidak ditanggung asuransi.

Saat itu saya sudah siap kembali kantor, saya pun berani mengunjungi supermarket untuk sekadar cuci mata. Buat saya, mengunjungi supermarket menjadi kebahagiaan tersendiri setelah hanya berdiam diri di rumah selama dua pekan. Lihat-lihat dan membeli barang-barang yang sebenarnya tak dibutuhkan pun sempat terjadi.

Namun tak apalah, toh ini membuat saya senang.

Sumber : CNN [dot] COM