Risiko kekerasan berbasis gender siber di internet terus meningkat. Atas hal tersebut dibutuhkan cara untuk meningkatkan keamanan data pribadi masyarakat khususnya perempuan di internet.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, mengatakan risiko kekerasan berbasis gender siber di internet terus meningkat. Terutama bagi perempuan dan anak yang memiliki akses lebih sedikit dalam meningkatkan literasi digital untuk melindungi diri di internet.
“Kekerasan berbasis gender siber nyatanya jadi tantangan tersendiri karena pelaku bisa berlindung dalam akun anonim dan sulit ditemukan. Sehingga kekerasan yang tadinya terbatas fisik dan waktu kini jadi tak terbatas lagi,” katanya dalam webinar “Literasi Digital sebagai Solusi Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan,” hari Senin (31/5).
Bintang melanjutkan, berbagai upaya pencegahan dan penanganan harus ditekankan serta diperkuat secara terus menerus. Kerja sama antar sektor pemerintah, swasta, penyedia layanan teknologi, akademisi, media dan seluruh masyarakat semakin diperlukan.
“Mohon dukungan kepada seluruh pihak untuk turut memperkuat perjuangan menghentikan kekerasan berbasis gender siber. Dunia tentunya tidak akan berhenti berkembang, kita yang harus beradaptasi serta mengupayakan berbagai inovasi dalam melindungi perempuan dan anak,” ujarnya.
Masih kata Bintang, pascapandemi teknologi informasi dan komunikasi akan semakin masif digunakan. Hal tersebut membuat risiko kekerasan berbasis gender siber terhadap perempuan dan anak akan semakin tinggi terjadi jika upaya khusus tidak dilakukan.
“Perlu kita ingat bahwa tidak ada satu pun orang yang berhak mendapatkan kekerasan bagaimana pun situasinya. Oleh karena itu mari kita bersama-sama menatap satu tujuan yaitu dunia yang aman bagi perempuan dan anak di mana pun berada,” ucapnya.
Komnas Perempuan: Tak Ada Kesenjangan Akses, Tapi Ada Lonjakan Kasus Kekerasan Berbasis Gender
Sementara itu, Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Mariam F. Barata, menyebutkan bahwa kesenjangan penggunaan akses internet antara perempuan dan laki-laki hampir tidak ada.
Namun, berdasarkan data yang diperoleh dari Komnas Perempuan. Kasus kekerasan berbagis gender siber terhadap perempuan selama pandemi COVID-19 terdapat 940 kasus di tahun 2020. Sebelumnya di tahun 2019, hanya ada 241 kasus kekerasan berbasis gender siber.
“Meskipun kesenjangan itu tidak ada. Tapi ada lonjakan kasus kekerasan berbasis gender siber ternyata selama pandemi COVID-19,” ucapnya.
Dalam meningkatkan kesadaran terhadap kekerasan berbasis gender siber diperlukan edukasi kepada seluruh masyarakat tidak terkecuali perempuan. Salah satunya, literasi digital yang dilakukan oleh Kominfo bertujuan meningkatkan perhatian masyarakat terhadap data pribadi di internet. Literasi digital juga tidak hanya dilakukan secara daring tapi juga luring ke desa-desa di seluruh provinsi Indonesia.
“Tahun 2021 target 15 juta masyarakat Indonesia terliterasi dan kami tidak bisa melakukannya sendiri. Kami bekerja sama dengan berbagai stakeholder, salah satunya komunitas seperti relawan TIK untuk melakukan literasi digital kepada ibu dan anak di desa,” jelas Mariam.
Menurut Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan dibutuhkan dukungan untuk pemulihan bagi korban kekerasan berbasis gender siber.
“Teman-teman yang menjadi korban kekerasan berbasis gender siber membutuhkan dukungan kita untuk pulih. Sementara proses hukumnya bisa menjadi lambat tapi saat yang bersamaan berpotensi menjadi korban kriminalisasi,” katanya.
Bukan hanya itu, penguatan lembaga layanan juga menjadi sangat penting terutama peningkatan kapasitas dengan aparat penegak hukum terhadap korban kekerasan berbasis gender siber.
“Agar upaya kita untuk memberikan perlindungan terhadap korban menjadi lebih nyata,” pungkas Andy.