Teknologi blockchain sendiri dinilai lebih aman dibandingkan dengan teknologi lainnya.
“Selama ini belum ada yang bisa bobol blockchain,” tegasnya.
Pasalnya, untuk bisa membobol teknologi ini, peretas mesti membobol banyak server yang tervalidasi. Sebab, sistem blockchain menggunakan sistem server yang tersebar (terdesentralisasi). Bukan menggunakan sistem server terpusat seperti diterapkan pada pusat data (data center).
“Belum lagi satu server dengan yang saling terikat. Sehingga kalau ada perubahan, pasti ketahuan,” lanjut Kenneth.
Saling terikat, karena setiap blok pada rangkaian (chain) ini harus memiliki data yang dimiliki blok data sebelumnya. Jadi kalau ada perubahan data, semuanya berubah.
Ken kemudian mengibaratkan blockchain seperti permainan kartu domino, setiap kartu harus menyamakan dengan data kartu sebelumya.
“Bayangkan satu kartu domino itu blok isinya transaksi. Setiap blok itu punya dua angka yang nyambung dengan blok sebelumnya, nyambung lagi dengan blok sebelumya. Kalau dirubah data dari salah satu transaksi, angka itu keganti semua. Itu yang namanya blockchain,” ujar Ken.
Kemudian bagi pengguna blockchain, mereka hanya membutuhkan satu server untuk mengamankan data-data yang sudah terikat dalam blockchain.
Menurut Ken, pengguna hanya bisa melihat dan menambahkan data sebelumya. Pengguna sebelumnya tidak dapat merubah data yang telah tervalidasi.
“Misalnya ada bentuk kecurangan di transaksi yang dilakukan oleh Charlie. Kemudian Alice dan Bob lalu bisa sama sama cek transaksi ledger dari Charlie. Kalau berbeda berarti ketahuan Charlie curang. Jadi masing masing dari mereka memiliki catatan seluruh transaksi yang berada di sebuah network,” kata Ken.
Ken kemudian menjelaskan biaya perawatan teknologi blockchain dari banyaknya server ini sangat lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi yang lebih tersentralisasi.
Oleh karena itu, jika ada peretas yang mencoba membobol teknologi ini mereka membutuhkan biaya yang waktu yang sangat banyak