Secarik Catatan Perjuangan Kemerdekaan dalam Kebaya

0
1906

Kebaya lekat dengan momen adat, formal, dan ketinggalan zaman. Tak lagi banyak orang yang memakainya untuk busana sehari-hari, hanya pada perayaan tertentu yang dianggap butuh baju formal, termasuk ‘kondangan.’

Padahal aslinya, di zaman dulu kebaya adalah baju perempuan sehari-hari. Kebaya dipakai ketika pergi ke pasar, memasak, pergi bekerja, ke sawah, dan lainnya.
Secarik kain yang dijahit membentuk kebaya ini lebih dari sekadar baju biasa. Kebaya punya sejarah panjang dan memiliki peran penting dalam kemerdekaan bangsa Indonesia. Kebaya ada dalam setiap era yang dilalui Indonesia.

Ahli kesenian dan kebudayaan Jawa Dwi Woro Retno Mastuti menjelaskan catatan sejarah mengenai kebaya sudah muncul sejak zaman Mataram Kuno dalam relief Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8.

“Sejarah kebaya itu berdasarkan pemahaman Jawa itu merupakan busana sehari-hari, munculnya di relief dan naskah kuno,” kata Woro yang juga merupakan dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, kepada CNNIndonesia.com.

Kebaya

Pengamat dan dosen tata busana UPI Suciati juga menyebutkan cikal bakal kebaya sudah ada sejak zaman animisme dan dinamisme. Ketika itu masyarakat menggunakan kemben atau busana yang dililit dari pinggang hingga mata kaki, membiarkan buah dada terlihat. Persis seperti lukisan-lukisan zaman dulu yang kerap dipasang di kamar-kamar hotel. Di sana perempuan digambarkan seperti hanya memakai kain sebagai rok, tanpa penutup buah dada.

Lambat laun, kemben mulai naik menutupi buah dada pada masa Hindu-Budha. Barulah pada abad ke-14, saat bangsa Timur Tengah, Gujarat, dan Persia datang, pakaian orang Indonesia mulai menutupi bagian bahu seperti jubah.

“Modelnya seperti jubah dengan belahan di depan. Itu ada dari Sabang sampai Merauke. Jika diamati dari peta, kebaya ada di seluruh Nusantara,” kata Suciati.

Jubah inilah yang kemudian bermetamorfosis menjadi kebaya dengan detail yang berbeda-beda di setiap daerah. Di Sumatera, kata Suciati, memiliki detail lengan yang besar dan kebaya landung atau panjang. Di Kalimantan, kebaya muncul dengan kerah dan bukaan di bagian depan dengan panjang sepanggul.

Di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, kebaya memiliki ukuran yang lebih pendek, pas di badan, lengan 3/4, dan bahan yang transparan. Di Jawa ada sambungan kain yang kemudian dikenal dengan istilah kutubaru. Sedangkan Bali, ada kain panjang tipis yang diikat di pinggang.

Sementara di Sulawesi, terdapat lipatan di bagian bukaan dan dibuat dengan kain yang transparan.

“Bentuknya tidak sama, sesuai dengan wilayah. Jadi kalau kebaya Indonesia itu banyak, tapi ada struktur yang menetap sebagai ciri kebaya,” tutur Suciati.

Ciri kebaya itu yakni memiliki lubang atau lingkar leher, bukaan dibagian depan, dapat memiliki beff atau tanpa beff, dan lengan panjang atau 3/4. Pelengkap kebaya meliputi kain panjang yang dililitkan, selendang, alas kaki berupa selop, dan sanggul untuk tatanan rambut.

Saat Islam masuk ke Indonesia, selendang yang awalnya digunakan untuk menggendong bayi atau membawa sesuatu, berubah fungsi menjadi penutup kepala atau kerudung.

model kebaya modern non muslim
Sumber : https://fasnina.com

Ketika China datang, mereka juga ikut mengenakan kebaya dengan memodifikasi beberapa bagian. Seperti menggunakan bahan dasar warna yang terang dan motif bunga khas China. Kebaya ini kemudian dikenal dengan kebaya encim.

Begitu pula saat Belanda datang di era kolonial. Noni Belanda juga ikut memakai kebaya dengan warna dasar putih ditambah dengan renda-renda.

Kebaya dalam kemerdekaan

Di masa itu, beragam kebaya jadi busana yang dipakai dalam upacara adat atau kegiatan resmi, dikenakan oleh pejabat, bangsawan, ningrat, bawahan, hingga rakyat jelata.

Kebaya juga dikenakan oleh para pejuang perempuan Indonesia saat merebut kemerdekaan. Dalam penelitian yang dilakukan Suciati, tampak para pejuang menggunakan busana yang mencirikan sebagai kebaya. Mulai dari Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang, Martha Christina Tiahahu, hingga RA Kartini.

Pada saat era Kartini, kebaya yang dikenakannya menjadi populer dan melekat dengan nama kebaya Kartini.

Pelopor emansipasi wanita ini mengenakan kebaya landung, tidak transparan, polos, dan beberapa berbahan beludru. Kebaya ini memiliki lengan panjang, kerah dari tengah sampai ke depan, dan ada lipatan kain, tapi tidak memakai beff.

Setelah era Kartini, kebaya semakin populer dan menegaskan identitas bangsa Indonesia. Kebaya dikenakan Dewi Sartika, Rasuna Said, Inggit Garnasih hingga Fatmawati saat Proklamasi.

Dalam sebuah foto saat pengibaran bendera merah putih, tampak Fatmawati memakai kebaya, berkain sinjang, bersanggul dengan model disampirkan dari ujung kepala ke bahu.

“Ini sebagai pernyataan diri satu bangsa, momentumnya 17 Agustus 1945. Berkebaya menegaskan kembali identitas bangsa Indonesia dengan segala unsur dalam penampilan,” ucap Suciati.

Pasca kemerdekaan, kebaya pun ditetapkan menjadi busana nasional dalam lokakarya di Jakarta pada 1978. Kebaya sebagai busana nasional juga mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1972 tentang Djenis-Djenis Pakaian Sipildan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan.

Kebaya dipilih karena tidak mencerminkan kedaerahan; bisa dimiliki oleh setiap lapisan masyarakat; mudah didapat, mudah perawatan, dan harga terjangkau; memiliki unsur etika dan estetika berbusana.

model kebaya modern lengan lonceng
Sumber : https://fasnina.com

Hingga kini, di tengah gempuran dunia mode, di kenal sejumlah kebaya. Kebaya etnik dan kebaya adati khusus untuk acara adat. Kebaya etnik terdiri dari kebaya Kartini, kebaya encim, kebaya noni, dan kebaya kutubaru.

“Ada empat jenis kebaya yaitu Kartini itu ketemu yang lipatannya ketemu di tengah. Kebaya encim dipakai peranakan,ada bordir warna-warni di bahan dasar yang warna terang. Kebaya noni asmilasi dari belanda yang pakai renda, brokat, dan kutu baru dengan tambahan kain di depan,” kata pegiat Indonesia Berkebaya, Rahmi Hidayati.

Sumber : CNN [dot] COM