Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) membuat alat bantu pernafasan atau ventilator yang ditujukan untuk menangani pasien Covid-19, yang diberi nama ventilator portabel.
Ventilator menjadi alat yang sangat dibutuhkan saat pandemi Corona di dunia. Alat ini diklaim membantu banyak pasien corona menghadapi penyakitnya.
Deputi Ka Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material BPPT, Eniya Listyani Dewi, mengatakan ventilator portabel ini ditargetkan rampung dalam waktu dua minggu ke depan, untuk selanjutnya didistribusikan ke sejumlah rumah sakit.
Untuk tahap awal, ventilator portabel bakal diproduksi sebanyak 200 unit dan proses pembuatan alat ini dibantu oleh tiga perusahaan tersertifikasi.
“Kita baru membuat dua unit dan sudah bergabung dengan tiga perusahaan. Ini harus melewati sertifikasi,” kata Eniya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (7/4).
“Tiga perusahaan ini bekerja secara paralel, mereka pun sudah memborong. Dalam waktu sekitar dua minggu lagi, kita bisa produksi 200 unit,” sambungnya.
Menyoal proses sertifikasi, nantinya alat ventilator portabel besutan BPPT bakal disertifikasi oleh Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) di bawah Kementerian Kesehatan.
Ventilator portabel masuk tahap finalisasi oleh BPFK pada Kamis (9/4), dan satu hari kemudian alat bantu pernapasan itu mulai diproduksi secara massal.
Eniya pun menjelaskan secara singkat pembuatan ventilator portabel. Desain ventilator menggunakan open source dari luar negeri.
Rancangan-rancangan tersebut diidentifikasi oleh Eniya dan tim, yang mana komponen-komponennya mudah dibuat dan paling murah. Lalu, dipilih desain ventilator yang diusung oleh salah satu perusahaan asal Eropa yaitu Oxygen.
“Berbasis pada open source Oxygen itu, kita mempertimbangkan tadi bisa murah karena komponennya bisa dari akrilirik, tidak perlu metal. Lalu bisa menggunakan motor yang bisa didapat dari motor-motor bekas yang ada di pasar loak,” jelas Eniya.
Selain menggunakan bahan akrilik, Eniya menggunakan ambu bag (alat yang berfungsi untuk memompa oksigen atau pipa berkatup).
“Hasil dari ambu bag, udaranya akan mengalir dan kita tambahkan pengontrolan tekanan. Jadi ada pembacaan tekanan udaranya, tekanan oksigen yang masuk itu lalu dikontrol untuk menstabilkan tekanan,” tuturnya.
Saat ventilator dipasang ke pasien Covid-19 dan pasien tersebut mengalami batuk, maka tekanan oksigen akan berlebihan dan ventilator mesti dilepas. Selanjutnya tekanan oksigen akan diatur dan dibaca volumenya, sehingga para tenaga medis nantinya bisa mengetahui volume oksigen yang masuk ke dalam paru-paru.
Eniya menjelaskan ada komponen yang disebut CAM yang menempel pada ambu bag. CAM ini memiliki tiga ukuran yaitu besar, sedang, dan kecil.
Ketiga ukuran itu menghasilkan volume oksigen yang berbeda-beda tiap menitnya.
“Ini yang nanti disesuaikan dengan pasien itu, apakah pasiennya kritis atau tidak. Kalau kritis, berarti dia perlu asupan oksigen yang lebih banyak setiap menitnya. Kalau hanya membantu pernafasan, pakai yang lebih sedikit,” jelas Eniya.
“Dari situ, volume dan tekanan itu sudah bisa dikontrol lalu kita tambahkan lagi setting humidity, tapi ini masih opsional,” lanjut dia.
Alasan teknologi setting humidity ini masih opsional kata Eniya karena BPPT masih menunggu ketentuan dari Kemenkes, apakah ventilator ini dipakai di bawah 2×24 jam atau 1×24 jam.
Jika penggunaan lebih dari 12 jam, maka ventilator mesti disematkan setting humidity. Namun, para dokter yang berkoordinasi dengan Eniya banyak yang menyarankan setting humidity bisa disematkan sedari awal.
Menyoal harga unit ventilator portabel, Eniya mengestimasi satu unit alat dibanderol sekitar Rp3-Rp5 juta.
“Yang kita prediksi sekitar 3-5 juta, satu unit. Kita inginkan target 3 juta tapi belum tahu industri memproduksinya (ventilator portabel) bagaimana. Maksimal pasti di bawah 5 juta,” pungkas Eniya.
Sumber : CNN [dot] COM