Media pemerintah Korea Utara mengonfirmasi Kim-Jong-un akan segera berkunjung ke Rusia untuk mengadakan pembicaraan pertama kalinya dengan Presiden Vladimir Putin.
Media pemerintah Korut menyebut Kim Jong-un sedang dalam perjalanan ke Rusia menggunakan kereta api pribadinya.
Kremlin mengatakan kedua pemimpin akan bertemu dekat Kota Vladivostok pada Kamis (25/04) dan akan membincangkan “masalah nuklir” di Semenanjung Korea.
Korea Utara menganggap penting setiap pertemuan dengan beberapa sekutu pentingnya, setelah gagal mencapai kesepakatan dalam pertemuan puncak dengan AS bulan Februari di Hanoi.
Keduanya akan mengusung agenda berbeda dalam pembicaraan yang diperkirakan akan berlangsung di kota Vladivostok, Rusia timur.
Seberapa besar pengaruh Moskow terhadap Korea Utara?
Uni Soviet adalah sekutu utama Korea Utara, yang menawarkan kerja sama ekonomi, pertukaran budaya dan bantuan. Mereka jugalah yang memberi Korea Utara pengetahuan awal tentang nuklir.
Namun sejak negara yang berjuluk Tirai Besi itu runtuh, hubungan mereka terpuruk. Dengan ikatan ideologis yang melemah, tidak ada alasan untuk perlakuan dan dukungan khusus. Dan sebagai mitra dagang reguler, Korea Utara tidak terlalu menarik bagi Rusia, karena tidak mampu menarik pasar internasional.
Sejak Rusia secara perlahan mengucilkan diri dari Barat sejak awal tahun 2000-an, beberapa hubungan sedikit meningkat. Moskow mendapati negaranya mendukung negara-negara “berdasarkan logika lama, bahwa musuh musuh saya adalah teman saya,” jelas Profesor Andrei Lankov dari Universitas Kookmin Seoul.
Korea Utara dan Rusia terakhir kali mengadakan pertemuan bilateral pada tahun 2011, ketika Presiden Dmitry Medvedev bertemu ayah Kim, Kim Jong-il.
Secara geografis hubungan keduanya memang dapat dimengerti – mereka hanya dipisahkan oleh perbatasan yang tak terlalu jauh dari salah satu kota terpenting di Rusia, Vladivostok, yang diharapkan menjadi tempat pertemuan kedua pemimpin.
Selain kedekatan perbatasan, kementerian luar negeri Rusia juga mencatat ada sekitar 8.000 pekerja migran Korea Utara bekerja di Rusia, yang menyumbang pendapatan ke negaranya. Bahkan diperkirakan jumlahnya lebih besar dari yang diperkirakan.
Di bawah sanksi PBB saat ini, semua pekerja ini harus dipulangkan ke negaranya pada akhir tahun ini.
Apa yang diinginkan Korea Utara?
Pertemuan puncak antara Kim Jong-un dan Presiden AS Donald Trump di Hanoi berakhir tanpa ada kesepakatan atau kemajuan program nuklir Korea Utara.
Tentu saja ini bukanlah hasil yang diharapkan pemimpin Korea Utara, karena awalnya ia mengharapkan pencabutan keseluruhan sanksi internasional yang merugikan ekonomi di negaranya.
“Sanksi-sanksi internasional mulai berlaku dan tidak mengubah posisi AS, sangat tidak mungkin Korea Utara akan dapat memperoleh bantuan sanksi dan meningkatkan perdagangan dengan dunia luar,” kata Prof Lankov.
Jadi, Korea Utara perlu menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang mungkin bisa membantu untuk mencapai tujuannya. Apapun bentuknya, mulai dari kemajuan yang sudah ada hingga bantuan diplomatik simbolis akan berguna bagi Pyongyang.
Alexey Muraviev, seorang professor di Curtin University di Perth, Australia, mengatakan Korea Utara harus menunjukkan kepada AS bahwa “mereka tidak terisolasi”.
“Jika mereka dapat menunjukkan bahwa masih ada kekuatan besar yang mendukungnya, mereka akan punya kekuatan untuk pembicaraan dengan AS dan China.”
Jadi Rusia menjadi pilihan yang menarik.
“Kim harus diberi kepercayaan penuh,” ujar Muraviev. “Ia cukup terampil dalam bermain diplomasi berisiko tinggi untuk kepentingan ekonomi Korea Utara – dan untuk kelangsungan rezimnya sendiri.”
Keduanya mengadakan pembicaraan soal aktivitas rudal baru untuk menekan Washington kembali ke meja perundingan.
“Strategi Korea Utara selalu berkaitan erat dengan konflik kekuatan dunia dan mendapatkan konsesi seperti itu,” Park Young-ja, seorang peneliti di Institut Korea untuk Penyatuan Nasional, mengatakan kepada BBC Korea.
“Jadi, pertemuan dengan Rusia bisa menjadi kartu yang dapat dimainkannya melawan China dan AS.”
Apa yang diinginkan Moskow?
Presiden Putin sangat ingin bertemu dengan pemimpin Korea Utara di tengah pertemuan puncak Trump-Kim, namun entah kenapa Kremlin tersingkir.
Jadi pertemuan puncak di Hanoi gagal mencapai kesepakatan, pertemuan dengan Kim Jong-un merupakan kesempatan yang baik bagi Putin untuk mengembalikan Moskow ke arena permainan.
Seperti AS dan China, Rusia tidak senang pada Korea Utara yang menjadi negara nuklir dan pada awal tahun 2000-an adalah bagian dari perundingan enam pihak yang bernasib buruk, setelah Pyongyang menarik diri dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir.
Tetapi tidak seperti Washington, Moskow ingin menerima status quo: denuklirisasi dipandang sebagai tujuan yang tidak realistis, sehingga Kremlin malah menginginkan pembicaraan dengan Pyongyang yang bertujuan menstabilkan situasi.
Keterlibatan Rusia juga merupakan masalah gengsi dan reputasi. Terlepas dari bagaimana hubungan AS-Korea Utara akan berjalan, Rusia tertarik untuk terlibat setidaknya di beberapa tingkat.
Jika Putin berhasil menguasai setidaknya beberapa tingkat dalam situasi ini, ia dapat menunjukkan bahwa Rusia masih ada di wilayah tersebut.
Bahkan akan menjadi lebih baik jika Kremlin berkontribusi dengan cara berarti untuk menyelesaikan situasi Korea Utara.
Apa kemungkinan hasil dariĀ pertemuan tersebut?
Sebagian besar kalangan memperkirakan, pertemuan antar kedua negara tersebut tidak banyak menghasilkan kesepakatan penting.
Selain mendapatkan pengakuan internasional dan pengaruh untuk pertemuan di masa yang akan datang dengan Washington, Korea Utara lebih tertarik pada soal keuangan.
“Situasi ekonomi negara itu buruk dan Pyongyang sangat ingin relaksasi dalam sanksi sehingga perdagangan reguler dapat meningkat,” kata Lankov. “Mereka juga menginginkan uang dalam bentuk bantuan.”
Namun tidak ada bantuan yang akan datang dari Moskow.
Moskow menyatakan bahwa Pyongyang adalah negara yang tidak dapat diandalkan dan tidak dapat dikelola dan tidak akan menghabiskan banyak uang, kata Lankov. Dan uang adalah yang paling dibutuhkan Korea Utara.
“Korea Utara tidak akan mendapatkan banyak dari Rusia,” Lee Jai-chun, mantan duta besar Korea Selatan untuk Rusia, mengatakan kepada BBC.
“Ekonomi Rusia berada dalam situasi yang sulit setelah sanksi atas Krimea. Pertemuan itu akan menjadi isyarat bagi pemerintahan Trump, dan kepada Korea Selatan.”
Pertemuan itu juga akan memiliki implikasi domestik, katanya. “Warga Korea Utara tahu bahwa pertemuan puncak dengan AS itu gagal, sehingga pertemuan dengan Rusia bisa menjadi ‘pertunjukan’ bagi rakyat Korea Utara.”
Dalam hal ikatan ekonomi, Rusia terikat oleh sanksi Dewan Keamanan PBB. “Pertemuan itu tidak melanggar sanksi-sanksi yang diterapkan,” kata Lankov. “Mungkin Moskow akan menutup mata terhadap beberapa pelanggaran sanksi kecil.”
Pelanggaran terbuka yang dilihat sebagai sanksi oleh Kremlin hanya akan merugikan kepentingan Rusia dengan imbalan yang sangat sedikit: Korea Utara bukan pasar ekspor yang relevan untuk Rusia. Dan pada gilirannya, Korea Utara tidak memiliki produk utama yang bermanfaat bagi Rusia.
“Jadi paling banyak, akan ada beberapa janji bantuan simbolis kecil,” kata Lankov, “dan lebih banyak percakapan dibanding dengan tindakan”.
“Moskow khawatir menghabiskan uang untuk negara yang dipandang sangat tidak dapat diandalkan, terutama pada saat Rusia sendiri menerima sanksi internasional.”
Jadi pada akhirnya, Rusia mungkin hanya bertindak sebagai suara lain yang mendesak Korea Utara agar tidak meningkatkan ketegangan, sementara Kim Jong-un akan berharap pertemuan itu akan menempatkannya dalam posisi tawar menawar yang lebih baik dengan Washington.