Kekhawatiran masyarakat soal kandungan gula dalam minuman siap saji yang belakangan “menjamur” dinilai sebagai “sentilan” terhadap pemerintah agar menerapkan kebijakan pengendalian konsumsi gula yang lebih komprehensif, kata peneliti kesehatan masyarakat Center for Indonesia Strategic Development Initiative (CISDI) Gita Kusnadi.
Menurut Gita, pengawasan terhadap informasi gizi dalam minuman siap saji masih lemah sehingga banyak gerai tidak mencantumkan informasi kandungan gula pada produknya.
Padahal produsen pangan siap saji yang memiliki lebih dari 250 gerai diwajibkan menyampaikan informasi kandungan gula, garam, dan lemak berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013.
“Ini sentilan buat pemerintah karena teknis pencantuman dan pengawasannya belum clear, itu satu hal yang perlu diperhatikan pemerintah dengan kondisi sekarang dengan menjamurnya produk-produk minuman siap saji yang sangat accessable buat masyarakat,” kata Gita.
Sorotan terhadap isu ini berawal ketika seorang pengguna Twitter memprotes betapa manisnya minuman yang dijual oleh gerai Es Teh Indonesia pada akhir pekan lalu.
Perusahaan lalu melayangkan surat somasi terhadap akun Twitter @Gandhoyy.
Tetapi situasi itu justru memantik perbincangan di media sosial soal kandungan gula dalam pangan, baik yang siap saji maupun yang dalam kemasan.
Kritikan itu juga memantik kecaman terhadap perusahaan yang dianggap tidak menghargai komentar konsumen dan malah mengancam.
Sementara itu, wacana untuk mengenakan tarif cukai sebesar 20% terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) belum juga diterapkan.
Menurut Gita, salah satu pemicunya adalah “kemauan politik pemerintah yang belum kuat”.
Padahal situasinya dianggap sudah “urgen”. Konsumsi minuman manis meningkat 15 kali lipat dalam 20 tahun terakhir.
Sebanyak 19,47 juta orang Indonesia menderita diabetes pada 2021 dan diproyeksikan mencapai 28,57 juta orang pada 2045.
Gita mengatakan perhatian masyarakat belakangan ini semestinya menjadi momentum bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan itu.
“Seharusnya [momentum ini] cukup menjadi dorongan pemerintah untuk menepis keraguan terkait penolakan masyarakat untuk penerapan cukai.
Tetapi, Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Askolani belum bisa memastikan apakah penerapan cukai bisa mulai dilaksanakan pada 2023 karena pemerintah “harus mempertimbangkan banyak faktor”.
Berapa batas konsumsi gula per hari?
Kementerian Kesehatan, mengacu pada pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menganjurkan konsumsi gula tambahan per orang per hari sebesar 50 gram atau empat sendok makan.
WHO bahkan mengatakan konsumsi gula tambahan di bawah 25 gram per hari akan memberi manfaat kesehatan tambahan.
Gula tambahan yang dimaksud mengacu pada monosakarida (seperti glukosa dan fruktosa) serta disakarida (seperti sukrosa) yang ditambahkan ke makanan dan minuman oleh produsen, serta gula yang secara alami ada di dalam madu, sirup, jus buah, dan konsentrat jus buah.
Pedoman itu tidak mengacu pada gula alami yang terkandung di dalam buah-buahan, sayuran segar, dan gula alami di dalam susu karena sejauh ini belum ada bukti efek samping dari konsumsi gula tersebut.
Menurut WHO, gula tambahan itu biasanya tersembunyi di dalam produk makanan dan minuman olahan, termasuk MBDK.
Minuman kemasan atau produk olahan yang dimaksud, menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah yang memiliki izin edar dan masa simpan lebih dari tujuh hari. Misalnya, minuman soda kaleng yang bisa mengandung 27 gram gula.
Di Indonesia, informasi kandungan gizi, termasuk gula, dalam minuman kemasan itu telah diatur oleh Peraturan Badan Pengawas Obat dan Minuman (BPOM) Nomor 26 Tahun 2021.
Namun belakangan ini, industri minuman berpemanis siap saji disebut CISDI mulai “menjamur” di Indonesia, mulai dari minuman boba, kopi susu, teh, dan lain-lain.
Gerai yang sedang menjadi sorotan, Es Teh Indonesia, juga sempat membagikan bahwa salah satu menunya, es teh susu nusantara, mengandung 31 gram gula.
Sedangkan minuman boba seperti Chatime mengandung 24 gram gula untuk takaran normal, meski konsumen bisa meminta takaran gula yang lebih sedikit.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 mewajibkan produsen pangan siap saji yang memiliki lebih dari 250 gerai untuk memberikan informasi kandungan gula, garam, dan lemak serta pesan kesehatan melalui informasi dan promosinya.
Namun menurut Gita, pelaksanaan dan pengawasannya selama ini belum jelas. Banyak industri pangan siap saji yang tidak secara terbuka mencantumkan kandungan gulanya.
Selain itu, belum jelas pula sanksi yang dikenakan terhadap gerai-gerai pangan siap saji yang tidak mencantumkan pangan siap saji.
“Kalau mereka sudah punya peraturan seperti itu, pengawasan dan sanksinya seperti apa, itu perlu dikaji lebih lanjut oleh Kemenkes dan BPOM,” tutur dia.
Seperti apa dampak konsumsi gula berlebih?
Dikutip dari situs Kementerian Kesehatan, tingginya konsumsi gula harian menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat, sehingga hormon insulin menjadi tidak sensitif terhadap gula.
Kadar gula dalam darah pun menjadi tinggi dan menyebabkan penyakit kencing manis. Diabetes dapat memicu komplikasi penyakit lain.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada Senin (26/9) menyebut diabetes sebagai “ibu dari segala penyakit” karena bisa memicu penyakit ginjal, stroke, jantung, hingga penyakit tidak menular lainnya.
Budi pun mengimbau masyarakat untuk mengurangi konsumsi gula.
Konsumsi minuman manis meningkat signifikan
Menurut catatan CISDI, tingkat konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan di Indonesia meningkat 15 kali lipat dari 51 juta liter pada 1996 menjadi 780 juta liter pada 2014.
Indonesia bahkan menjadi negara ketiga dengan konsumsi MBDK tertinggi di Asia Tenggara pada 2020.
Jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai 19,47 juta orang pada 2021, dan International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan jumlahnya akan meningkat menjadi 28,57 juta pada 2045.
Indonesia menjadi negara dengan kelima dengan penderita diabetes terbanyak di dunia.
Akibatnya, beban biaya kesehatan akibat penyakit tidak menular yang ditanggung pemerintah menurut data BPJS Kesehatan pada 2019 pun mencapai Rp20,27 triliun.
“Dari situ terlihat kalau pengendalian konsumsi gula dari masyarakat itu perlu dilakukan tidak hanya dari promosi oleh pemerintah, tapi perlu mendorong perubahan perilaku masyarakat lewat kebijakan yang kuat,” tutur dia.
Apakah penerapan cukai bisa jadi solusi?
Wacana untuk mengenakan cukai pada minuman berpemanis telah muncul sejak 2016.
Menurut CISDI, penerapan cukai sebesar 20% efektif untuk menurunkan konsumsi MBDK hingga 24% dan mencegah 1,4 juta kasus diabetes selama 25 tahun.
“Dengan kenaikan harga, itu akan mengurangi tingkat konsumsi masyarakat atau beralih ke produk rendah gula. Ini lah kenapa cukai kami anggap efektif karena kita mendorong perubahan perilaku masyarakat itu,” tutur Gita.
Pola serupa juga telah tampak di beberapa negara. Meksiko berhasil menurunkan jumlah pembelian MBDK sebesar 19% melalui penerapan cukai MBDK sebesar 10% dan diperkirakan akan lebih efektif bila tarif tersebut ditingkatkan.
Selain itu, kebijakan cukai MBDK di Inggris mendorong penurunan kadar gula sebesar 11% pada 2016-2017.
Gita menuturkan penerapan cukai semestinya dipandang sebagai “insentif” bagi industri seperti yang terjadi di Inggris.
“Pengenaan cukai justru mendorong pelaku usaha mereformulasi produk ke yang lebih rendah gula,” tutur dia.
Namun menurut CISDI, “kemauan politik pemerintah yang kurang kuat” membuat kebijakan itu tidak kunjung diimplementasikan sampai saat ini.
“Sejauh ini kalau di-update diskusinya pasti mengarah ke ‘kita sedang Covid dan pemulihan ekonomi’. Padahal dari Covid kita belajar banyak penyakit tidak menular yang menjadi beban ganda buat Covid, itu seharusnya jadi perhatian pemerintah bahwa penyakit tidak menular harus diatasi juga,” jelas Gita.
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Bea Cukai Askolani mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa pemerintah “harus mempertimbangkan secara komprehensif” sebelum menerapkan kebijakan itu.
Dia belum bisa memastikan apakah kebijakan itu bisa diberlakukan pada 2023 sesuai target yang pernah disampaikan oleh pemerintah sendiri. Pemerintah, kata Askolani, masih mempersiapkan perencanaannya.
“Tentunya akan melihat dari banyak faktor yang nanti dihadapi dan dijalani di tahun depan, seperti faktor kesehatan, pemulihan ekonomi nasional, perkembangan situasi global dan domestik,” tutur Askolani melalui pesan singkat.
Dalam rapat Badan Anggaran pada Selasa (27/9) DPR dan pemerintah menyepakati target penerimaan kepabeanan dan cukai 2023 senilai Rp303,19 miliar.