Saifulloh Azhar (28 tahun) punya visi mewujudkan desa pintar lewat teknologi. Nian, begitu sapaannya, memilih jalan berbeda untuk memajukannya desanya.
Saat mayoritas teman-temannya di desa Bangkok, Kediri bertani di ladang atau berdagang, Nian bermata pencaharian sebagai web developer. Kantornya, PT Dakon, berlokasi di Surabaya. Ia bekerja dari rumah.
Nian dulu berkuliah di STT Cahaya Surya Kediri. Jurusannya, S1 Teknik Informatika. Hobinya bisa ditebak, ngoding. “Mungkin hanya saya sendiri developer di daerah saya,” ungkap Nian.
Anak ke-2 dari dua bersaudara ini juga mengaku kerap disangka pengangguran. Pasalnya, sehari-hari ia hanya di depan laptop. Tidak terbayangkan oleh orang-orang di sekitarnya, ada pekerjaan semacam developer.
Masalah di desa yang belum melek digital
Asli anak desa, Nian sering merasa gemas melihat desanya. Kampungnya yang terletak 14 km dari pusat kota Kediri belum tersentuh kemajuan digital. Terutama dalam hal tata kelola pemerintahan di sana.
Beberapa masalah di desanya antara lain:
- Minimnya Penyebaran Informasi
Informasi tentang pelayanan administrasi sempat tak sampai kepada warga secara keseluruhan. Akibatnya, banyak warga tak tahu tentang program-program administrasi yang dilakukan secara kolektif
- Kurangnya Transparansi
Tanpa digitalisasi, sulit wujudkan transparansi. Warga tak bisa memantau akuntabilitas penggunaan anggaran dan kinerja aparatur setempat. Satu-satunya mekanisme transparansi anggaran, contohnya, hanya berbentuk baliho berisi laporan penggunaan anggaran. Sistem lama seperti ini tentunya sudah usang.
Visi desa melek digital
Salah satu penyebab masalah di atas adalah sulitnya menemukan profesional di bidang IT di daerah.
“Desa kekurangan SDM karena lulusan SMK/S1 yang ada tak mumpuni. Teknologi yang dipelajari di sekolah atau kampus, sudah usang. Masih ada yang pakai Java, cordova,” tutur Nian.
Karena itulah, Nian bertekad meningkatkan kapasitas developer lokal. Ia sendiri suka mencari pengalaman dan relasi sesama developer. Menurutnya, peluang di Kediri sebenarnya cukup besar.
Pada 2017 ia sempat mencetuskan Komunitas Android bernama Paguyuban Android Developer Kediri Academy. Bertahan 2 tahun, komunitas ini merangkul 25 developer setempat.
Menurut Nian, berbagi di komunitas sangat membahagiakan. Apalagi ketika rekannya yang berlatar belakang non-IT berhasil menguasai published admob. Dengan jumlah profesional IT yang bertambah dan solid di Kediri, apa tujuan Nian?
“Saya ingin mewujudkan desa pintar di kampung saya,” ujarnya.
Desa pintar adalah desa melek digital di mana para warganya bisa mendapatkan kemudahan pelayanan lewat fasilitasi IT. Warga bisa memperoleh informasi dan mengakses transparansi tata kelola desa dengan bantuan teknologi secara terintegrasi.
Berbagai cara telah ia lakukan untuk merealisasikannya. Bekal lulus dari program Google Developers Kejar (GDK) 2018 di platform Dicoding dua tahun silam, ia membuat aplikasi bernama Sipedah Jamsaren.
Aplikasi ini memudahkan warga mengurus surat keterangan. Tepatnya di kantor kelurahan Jamsaren di Kediri Timur. Dulu, warga harus bolak-balik minimal 2-3 kali untuk mendapatkan surat-surat administrasi kependudukan.
Dengan adanya aplikasi ini, warga Jamsaren cukup mengisi detail permintaan penerbitan surat di aplikasi Sipedah tersebut. Aparatur desa akan memproses dan menginformasikan kepada warga jika surat sudah selesai.
Alhasil, layanan buatan Nian ini memangkas waktu tunggu, birokrasi, serta mengurangi potensi korupsi. Keren kan?
Masuk tahun ke-3, sistem pelayanan online ini masih aktif berfungsi di desa santri tersebut.
Ingin terus berbagi dengan developer setempat
Nian tak ingin sukses sendirian. Dulu, selepas belajar Kotlin di program GDK 2018, ia mengajari penerapan source code Kotlin pada rekan-rekannya.
Mereka rata-rata terpana saat ditunjukkan perbandingan aplikasi buatannya yang berbasis Java vs Kotlin, karena jauh berbeda.
Lulusan beasiswa Alcatel Lucent Enterprise ini mengaku puas. Ia ingin selalu berbagi keahliannya untuk mencetak developer andal dari kotanya. Berikutnya, bersama Kominfo pusat ia akan fokus di program SMK Coding untuk melatih anak-anak SMK di Kediri.
Di Komunitas Bahasa Koding, ia juga mengajarkan anak-anak muda belajar bahasa pemrograman. Dan bertepatan dengan Ramadhan 2020 ini, ia isi hari-harinya dengan program ‘sedekah skill’ untuk umum.
“Manfaat sekali belajar di Dicoding. Lebih relevan daripada browsing sendiri atau masuk ke forum-forum programmer online yang bikin coding jadi gado-gado. Di Dicoding, tidak,” ujarnya.
Ia pun berharap, developer di kota kecil sepertinya dapat dukungan untuk maju. Kebanyakan SDM di desa sangat potensial tapi tak ada sarana.
Karena itu, Nian berupaya terus berbagi dan menyebarkan informasi bermacam beasiswa dan kelas gratis yang ada di Dicoding.
Mengenal profil developer desa seperti Nian, sebutan ini tepat sekali untuknya: think global act local!
* Tulisan ini merupakan salah satu artikel di Dicoding, platform pengembangan ekosistem developer di Indonesia.