Tim peneliti menyampaikan jika terjadi longsor pada gletser di Alaska, Amerika Serikat (AS), maka diprediksi dapat menyebabkan tsunami dahsyat.
Para peneliti telah memetakan pergerakan dan khawatir kemiringan yang tidak stabil pada gletser itu jauh lebih besar dari longsor sebelumnya pada 2015 dan 2017.
Gletser itu terletak di kawasan Barry Arm. Jika longsor, peneliti bisa menghasilkan tsunami yang bisa berdampak di seluruh wilayah Prince William Sound yang luasnya seratus mil.
Melansir AFP, kawasan Barry Arm telah dapat pengawasan ahli glasiologi, ahli geofisika, dan ahli seismologi dari sejumlah organisasi. Departemen Sumber Daya Alam Alaska dan pemerintah Amerika Serikat juga ikut melakukan pengawasan.
Dalam melakukan pemetaan potensi tsunami, para peneliti mengukur bagaimana gletser merespon pergerakan tanah, gempa bumi, hujan badai, dan peristiwa cuaca lainnya.
“Jadi ketika itu bergerak, risikonya akan dahsyat, artinya ini seperti melepaskan gunung pergi dengan sangat cepat ke dalam air, menggusur semua air dan kemudian menciptakan gelombang tsunami raksasa,” kata salah satu peneliti Ronald Daanen.
Hasil pemodelan menunjukkan bahwa longsoran gletser pada di Barry Arm ini bisa menimbulkan tsunami hingga 9 meter. Tsunami itu diprediksi akan merusak kawasan Whittier, Alaska.
Peneliti di Pusat Penelitian Iklim dan Kutub Universitas Ohio, Chunli Dai mengatakan longsor sebenarnya telah terjadi. Hasil pengamatan sejak 2010-2017, dia mengatakan telah terjadi pergeseran gletser sejauh 120 meter.
“Ini bukti yang sangat kuat bahwa longsor ini sebenarnya bergerak sangat cepat,” kata Dai.
Terkait dengan hal itu, para peneliti memperingatkan bahwa tsunami yang diakibatkan oleh tanah longsor kemungkinan besar terjadi kapan saja. Jika terjadi longsor, tsunami yang diakibatkan di Barry Arm bisa menghasilkan gelombang setinggi ratusan meter.
Teluk lain yang lebih jauh, seperti Passage Canal yang lebih padat penduduknya (sekitar 50 kilometer jauhnya) dapat melihat gelombang setinggi 30 kaki (9 meter).
Dengan melihat kembali citra satelit dan foto udara yang lebih tua, tim ilmuwan telah menentukan bahwa longsor di area itu bukanlah hal baru. Mereka semula menduga lereng mulai bergeser setidaknya 50 tahun yang lalu, tetapi tampaknya telah terjadi antara 2009 dan 2015, tepat saat bagian depan gletser Barry Arm mulai menyusut.
Sebagian besar studi terbaru menunjukkan tanah longsor di Barry Anm mungkin telah berhenti untuk sementara. Namun, kondisi itu bukan berarti tidak membahayakan.
Berdasarkan serangkaian citra Landsat Barry Arm selama puluhan tahun melalui Google Timelapse, peneliti melihat gletser di kawasan itu merosot ke arah air. Kemiringan bergerak maju sekitar 400 kaki (120 meter) antara tahun 2010 dan 2017. Sejak 2017, pergerakannya sangat sedikit.
Melansir Earth Observatory, Dai mengatakan berdasarkan ketinggian endapan di atas air, volume tanah yang tergelincir, dan sudut kemiringan, menghitung bahwa longsor akan melepaskan enam belas kali lebih banyak puing dan energi sebelas kali lebih banyak daripada longsor Teluk Lituya.
Sebelumnya, pada 1958, sebuah gempa bumi terjadi di Teluk Lituya, Alaska, daerah tak berpenghuni. Saat itu, lempeng-lempeng yang bergerak menyamping satu sama lain menyebabkan sebagian gunung tergelincir ke laut, menciptakan gelombang laut yang naik hingga setinggi 1.600 kaki (487,68 meter). Gelombang itu menghantam pantai dan menewaskan dua nelayan.
Sumber : CNN [dot] COM