Pakar Bongkar AI Buat Manusia Lebih Buru-buru, Rusak Intelektualitas

0
341

Kehadiran kecerdasan buatan (AI) tak lantas membuat manusia menjadi semakin cerdas. Sejumlah pakar menyebut, AI hanya akan membuat manusia berpikir lebih cepat namun tak lantas akurat.

Dalam sebuah buku berjudul “I, Human – AI, Automation, and the Quest to Reclaim What Makes Us Unique,” profesor psikologi bisnis dan Chief Innovation Officer di ManpowerGroup Tomas Chamorro-Premuzic menyebut era AI mengharuskan otak kita untuk selalu waspada terhadap perubahan kecil dan bereaksi dengan cepat, mengoptimalkan kecepatan daripada keakuratan.

Pakar ekonomi perilaku (behavioral economist) itu menyebut fenomena tersebut sebagai mode Sistem 1 atau mode ketika manusia melakukan pengambilan keputusan yang impulsif, intuitif, otomatis, dan tanpa disadari. Dampaknya, manusia berubah menjadi kurang sabar.

Bereaksi dengan cepat atau mempercayai intuisi memang bukan sesuatu yang buruk. Masalah muncul ketika sikap tidak sabar menjadi cara utama dalam mengambil keputusan.

Dikutip dari Engadget, hal tersebut menyebabkan kita membuat kesalahan dan merusak kemampuan kita untuk mendeteksi kealpaan itu.

Tomas menyebut intuisi bisa jadi membantu, tetapi itu harus diperoleh dengan susah payah. Misalnya, para ahli dapat berpikir dengan cepat karena mereka telah menginvestasikan ribuan jam untuk belajar dan berlatih. Hasilnya, intuisi mereka telah digerakkan oleh data.

Dengan demikian mereka dapat bertindak cepat sesuai dengan keahlian yang telah terinternalisasi dan pengalaman berbasis bukti. Sayangnya, kebanyakan orang bukanlah ahli meskipun mereka sering berpikir demikian.

Sebagian besar dari kita, terutama saat berinteraksi dengan orang lain di Twitter, bertindak dengan kecepatan, ketegasan, dan keyakinan layaknya seorang ahli, menawarkan berbagai macam pendapat tentang epidemiologi dan krisis global, tanpa substansi pengetahuan yang mendukungnya.

Kehadiran AI dapat membuat pesan kita disampaikan kepada audiens dengan lebih mudah berkat informasi yang diberikannya. Sayangnya, AI bisa saja salah, dan pengetahuan kita yang terbatas bisa saja mengafirmasi informasi tersebut.

Informasi salah yang menyebar ke publik bisa dipercayai orang lain, dan menciptakan lingkaran informasi salah.

Impulsivitas digital dan ketidaksabaran secara umum itu, kata Tomas, merusak kemampuan kita untuk tumbuh secara intelektual, mengembangkan keahlian, dan memperoleh pengetahuan.

Sebuah studi akademis memperkirakan 10 persen rumor digital teratas (banyak di antaranya adalah berita palsu) menyumbang hingga 36 persen retweet, dan efek ini paling baik dijelaskan dalam istilah yang disebut ruang gema atau echo chamber.

Ruang gema adalah di mana retweet didasarkan pada narasi clickbait yang sesuai dengan pandangan, kepercayaan, dan ideologi pengguna, sampai-sampai ketidaksesuaian antara kepercayaan tersebut dan konten yang sebenarnya dari artikel bisa luput dari perhatian.

Maka dari itu, merespons lebih lambat untuk menentukan apakah sesuatu itu berita asli atau palsu, atau apakah ada alasan serius untuk mempercayai sebuah sudut pandang sangat diperlukan.

Hal ini dapat diterapkan ketika menggunakan AI agar pekerjaan yang kita lakukan dengan teknologi ini tetap cepat, tetapi akurasinya juga terjaga.

“Jika era AI tampaknya tidak tertarik dalam kapasitas kita untuk menunggu dan menunda kepuasan, dan kesabaran menjadi semacam kebajikan yang hilang, kita berisiko menjadi versi diri kita yang lebih sempit dan lebih dangkal.”

Sumber : CNN [dot] COM