Polusi udara di Jakarta berasal dari berbagai sumber, termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batu bara. Berikut rincian sejumlah penyebab buruknya kualitas udara ibu kota.

Kualitas udara di kawasan Jabodetabek masuk kategori tidak sehat meski 50 persen aparatur sipil negara (ASN) di Jakarta kerja dari rumah (WFH).

Berdasarkan data situs pemantau udara IQAir, dalam dua hari terakhir kualitas udara di Jakarta tergolong Tidak Sehat (Unhealthy).

Situs tersebut mengungkap indeks kualitas udara di Jakarta pada Senin (21/8) berada pada angka 147, sementara pada Selasa (22/8) skornya 158. Menurut data terakhir Rabu (23/8) pukul 06.00 WIB, kualitas udara DKI punya skor 157, masih tak sehat.

Dari mana asalnya?

Kendaraan dan PLTU

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan sejumlah sumber polusi udara di Jakarta dan sekitarnya.

“Buruknya kualitas udara di suatu wilayah disebabkan oleh banyak faktor seperti kendaraan bermotor hingga sektor energi seperti PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU),” kata Plt. Deputi Bidang Klimatologi di BMKG Ardhasena Sopaheluwakan, saat dihubungi, Senin (21/8).

“Emisi yang dikeluarkan oleh PLTU memang merupakan salah satu faktor penyebab buruknya kualitas udara tapi bukan merupakan satu satunya faktor,” imbuhnya.

Menurut Ardhasena, buruknya kualitas udara di suatu wilayah merupakan akumulasi dari berbagai aktivitas manusia, seperti kendaraan bermotor hingga sektor energi seperti PLTU.

Berdasarkan hasil penelitian Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta 2020, sektor pembangkit listrik, termasuk PLTU, hanya memiliki pengaruh sebesar 5,7 persen (peringkat ketiga) terhadap buruknya kualitas udara di Jakarta.

“Sumber emisi transportasi masih menjadi sektor terbesar penyumbang buruknya kualitas udara di Jakarta,” ungkapnya.

Industri signifikan

DLH DKI mengungkap sejumlah sumber polusi Jakarta berdasarkan data 2020, yakni:

1. Transportasi (67,04 persen)

2. Industri (26,8 persen)

3. Pembangkit listrik (5,7 persen)

4. Perumahan (0,42 persen)

5. Komersial (0,02 persen)

Sementara, penelitian lembaga Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) yang dirilis pada Agustus 2020 menunjukkan industri dan PLTU dominan dalam mencemari udara ibu kota.

Menurut CREA, ada 418 aktivitas industri dalam radius 100 Km dari Jakarta. Sebanyak 136 di antaranya memiliki fasilitas beremisi tinggi.

“86 persen dari fasilitas beremisi tinggi ini beroperasi di luar perbatasan Jakarta. 62 beroperasi di Jawa Barat, 56 di Banten, 1 di Jawa Tengah dan 1 di Sumatera Selatan. Semuanya masih berada dalam radius 100 Km dari Jakarta,” bunyi hasil penelitian CREA yang bertajuk ‘Transboundary Air Pollution in Jakarta, Banten and West Java Provinces’.

Pengaruh angin

Berdasarkan pantauan Satelit TROPOMI terhadap Total Kolom NO2 (Nitrogen Dioksida), Ardhasena mengungkap ada indikasi kontribusi pencemaran udara lintas batas dari wilayah luar Jakarta.

NO2 merupakan salah satu polutan udara yang bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil.

“Hal ini dimungkinkan karena pergerakan angin di sekitar wilayah Jakarta dari sumber emisi,” jelas Ardhasena.

Namun demikian, sumber emisi lokal dari sektor-sektor lain seperti transportasi dan industri, baik di dalam maupun di area sekitar Jakarta juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kondisi kualitas udara di Jakarta.

Temuan CREA juga menegaskan keterangan BMKG soal polusi lintas batas sekaligus membantah pernyataan KLHK yang menyebut aktivitas PLTU, utamanya Suralaya, Banten, tak mencemari kualitas udara di Jakarta.

Dengan menggunakan metode meteorologi The Air Pollution Model (TAPM) dan metode penyebaran Calpuff (simulasi dengan berbagai variasi kondisi cuaca) sepanjang 2014, CREA mengungkap emisi dari sejumlah PLTU itu terbawa hingga ke Jakarta.

Dampak emisi sejumlah PLTU terhadap kualitas udara di Jakarta itu juga bergantung dengan arah, kecepatan angin, serta faktor atmosfer lainnya.

“Konsentrasi polusi di wilayah paling utara Banten tempat pabrik Suralaya berada tetap tinggi secara konsisten dan berkontribusi terhadap polusi udara di Jakarta di semua bulan dengan dampak tertinggi pada Desember sampai April,” bunyi salah satu kesimpulan penelitian tersebut.