Tersenyum menjadi hal yang tak bisa dipisahkan dari manusia. Biasanya, gestur itu dilakukan saat sedang bahagia dan gembira. Namun tak jarang, senyum juga ditampilkan untuk menghibur diri kala bersedih.
Itu tak sepenuhnya buruk. Pakar menemukan bahwa ‘memalsukan’ senyum bisa jadi semacam pemicu kebahagiaan.
Lantas, adakah alasan saintifik di balik jenis-jenis senyum itu?
Melansir Phillymag, Kareem Johnson, seorang profesor Psikologi dari Temple University meneliti tentang senyuman. Dalam studi pada awal kariernya, ia berfokus kepada interaksi antara proses kognitif dengan sisi emosional.
Ia menemukan bahwa senyum punya kekuatan yang menakjubkan. Dalam studinya, Johnson menyebut hasil penelitian yang lebih dahulu dibuat oleh ahli anatomi Prancis Guillaume Duchenne pada abad ke-19 yang mempelajari struktur otot wajah.
Duchenne menemukan bahwa perbedaan sesungguhnya dari senyum yang melibatkan otot orbicularis oculi, yang berada di sekitar mata, dan yang tidak.
Senyum jenis pertama bersifat sukarela, spontan sebagai reaksi dari rasa terhibur atau nikmat. Hal sebaliknya berlaku untuk senyum yang tidak melibatkan otot tersebut.
Nama Duchenne kemudian diabadikan untuk menyebut senyum asli atau yang hingga membuat area di sekitar mata berkerut. Senyum jenis itu disebut dengan Duchenne Smile.
“Pergantian emosi yang positif adalah respons yang natural terhadap Duchenne Smile. Dan perubahan emosional itu menyebabkan perubahan mental. Itu tidak terjadi dengan senyum yang [sekadar] sopan santun,” Johnson menerangkan.
Emosi yang positif itu, kata Johnson membantu manusia dalam waktu yang lama. Hal tersebut membuat manusia lebih kreatif, fleksibel, dan inklusif secara sosial.
“Jika kita sedang berada di pesta dan kita tidak mengenal siapa pun, senyum menurunkan nuansa saya vs mereka sebagai proses mental,” katanya.
Masih dalam riset menurut Johnson, Duchenne Smile juga membantu pelakunya lebih pintar, perhatian dengan lingkungan sekitar, dan menuntaskan tugas dengan lebih baik.
Studi Johnson mengungkapkan bahwa senyum bukan hanya soal melihat dunia lewat lensa metaforis melainkan perspektif yang lebih luas dan cara berpikir yang fleksibel.
“Senyum mengubah atensi Anda sehingga Anda punya perspektif besar. Beberapa keuntungan dari emosi positif ini adalah membantu membatalkan efek lanjutan dari emosi negatif seperti pikiran tertutup dan proteksi diri. Istilah lainnya, senyum sederhana membuat kita menjadi warga yang lebih baik,” katanya.
Terpisah, profesor psikologi Harvard, Daniel Gilbert mengatakan hal-hal seperti mendapatkan promosi dalam pekerjaan, mendapatkan kekasih atau tidak, dan lainnya, ternyata tidak terlalu berdampak kepada kebahagiaan seseorang.
“Sebuah studi menunjukkan sangat sedikit pengalaman yang bisa berdampak kita lebih dari tiga bulan,” katanya seperti dilansir Harvard Business Review.
Gilbert lalu memperkenalkan istilah kebahagiaan sintesis. Istilah itu digunakan untuk menggambarkan kebahagiaan yang dibuat manusia.
Meski terkesan dibuat-buat, Gilbert mengatakan kebahagiaan sitensis tidaklah buruk. Dia malah terkejut lantaran banyak orang tidak menyadari kemampuan mereka untuk menciptakan kebahagiaan.
Ia mencontohkan apabila seseorang kehilangan penglihatan atau kecelakaan. “Jika Anda tiba-tiba buta atau kehilangan keberuntungan, Anda akan menemukan bahwa ada hidup baru di balik peristiwa tersebut,” katanya.
“Anda tidak sedang membohongi diri. Anda sedang melihat yang membuat hidup Anda lebih baik, dan Anda menemukannya sehingga Anda senang,” kata Gilbert.