Boeing menderita kerugian US$4,9 miliar, atau sekitar Rp68 triliun, untuk menutupi biaya akibat larangan terbang pesawat 737 Max setelah dua kecelakaan mematikan.
Sebagian besar dari uang Rp68 triliun itu digunakan untuk memberikan kompensasi kepada pelanggan Boeing atas gangguan jadwal dan keterlambatan pengiriman pesawat.
“Kami mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengelola likuiditas kami dan meningkatkan fleksibilitas neraca kami sebaik mungkin saat kami sedang mengatasi tantangan ini,” kata direktur keuangan Boeing, Greg Smith, dalam sebuah pernyataan.
Larangan terbang ini diperkirakan akan menyedot laba yang diperoleh produsen pesawat terbesar ini dalam laporan keuangan yang diumumkan pekan depan.
Masih belum diketahui kapan 737 Max akan diizinkan kembali ke udara.
Dalam sebuah pernyataan, Boeing juga mengatakan “perkiraan terbaik saat ini” adalah bahwa 737 Max akan kembali terbang dalam tiga bulan terakhir tahun ini.
Kecelakaan pesawat di Indonesia pada Oktober tahun lalu, yang disusul kecelakaan lainnya di Ethiopia pada Maret, secara keseluruhan menewaskan 346 orang.
Dua insiden ini membuat 737 Max dilarang terbang dan Boeing harus menghadapi salah satu krisis terburuknya.
Para investigator kecelakaan memusatkan upaya mereka pada sistem kontrol pesawat dan Boeing telah bekerja sama dengan regulator untuk memutakhirkan perangkat lunaknya.
Pabrikan pesawat yang juga menghadapi pengawasan ketat atas izin pengaturan pesawat layak terbang, sudah memangkas jumlah produksi bulanan dari 53 pesawat menjadi 42 pesawat karena banyak maskapai yang menunda pembelian.
Dalam pernyataan yang sama, direktur eksekutif Boeing, Dennis Muilenburg, mengatakan: “Ini adalah momen yang menentukan bagi Boeing. Tidak ada yang lebih penting bagi kami selain keselamatan awak pesawat dan penumpang yang terbang di pesawat kami.
“Larangan terbang Max menghadirkan tantangan besar dan dampak finansial pada kuartal ini mencerminkan tantangan saat ini dan membantu mengatasi risiko keuangan di masa mendatang.”
Pembatalan penerbangan
Boeing mengatakan pihaknya terus bekerja sama dengan otoritas penerbangan untuk mendapatkan izin penerbangan 737 Max, yang diharapkan akan berada pada kuartal keempat 2019.
Namun pernyataan itu menambahkan: “Asumsi ini mencerminkan perkiraan terbaik perusahaan saat ini, tetapi kapan tepatnya pesawat itu beroperasi kembali bisa jadi berbeda dari perkiraan ini.”
Boeing juga memperingatkan bahwa jika jadwal ini meleset, dan pengiriman pesawat kembali tertunda, maka itu akan “dapat menghasilkan dampak keuangan tambahan.”
Bagaimanapun, dalam sebuah pernyataan pada hari Kamis (18/07), sekretaris transportasi AS tampak kurang yakin bahwa pesawat itu akan diizinkan terbang lagi tahun ini.
Elaine L Chao menyebut otoritas penerbangan AS (FAA), “akan mengikuti proses menyeluruh, daripada mengikuti jadwal yang ditentukan … FAA akan mencabut perintah larangan pesawat ketika dianggap aman untuk melakukannya.”
Dia tidak merujuk langsung pada pernyataan Boeing.
Analis menyadari bahwa Boeing menghadapi biaya keuangan tinggi setelah dua kecelakaan dan telah menunggu kepastian.
Harga saham Boeing di Wall Street naik 2% setelah pengumuman ini, tanda bahwa investor merasa nyaman dengan larangan terbang.
April lalu, Boeing menunda pembelian kembali sahamnya. Produsen pesawat itu mengatakan mereka menurunkan produksi karena larangan terbang 737 Max di seluruh dunia telah membuatnya dikenai biaya tambahan US$1 miliar, atau sekitar Rp13,9 triliun.
Pada Kamis (18/07), Southwest Airlines, maskapai yang menggunakan 737 Max paling banyak, bergabung dengan maskapai-maskapai lain membatalkan penerbangan hingga awal Novmber.
Langkah ini juga mendorong maskapai berbiaya rendah ini menangguhkan perekrutan pilot baru.