Perang Suriah: Mengapa Pertempuran Idlib Penting?

0
762

Bencana kemanusiaan sedang terjadi di bagian barat laut Suriah, tempat pasukan loyalis Presiden Bashar al-Assad menggencarkan serangan guna merebut kembali Provinsi Idlib yang masih dikuasai kubu oposisi.

Serangan udara serta operasi darat pasukan pemerintah Suriah telah memaksa hampir satu juta warga sipil mengungsi dari rumah mereka sejak Desember—jumlah pengungsian terbesar dalam satu insiden sejak perang Suriah berlangsung sembilan tahun lalu.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut pertempuran di Idlib dapat menghasilkan “banjir darah”.

Mengapa Idlib begtu penting?

Provinsi Idlib—beserta sebagian Hama, Latakia, dan Aleppo—merupakan tempat pertahanan terakhir kelompok-kelompok pemberontak dan jihadis yang mencoba menggulingkan Presiden Al-Assad sejak 2011 silam.

Kubu oposisi sempat menguasai sejumlah wilayah Suriah, namun pasukan pemerintah telah mengambil alih sebagian besar wilayah tersebut selama lima tahun terakhir dengan bantuan kekuatan udara Rusia dan milisi sokongan Iran. Kini, pasukan pemerintah hendak “membebaskan” Idlib.

Dalam beberapa tahun terakhir, gelombang pengungsi telah menggandakan populasi Idlib menjad sekitar tiga juta orang, termasuk satu juta anak-anak.

Letak Idlib juga strategis bagi pemerintah. Provinsi itu berbatasan dengan Turki di bagian utara serta dilintasi jalan raya di bagian selatan dari Kota Aleppo ke Ibu Kota Damaskus hingga ke Kota Latakia di pesisir Mediterania.

Siapa yang menguasai Idlib?

Idlib sudah pernah dikuasai berbagai faksi yang berseberangan sejak jatuh ke tangan oposisi pada 2015. Namun , kekuatan paling dominan di Idlib adalah Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang berkaitan dengan Al-Qaeda.

HTS didirikan pada 2017 oleh sebuah kelompok yang memisahkan diri dari Al-Qaeda. Oleh PBB, HTS digolongkan sebagai organisasi teroris.

Pada Januari 2019, HTS menggelar operasi perebutan wilayah Provinsi Idlib. Operasi itu mengusir sejumlah petempur pemberontak ke kawasan Afrin di Aleppo yang dikuasai faksi-faksi sokongan Turki.

Sebuah komite PBB memperkirakan pada Januari lalu bahwa HTS beranggotakan antara 12.000 sampai 15.000 petempur di Idlib dan daerah-daerah sekitar.

Dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah, HTS disokong beragam elemen—termasuk milisi Uighur China, kelompok baru yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, serta beberapa kelompok Islamis yang bertempur di bawah panji Tentara Nasional Suriah sokongan Turki.

Kelompok Negara Islam (ISIS) masih memiliki sekian ratus petempur di Idlib. Namun, faksi-faksi lain menentang kehadiran kelompok tersebut.

Apa yang mendorong pemerintah Suriah untuk menggencarkan serangan?

Idlib telah menjadi wilayah yang masuk dalam kesepakatan “de-eskalasi” antara Turki, Rusia, dan Iran sejak Mei 2017.

Kesepakatan itu meminta penghentian aksi kekerasan di empat wilayah pertahanan oposisi, termasuk Idlib; “pemisahan” kelompok jihadis dan pemberontak arus utama; dan pengantaran bantuan tidak diganggu.

Pada Oktober, Turki mengerahkan pasukan ke pos-pos pengamatan di garis depan yang dikuasai oposisi di Idlib untuk mengawasi jalannya kesepakatan. Pasukan Rusia melakoni hal serupa di wilayah yang dikuasai pemerintah.

Akan tetapi, kehadiran mereka tidak membuat pasukan pemerintah Suriah berhenti mengambil alih wilayah timur Idlib selama empat bulan ke depan.

Pasukan pemerintah lantas mengalihkan perhatian ke wilayah pertahanan oposisi di bagian selatan, yang mencakup Provinsi Homs dan bagian timur Ghouta dekat Damaskus.

Semua kawasan itu direbut kembali pada Juli 2018 dengan menghancurkan wilayah permukiman, membunuh ratusan warga sipil, dan membuat ratusan ribu lainnya mengungsi.

Banyak pendukung oposisi yang “dievakuasi” ke Idlib sebagai bagian dari kesepakatan menyerah.

Pasukan pemerintah kemudian bersiap melakoni serangan besar-besaran ke Idlib. Namun, hal ini tidak jadi dilakukan lantaran pada September 2018 terjadi kesepakatan antara Turki dan Rusia.

Kesepakatan Sochi itu menyerukan pembentukan “zona penyangga demiliterisasi” di sepanjang garis depan. Para pemberontak arus utama diharuskan menarik senjata-senjata berat dari zona tersebut. Adapun milisi jihadis diminta mundur.

Akan tetapi, kesepakatan itu tidak pernah diterapkan seutuhnya. Pasukan pemberontak dilaporkan telah menarik sejumlah senjata berat, namun milisi jihadis bertahan.

Pengambilalihan Idlib oleh Hayat Tahrir al-Sham setahun lalu diikuti dengan pertempuran baru. Pesawat-pesawat milik pasukan pemerintah Suriah dan Rusia lalu menggencarkan serangan ke berbagai wilayah yang dikuasai oposisi, sedangkan milisi jihadis menggempur wilayah yang dikuasai pemerintah.

Pada April 2019, pasukan Suriah melancarkan yang disebut Rusia sebagai serangan “terbatas” di bagian utara Hama dan selatan Idlib.

PBB mengatakan sebanyak 500 warga sipil tewas dan 400.000 lainnya mengungsi selama empat bulan sebelum gencatan senjata diumumkan.

Sebanyak 900.000 warga sipil lainnya – mayoritas dari mereka adalah perempuan dan anak-anak – telah mengungsi sejak serangan pemerintah melancarkan serangan pada Desember, menurut PBB. Pada Februari saja, sebanyak 300.000 warga telah mengungsi.

Pasukan pemerintah Suriah telah merebut kembali kota-kota besar di selatan Idlib dan menguasai jalan raya Aleppo-Latakia (M4) dan Aleppo-Damaskus (M5).

Adapun para pengungsi bergerak ke utara dan barat, menuju tempat yang dianggap aman dekat perbatasan Turki.

Turi, yang sudah menampung 3,6 juta pengungsi Suriah dan khawatir akan ada gelombang tambahan, memberikan kesempatan kepada pasukan pemerintah Suriah untuk mundur hingga akhir Februari ke belakang pos-pos pengamatan Turki atau menghadapi aksi militer Turki.

Turki telah mengirim ribuan personel militer ke Idlib dan bentrokan mematikan sudah berlangsung antara militer Suriah dan Turki. Namun, Presiden Al-Assad berikrar untuk melanjutkan serangan guna menguasai wilayah pertahanan oposisi.

Apa yang terjadi dengan warga sipil?

Koordinator Bantuan Darurat PBB, Mark Lowcock, sudah memperingatkan bahwa krisis di barat laut Suriah telah “mencapai tahap baru yang mengerikan”.

“[Warga sipil yang mengungsi] mengalami trauma dan terpaksa tidur di luar ruangan di tengah suhu sangat dingin karena kamp-kamp penuh. Bayi-bayi dan anak-anak sekarat karena dinginnya cuaca,” ujarnya.

Lowcock menyebut aksi kekerasan “tidak pandang bulu” mengingat sejumlah fasilitas kesehatan, sekolah, masjid, dan pasar turut terimbas serangan.

“Para pekerja kemanusiaan juga turut mengungsi dan terbunuh,” tambahnya.

PBB meminta negara-negara anggotanya untuk mengirim bantuan tenda, selimut penghangat, pakaian, serta konselor spesialis yang membantu menangani trauma.

Lowcock mengatakan “kisah horor kemanusiaan terbesar pada abad ke-21” bisa dihindari jika negara-negara yang berpengaruh di Suriah turut berpartisipasi menggelar gencatan senjata.

Tahun lalu, dia memperingatkan bahwa serangan besar-besaran ke Idlib dapat mengakibatkan “hilangnya nyawa manusia dalam jumlah besar—bisa ratusan, ribuan, bahkan lebih”.