Aliansi Serikat Pekerja Alfamart (ASPAL) memprotes kebijakan PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) atau Alfamart yang memotong gaji karyawan 10 persen atas sistem nota selisih barang (NSB).
Perwakilan dari ASPAL Suryanto mengatakan kebijakan diambil perusahaan tanpa kesepakatan dengan serikat pekerja. Ia mengaku tak terima, terlebih keputusan diambil di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi virus corona.
“Rencananya 11-13 Agustus 2020 kami akan melakukan aksi mogok kerja di kantor pusat,” ujar Suryanto, Rabu (5/8).
Suryanto mengatakan pemotongan gaji 10 persen setiap bulan dilakukan jika hasil akhir perhitungan stok opname melebihi batas toleransi kehilangan sebesar 0,02 persen.
Hanya saja, ia menyebut tak ada bukti bahwa kelalaian pekerja yang mengakibatkan terjadinya nilai selisih barang.
“Praktik tanggung renteng seperti ini tidak seharusnya dibenarkan, di mana pekerja yang harus menanggung kerugian tanpa ada bukti jelas,” terang dia.
Parahnya lagi, sambung Suryanto, pekerja Alfamart yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau mengundurkan diri juga terkena pemotongan gaji otomatis bila ada nilai selisih barang. Hal ini jelas menambah beban pekerja.
“Ini menyulitkan pekerja seperti hambatan dalam mengurus BPJS Ketenagakerjaan karena surat referensi tertahan atas dasar ia belum melunasi utang NSB tersebut,” jelas Suryanto.
Ia bersama anggota ASPAL lainnya telah mengirimkan surat bipartit kepada pihak manajemen. Namun, manajemen disebut enggan melakukan pertemuan bipartit dengan alasan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
“Padahal, pertemuan bipartit dapat dilakukan asalkan tetap mematuhi aturan protokol kesehatan,” imbuhnya.
Serikat pekerja pun kembali mengirimkan surat bipartit ke kantor pusat Alfamart. Surat kedua itu direspons oleh manajemen dengan cepat.
Di situ, manajemen menyatakan bahwa pemotongan gaji dilakukan sesuai dengan aturan pemerintah. Selain itu, Suryanto bilang manajemen menyebut pemotongan gaji boleh dilakukan hingga 50 persen.
Dihubungi terpisah, Corporate Affairs Director Sumber Alfaria Trijaya Solihin bilang pemotongan gaji dilakukan jika sisa barang di toko tidak sesuai dengan data penjualan.
Misalnya, ada pengiriman barang 10 kotak ke satu toko. Kemudian, barang itu hanya laku delapan kotak, artinya masih ada sisa dua kotak di toko tersebut.
Namun, setelah dicek yang tersisa hanya satu kotak. Di situlah perusahaan baru akan memotong gaji karyawan di toko tersebut.
“Perusahaan ada budget untuk itu, tapi ada maksimal tanggungan perusahaan. Kalau lebih dari itu jadi tanggung jawab karyawan. Mereka tanggung renteng,” jelasnya.
Pemotongan gaji pun, sambung Solihin, tak semua 10 persen. Pemotongan gaji akan disesuaikan dengan jabatan karyawan di toko.
“Misalnya ada selisih Rp200 ribu, itu karyawan ada berapa orang. Nanti dibagi juga per jabatan. Tidak harus 10 persen, tergantung besar dan kecil dari selisih barang yang hilang,” kata Solihin.
Ia mengatakan kebijakan itu sengaja diberlakukan agar ada tanggung jawab karyawan di setiap gerai. Jika tidak, maka pengaturan jumlah barang bisa jadi berantakan.
“Kalau tidak ada tanggung jawab kan nanti justru banyak karyawan yang ingin di toko saja,” ucap Solihin.
Menurut dia, manajemen tidak selalu menyalahkan karyawan jika ada selisih barang. Solihin bilang kemungkinan ada beberapa motif alasan barang hilang.
“Mungkin bisa juga pas ada barang datang karyawan tidak teliti atau mungkin ada pengutil tapi tidak terlihat. Makanya, ada budget dari perusahaan kalau barang hilang, tapi kalau lebih dari itu jadi tanggung jawab karyawan,” pungkas Solihin.
Sumber : CNN [dot] COM