Min Aung Hlaing, pemimpin militer yang berada di balik kudeta Myanmar, tiba di Bandara Soekarno Hatta pada Sabtu (24/04), pukul 11.00 WIB untuk menghadiri pertemuan para pemimpin ASEAN di Jakarta—pertemuan pertama sejak kudeta Februari lalu.
Kedatangan Min Aung Hlaing direkam oleh Sekretariat Presiden RI. Sang jenderal, yang mengenakan masker, disambut oleh Duta Besar Myanmar untuk Republik Indonesia Ei Ei Khin Aye dan Kepala Protokol Negara (KPN) Andy Rachmianto dengan mengatupkan kedua telapak tangan pada dada.
Jenderal Min Aung Hlaing dan delegasi terlebih dahulu menjalani PCR swab test dan penapisan kesehatan sebagai bagian dari penerapan protokol kesehatan dan selanjutnya bergerak meninggalkan Bandara Internasional Soekarno-Hatta menuju lokasi ASEAN Leaders’ Meeting {ALM) di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta.
Sekitar satu kilometer dari Gedung Sekretariat ASEAN, sejumlah orang melancarkan protes terhadap kedatangan Jenderal Min Aung Hlaing.
Aksi protes di Jakarta ini disambut ribuan komentar netizen Myanmar yang berterima kasih atas solidaritas warga Indonesia.
Kehadiran Hlaing sebelumnya banyak ditentang oleh para aktivis dan politisi pro-demokrasi yang membentuk pemerintahan bersatu, National Unity Government (NUG), April ini.
NUG mendesak negara-negara tetangga untuk tidak mengakui junta dan meminta perundingan sebaiknya dengan pihak mereka.
Di antara aktivis yang menentang kehadiran sang jendral, termasuk Kyaw Win, direktur badan HAM yang berkantor di London, Burma Human Rights Network (BHRN).
“Apakah Presiden Jokowi akan berjabat tangan dengan Min Aung Hlaing yang melakukan genosida Rohingya dan membunuh 700 orang Burma lainnya,” cuit Kyaw Win. “Undanglah pemerintahan NUG.”
Indria Fernida dari Bike for Democracy, yang menggelar demonstrasi di dekat Gedung Sekretariat ASEAN, juga menentang kehadiran Min Aung Hlaing di Jakarta.
“Kami menuntut agar militer Myanmar menghentikan segala bentuk kekerasan, penangkapan sewenang-wenang kepada masyarakat sipil, termasuk pembela HAM dan membebaskan mereka tanpa syarat. Kemudian membuka akses kemanusiaan dan memberikan jaminan dasar hidup bagi rakyat Myamar. Serta mengembalikan demokrasi di Myanmar sesuai Pemilu tahun 2020,” tegasnya.
Kekerasan di Myanmar masih terus terjadi dan ASEAN sendiri terpecah dalam mencapai konsensus untuk membantu mencari jalan menangani krisis di Myanmar.
Sejauh ini, kepala negara yang hadir termasuk Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin, dan PM Vietnam, Pham Minh Chinh. Adapun PM Thailand, Prayuth Chan-ocha mengatakan akan diwakili Don Pramudwinai, yang juga menteri luar negeri.
Dinna Prapto Raharja selaku pengamat hubungan internasional sekaligus mantan Utusan Indonesia Untuk Komisi HAM ASEAN, mengaku menyesali ketidakhadiran sejumlah kepala negara.
“Dalam dunia diplomasi, ini tanda bahwa mereka tidak menginginkan ada konsensus terjadi dalam pertemuan ASEAN Summit ini, tapi mereka harus tahu bahwa konsensus bukan segala-galanya untuk menyelesaikan masalah.”
“Justru negara-negara yang tidak hadir mengirimkan kepala negaranya akan mendapatkan sorotan internasional karena tidak menyambut baik uluran tangan Indonesia untuk membicarakan masalah ini,” papar Dinna kepada BBC Indonesia.
Dalam beberapa pekan terakhir, militer Myanmar telah menggunakan granat lontar atas warga sipil dan jet-jet tempur dalam melawan kaum pemberontak di sejumlah daerah.
Banyak pengamat yakin bahwa negara ini berada di ambang status “negara gagal”.
Karena yakin bahwa rangkaian sanksi ekonomi yang telah diterapkan hanya akan berdampak terbatas bagi pimpinan militer Myanmar, pemerintah negara-negara di Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur telah mengimbau mitra-mitra mereka di Asia Tenggara untuk memimpin upaya mengatasi krisis.
Sekilas mereka tampaknya punya banyak alasan untuk melakukannya: situasi Myanmar merupakan ancaman terbesar bagi keamanan Asia Tenggara sejak bentrokan antara Thailand dan Kamboja satu dekade lalu.