Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi punya pendapat senada dengan Komisioner Ombudsman Republik Indonesia Alvin Lie terkait keringanan untuk industri telekomunikasi di Indonesia.
Menurut Bobby, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bisa meringankan beban perusahaan yang bergerak di industri telekomunikasi dengan memberikan relaksasi pembayaran biaya Universal Service Obligation (USO) dan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi.
Ia menyebut relaksasi ini bukan berarti menghapuskan kewajiban pembayaran biaya-biaya tersebut, melainkan memberikan kelonggaran terhadap pembayarannya. Hal ini menurut Bobby layak diberikan terhadap perusahaan di industri telekomunikasi karena mereka punya kontribusi tersendiri terhadap kondisi ekonomi di saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini.
Pasalnya jaringan telekomunikasi menjadi salah satu tulang punggung untuk terjadinya para pegawai perusahaan bisa bekerja dari rumah, dan para pelajar untuk tetap melanjutkan kegiatan pembelajaran dari rumah.
Relaksasi bagi industri telekomunikasi ini, menurut Bobby, bisa berupa penundaan, menurunkan jumlah yang harus dibayarkan, atau dengan cara lainnya.
Seperti diketahui, industri telekomunikasi sekilas terlihat tampak diuntungkan dengan adanya PSBB di tengah pandemi Corona karena melonjaknya trafik internet. Namun ternyata dari sisi keseluruhan, pendapatannya malah menurun drastis karena banyak hotel dan kantor korporasi yang berhenti beroperasi.
APJII: Industri Telekomunikasi Mulai Kencangkan Ikat Pinggang
Asosiasi Penyelenggarap Jasa Internet Indonesia (APJII), dalam keterangan resminya, menyebut perusahaan di industri telekomunikasi saat ini sudah mulai mengencangkan ikat pinggang, meski sekilas terlihat industri ini diuntungkan dengan adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Menurut APJII, meningkatnya trafik internet karena banyak pegawai yang bekerja dari rumah, serta pelajar yang belajar dari rumah tak serta merta berdampak positif terhadap pendapatan perusahaan di industri telekomunikasi.
“Justru kami mulai kencangkan ikat pinggang,” kata Ketua Umum APJII, Jamalul Izza dalam keterangan tersebut.
APJII yang memiliki lebih dari 500 anggota perusahaan internet service provider (ISP) di seluruh Indonesia, bukanlah deretan perusahaan-perusahaan besar. Mayoritas anggota APJII adalah perusahaan ISP kecil yang notabene hidup dari model bisnis Business to Business (B2B). Di tengah pandemi Covid-19 ini, banyak perkantoran yang tutup. Mengalihkan aktivitas pekerjaan di rumah masing-masing karyawannya.
Hotel pun demikian. Tingkat rendah di masa wabah penyakit ini, menjadikan pendapatan hotel turun drastis. Imbasnya adalah atas nama efisiensi, maka pemangkasan fasilitas seperti internet pun tak bisa dihindari. Banyak dari Anggota APJII sudah terkena dampak dari pemangkasan ini yang mengakibatkan pendapatan perusahaan ISP ikut terjun hingga 50 persen.
“Perlu diketahui, lebih dari 50 persen dari anggota APJII, bisnis mereka bertumpu di sektor B2B. Melayani korporasi seperti perkantoran dan hotel. Jadi, tidak ada kata industri kami ini diuntungkan dari pandemi Covid-19. Itu adalah persepsi yang salah!” kata Jamal.
Di sisi lain, sektor infrastruktur telekomunikasi menjadi tulang punggung dalam industri dan perekonomian nasional. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2014 di mana sektor telekomunikasi dapat mendukung Transformasi Digital demi menjadikan Indonesia berbasis industri 4.0. Terlebih, di masa-masa sekarang, APJII telah membantu pemerintah untuk menyediakan akses khusus bagi pelajar dan mahasiswa untuk belajar dari rumah.
“Kami selalu mendukung program-program pemerintah yang berkenaan dengan pemerataan akses internet dan menjaga kualitas layanan untuk tetap prima terutama dalam masa-masa seperti sekarang ini. Tetapi kami juga meminta agar pemerintah juga memperhatikan industri telekomunikasi di tengah wabah ini,” ungkap dia.
Lebih lanjut, kata Jamal, APJII meminta kepada pemerintah untuk turut serta meringankan beban industri telekomunikasi di masa-masa sulit ini. Harapan besar APJII adalah agar pemerintah memberikan kebijakan khusus terkait dengan penangguhan pembayaran Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) Telekomunikasi dan kontribusi Universal Service Obligation (USO) untuk periode 2019 yang akan jatuh tempo pada akhir April 2020 ini.
“Yang kami minta di atas adalah hanya peringanan kewajiban tambahan non-pajak yang seharusnya lebih mudah diberikan. Saya lihat kementerian lain misalnya kementerian UKM dan koperasi memberikan kredit ringan dan kementerian lain memberikan berbagai stimulus kepada stakeholdernya. Kami mohon Kemenkominfo hanya memberikan peringanan kewajiban pembayaran BHP/USO diatas yang hanya merupakan pendapatan negara tambahan di luar pajak. Di saat sulit seperti ini, pajak pun bisa di relaksasi, sudah selayaknya pendapatan negara tambahan di luar pajak diberlakukan kebijakan relaksasi yang serupa,” ungkap Jamal.
“Kami punya harapan dan keinginan besar kepada pemerintah agar dapat membantu industri telekomunikasi ini untuk tetap bertahan di masa-masa sekarang. Jika pemerintah mendengar jeritan kami, maka pemerintah punya kontribusi besar bagi keberlangsungan industri ini di masa-masa mendatang. Sektor telekomunikasi adalah tulang punggung bagi terlaksananya cita-cita pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang berbasis industri 4.0,” tutupnya.