Sisa-sisa bangunan Rumah Cimanggis yang berada di kawasan milik Radio Republik Indonesia (RRI) di Kota Depok dipenuhi dengan semak belukar dan pohon. Sebagian tembok dan tiang masih tegak berdiri, namun atap bangunan ini tak lagi tersisa.
Sejumlah kaca pada jendela yang berbentuk tinggi dan lebar masih tampak utuh. Motif ukiran di atas pintu depan dan belakang bangunan juga masih seperti bentuk aslinya.
Penulis sejumlah buku sejarah Batavia, Adolf Heuken SJ, mendokumentasikan bangunan rumah peninggalan era penjajahan Belanda itu ketika menyusun buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta yang terbit pada 1997.
Menurutnya, pada akhir 1980an sampai awal 1990an, bangunan Rumah Cimanggis masih utuh.
“Atapnya tinggi, bangunannya bagus sekali, halamannya luas,” jelas Heuken kepada BBC Indonesia pada Rabu (17/01).
Heuken menyebutkan Rumah Cimanggis merupakan salah satu contoh arsitektur terbaik pada akhir abad-18, yang memadukan gaya bangunan dari berbagai negara.
“Arsitektur merupakan contoh baik rumah tuan tanah abad-18 dengan atap yang tinggi, tiang batu bata yang dekat berpasangan dan tiang kayu yang menopang atap, serambi lebar supaya tidak panas,” jelas Heuken.
“Ini jendelanya gaya Louis ke XV, itu gaya Paris Prancis, yang mempengaruhi Belanda. Cukup modern pada masa itu,” ujarnya.
Selain ala Prancis, bangunan Rumah Cimanggis juga dipengaruhi gaya arsitektur Inggris. Bangunan ini didirikan pada 1775 sebagai tempat peristirahatan dan ‘penghubung’ Batavia dengan Bogor.
Pada masa itu Batavia semakin tidak sehat dan banyak orang yang meninggal karena malaria. Para pejabat VOC kemudian mulai membangun rumah-rumah peristirahatan di pinggiran Batavia yang lebih sehat.
“Kehidupan di Batavia pada abad ke-18 menjadi semakin tidak sehat. Kota menjadi sibuk, ramai dan berbau busuk. Dalam daerah yang dikelilingi tembok itu tak banyak tanah yang tersisa untuk membangun rumah besar, apalagi dengan taman yang luas,” tulis Heuken.
Menurut Heuken, pejabat Kompeni menyukai kebun, bunga dan pohon, maka kaum aristokrat berduit membangun rumah-rumah peristirahatan di luar kota.
Bangunan ini sempat ditempati Istri Gubernur Jenderal VOC Petrus Albertus van der Parra, Adriana Johanna van der Parra.
Sejarawan JJ Rizal mengatakan Rumah Cimanggis tak hanya memiliki muatan sejarah bagi Depok, tapi juga Jakarta.
“Bangunan ini dapat dikatakan merupakan awal dari kota modern di Jawa. Bisa disebut sebagai penanda awal pembentukan kota modern, yang jauh sebelum pembangunan jalan pos oleh Daendels,” jelas JJ Rizal.
Bangunan yang sempat disebut sebagai Gedong Tinggi itu, pernah menjadi markas tentara Belanda pada kurun 1950an. Kemudian pada 1967 dijadikan bagian dari kompleks RRI.
Heuken menyebutkan kehadiran rumah peristirahatan atau landhuis di sepanjang jalur Jakarta- Bogor merupakan bagian dari perkembangan kota Batavia dan sekitarnya. Pembangunan yang disertai lahan pertanian dan peternakan memicu perkembangan wilayah di sekitarnya menjadi lebih hidup.
Dia mengkritik berbagai upaya untuk merobohkan bangunan tua, bukan hanya Rumah Cimanggis, namun di Jakarta dan kota lainnya. Heuken menyebutkan menghancurkan bangunan peninggalan sejarah sama dengan menghilangkan akar budaya sebuah kota.
“Setiap kota berkembang, kalau kita melihat perkembangan itu kita harus lihat gedung dari zaman dahulu. Mengapa begitu? Mengapa orang bikin ini? Dan Jakarta perkembangannya satu per satu dibongkar, hanya karena mau modern,” keluhnya.
Awal pekan ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada wartawan menyebutkan tak masalah jika Rumah Cimanggis dihancurkan karena merupakan peninggalan gubernur jenderal yang korup.
Namun pernyataan JK dikritik oleh sejumlah sejarawan, antara lain Heuken.
“Itu (dibangun) pada akhir VOC dan seluruh VOC itu sudah agak bangkrut dari atas ke bawah, korupsi ada di udara. Kalau mau semua rumah orang koruptor itu mau dibongkar ya setengah Jakarta harus dibongkar, Istana juga (dulu) hidup gubernur yang tidak beres,” ungkap Heuken.
Ketika saya mengunjungi rumah ini pada pertengahan Januari lalu, sebagian besar tersebut telah hancur terutama bagian atap dan lantainya. Bagian bangunan yang masih tersisa ditumbuhi pepohonan dan semak belukar. Ketika itu puluhan warga Depok melakukan acara gowes sepeda bersama dengan tujuan Rumah Cimanggis.
Ketua Depok Heritage Community (DHC), Farah Diba, menyebutkan upaya lain yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap peninggalan sejarah Rumah Cimanggis, melalui petisi ‘Selamatkan Situs Sejarah Rumah Cimanggis Depok Abad 18’ di Change.Org pada 23 Desember 2017.
“Jalur formal sudah kita lakukan, jalur non formal seperti petisi itu juga dilakukan, lalu kita juga mengajak masyarakat melihat apa sih yang diributkan tentang Rumah Cimanggis ya dengan cara seperti ini,” jelas Farah.
Farah mengatakan dalam beberapa tahun terakhir bangunan tersebut semakin hancur. Kondisi itu menyebabkan para pegiat berupaya agar Rumah Cimanggis agar ditetapkan sebagai situs cagar budaya sejak sekitar tujuh tahun lalu.
“Saat itu kami mendaftarkan Rumah Cimanggis ke kantor Badan Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Serang. Jadi tujuh tahun lebih sebelum heboh Universitas Islam Internasional Indonesia,” jelas Farah.
Pendaftaran ke BPCB Serang itu, menurut Farah, merupakan tindak lanjut dari hasil mengiventarisasi situs sejarah di Depok yang dilakukan komunitas sejarah Depok pada 2012.
Menurut dia, upaya untuk mendaftarkan Rumah Cimanggis sebagai cagar budaya belum direspons pemerintah kota Depok.
Penjelasan Farah itu, membantah pernyataan tertulis juru bicara Wapres Jusuf Kalla, Husain Abdullah kepada media.
Husain menyebutkan Rumah Cimanggis sebelumnya kurang mendapatkan perhatian dari para sejarawan. Dia mengatakan setelah ada pemberitaan akan dihancurkan untuk pembangunan UIII, mendadak banyak sejarawan yang meminta pemerintah mempertahankannya.
Kepala Bidang Aset dan Sejarah Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC), Ferdy Jonathans, mengatakan banyak bangunan sejarah di Depok yang hancur dan menyebabkan ‘hilangnya’ sejarah kota bangunan ini sebaiknya dipertahankan karena banyak bangunan kuno di Depok yang hancur.
“Itu harus dijaga karena Depok minim tempat sejarah, hanya di YLCC saja. Kalau bisa ini diakses oleh masyarakat,” jelas Fredy.
Pria itu merupakan keturunan budak yang diberi kemerdekaan oleh tuan tanah Cornelis Chastelein, dan diberikan warisan berupa tanah di pinggiran Jakarta. Namun saat ini hanya tersisa di kawasan Depok Lama.
Staf ahli Menteri Agama yang juga anggota tim pembangunan Universtas Islam Internasional Indonesia, Oman Fathurahman, mengatakan akan mengkaji sejumlah masukan dari berbagai kalangan pencinta sejarah.
“Membuat master plan itu tak ada plang benda cagar budaya, jadi masih umum saja dilihat. Nanti saya liat, apakah nantinya itu gedung rektorat kah, yang pasti akan dilestarikan,” katanya.
Di sisi lain, Dirjen Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Harry Widhianto, mengatakan menilik dari usia dan latar belakangnya Rumah Cimanggis sebenarnya dapat ditetapkan sebagai cagar budaya.
“Pembangunan sekitar akhir abad ke 18 ini sudah memenuhi kriteria. Yang pertama, 50 tahun. Kedua, punya aspek historis.”
“Nah ini bisa dianggap sebagai sebuah rumah yang memenuhi kriteria cagar budaya, sehingga sebagai bangunan yang diduga sebagai cagar budaya. Kenapa diduga? Karena belum dilakukan penetapan menurut UU No 11 tahun 2010,” paparnya.
Harry mengatakan penetapan ini menjadi kewenangan dari pemerintah Depok setelah mendapatkan penetapan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten yang mencakup wilayah Depok.
Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten telah melakukan observasi terhadap Rumah Cimanggis, namun pemkot Depok belum memiliki tim ahli cagar budaya untuk melakukan kajian terhadap Rumah Cimanggis, sebelum menetapkannya sebagai situs cagar budaya.
Meski begitu pemkot dapat meminta bantuan dari tim kajian provinsi ataupun pusat berserta para pegiat sejarah. Menurut Harry, sanksi untuk penelantaran dan penghancuran peninggalan sejarah diatur dalam undang-undang. BBC Indonesia berupaya menghubungi pemerintah kota Depok namun belum memberikan respons.
Sumber : bbc.com