Bom Surabaya: ‘Saya tidak terlalu kaget Dita meledakkan diri bersama keluarganya’

0
1072

Serangkaian aksi bom bunuh diri di Surabaya mendorong sejumlah pengguna media sosial membagikan pengalaman ketika berhasil menolak bujukan untuk bergabung kelompok Islam radikal.

Kesaksian mereka ini menarik perhatian pengguna sosial lainnya dan melahirkan gelombang kesaksian serupa di media sosial seperti Facebook.

Salah-seorang yang membagikan kesaksiannya di Facebook adalah Ahmad Faiz Zainuddin, pria asal Surabaya kelahiran 1977.

Saat duduk di bangku SMA Negeri 5 Surabaya, Faiz mengaku kenal dengan Dita -tersangka pelaku bom bunuh diri bersama istri dan anak-anaknya di tiga gereja di Surabaya- dalam acara pengajian keislaman.

“Orangnya halus, enggak kasar, bahkan kawan-kawan saya bilang, lalat saja dia enggak akan membunuh,” Faiz kepada BBC Indonesia, mencoba menggambarkan sosok Dita, kakak kelasnya, yang dikenalnya 25 tahun silam dalam sebuah acara pengajian.

“Tapi senior saya itu rupanya berevolusi…”

Ahmad Faiz mengaku, saat itu, tertarik mengikuti berbagai diskusi keislaman karena ingin “menyelami” berbagai “pemikiran dan suasana batin” aktivitas tersebut.

ahmad Faiz

Semenjak SMA hingga kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya, dia mengaku mengikuti berbagai versi pemikiran dan aktivis Islam “dari yang paling radikal sampai liberal, dari Sunni, Sufi, Wahabi, Syiah, hingga Negara Islam Indonesia.”

Tetapi, “Dan dari semua versi tadi, yang paling saya khawatirkan adalah versi kakak kelas saya, almarhum Dita.”

“Saya sebenarnya tidak terlalu kaget ketika akhirnya dia meledakkan diri bersama keluarganya sebagai puncak ‘jihad’ dia, karena benih-benih ekstremisme itu telah ditanam sejak 30 tahun lalu,” tulisnya dalam akun Facebooknya.

Awal kenal Dita

Perkenalannya dengan Dita diawali keikutsertaannya dalam pengajian di SMA Negeri 5, Surabaya, yaitu kegiatan rohani Islam atau disingkat rois.

bom surabaya

Saat itu, Dita sudah lulus dari sekolah tersebut, tetapi masih aktif di kegiatan rois tersebut. “Dia termasuk senior. Dia sudah lulus, tapi masih aktif sebagai pengkader.”

Menurutnya, kegiatan rois itu tidak melulu dihadiri sebagian siswa SMAN 5, tetapi juga dihadiri sebagian siswa dari SMA lain di kota itu.

‘Dirahasiakan acaranya’

Faiz kemudian mencoba mengingat lagi kegiatan dan materi yang diperolehnya selama aktif di kegiatan seperti itu.

“Kita dibawa keluar (sekolah). Kemudian cukup dirahasiakan (acaranya). Kita itu enggak begitu tahu namanya apa, tempatnya di mana kita agak samar,” ungkapnya kepada BBC Indonesia.

Pada pengajian yang lain, yaitu kelompok Negara Islam Indonesia (NII), Faiz mengaku pernah ditutup matanya ketika menuju lokasi pelatihan.

Dita dan keluarga

“Sesampai di sana ternyata peserta pengajian di-brainwash (cuci otak) tentang pentingnya menegakkan Negara Islam Indonesia. Dan untuk menegakkan ini kita perlu dana besar. Dan untuk itu kalau perlu kita ambil uang (mencuri) dari orang tua kita untuk disetor ke mereka,” ungkapnya melalui Facebook.

Diajak ‘perang-perangan’

Seraya tertawa, Faiz mengingat lagi kegiatan “perang-perangan” yang diikutinya saat melakukan lawatan ke luar kota.

“Lucu ini, topik awalnya kita rekreasi, lalu sampai diajak perang-perangan. Renungan malam, sampai diajak menangis untuk memperjuangkan Islam garis keras.”

Seingatnya, saat latihan perang-perangan digelar, dunia internasional dikejutkan invasi AS ke Irak dan kecamuk di Balkan akibat perang etnis.

“Itu video diputar di sekolah-sekolah, di masjid-masjid tentang pembantaian orang Islam di Bosnia. Makin menggelegak darah kita.”

Di komunitas itu kemudian beredar majalah yang menggambarkan “kekerasan” di wilayah konflik tersebut.

bom surabaya

“Dan ditampilkan foto anak-anak yang berdarah-darah dan video-video yang ngeri, kemudian malam hari diajak sampai terharu, dan hati kita disayat-sayat, sudah masuk indoktrinasinya,” Faiz mengenang apa yang terjadi saat itu.

Namun demikian, dalam perjalanannya, Faiz kemudian memutuskan meninggalkan pengajian “radikal” seperti itu karena merasa “tidak nyaman”.

“Beberapa kali pengajian, kok sangat ekstrem (pemikirannya), lalu saya tinggalkan, saya keluar,” akunya.

Alasan ini pula yang membuat dia meninggalkan aktivitas rois di sekolahnya yang dipimpin Dita.

Benih-benih ekstremisme

Dalam bagian lain tulisannya, Faiz kemudian menulis: “Yang ingin saya katakan, terorisme dan budaya kekerasan yang kita alami saat ini adalah panen raya dari benih-benih ekstremisme-radikalisme yang telah ditanam sejak 30-an tahun yang lalu di sekolah-sekolah dan kampus-kampus.”

bom surabaya

Menurutnya, semua pihak kini harus menetralisir “kegilaan” ini sampai ke akar-akarnya.

“Tidak ada gunanya kita melakukan penyangkalan (denial) bahwa ini cuman rekayasa, pelakunya ndak paham Islam, ini bukan bagian dari ajaran Islam, ini pasti cuman adu domba, dan lain-lain.”

“Ini tidak lagi sebuah film di bioskop atau berita koran yang terjadi nun jauh di negeri seberang. Ini sudah terjadi di sini dan saat ini disekitar kita,” tegas Faiz yang kini memimpin lembaga training psikologi, SEFT, di Jakarta.

Di akhir tulisannya, Faiz kemudian memberikan solusi, antara lain, SMA dan kampus-kampus harus disterilkan dari gerakann bawah tanah Islam garis keras.

Diganti dengan “kemeriahan dan kegembiraan aktivitas Islam” yang menebarkan cinta dan welas asih kepada sesama manusia.

Apa komentar pengamat?

Pengamat masalah terorisme dan pimpinan yayasan Prasasti yang membina para bekas napi teroris , Nur Huda menyambut positif langkah anggota masyarakat yang membagikan pengalamannya yang berhasil menolak bujukan untuk bergabung kelompok Islam radikal.

“Artinya kebangkitan civil society untuk melawan terorisme secara nyata,” kata Nur Huda kepada BBC Indonesia, Selasa (14/05) sore.

bom surabaya

Menurutnya, kekuatan terbaik dari gerakan melawan terorisme adalah yang muncul dari orang-orang yang pernah ‘bergabung’ di dalamnya.

“Dan dari kesaksian ini, kita jadi tahu bahwa proses radikalisasi itu ternyata proses yang super lama. Apa yang kita lihat itu puncak gunung es saja,” kata Nur Huda. “Tapi akarnya itu banyak.”

Itulah sebabnya, jika perlawanan terhadap terorisme itu hanya mengandalkan negara semata, itu akan sulit untuk menyelesaikannya.

“Nah, gerakan civil society seperti ini (melalui kesaksian orang-orang yang pernah bergabung kelompok radikal), enggak perlu negara turun tangan juga,” ujarnya saat ditanya apakah pemerintah perlu menindaklanjuti gerakan ini.

“Nanti kalau negara turun tangan langsung, malah gerakan ini kehilangan kredibilitasnya,” anggap Nur Nuda.

“Jadi biarkan kegiatan ini yang organik.”

Sumber : bbc.com