Mengapa Hubungan AS dan China Lebih Dari Sekadar Perang Dingin Kedua?

0
467

Pertemuan antara pejabat senior Amerika Serikat dan China menandai momen tatap muka pertama mereka untuk mengukur dinamika hubungan dua kekuatan global terpenting.

Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, dan Penasihat Keamanan Nasional, Jake Sullivan, akan bertemu dengan diplomat senior China Yang Jiechi dan Menteri Luar Negeri Wang Yi di Alaska, Kamis (18/03).

Tidak ada persepsi keliru dalam tim yang diutus Presiden AS, Joe Biden. Jelang pertemuan, Blinken menyebut pertemuan ini “bukan dialog strategis”.

Dia berkata, saat ini AS juga tidak berniat mengadakan hubungan lebih lanjut.

“Hubungan ini,” kata Blinken, “jika China ingin menjalinnya, benar-benar harus didasarkan pada skema bahwa kami menyaksikan kemajuan dan hasil nyata terkait masalah yang menjadi perhatian kami terhadap China.”

Hubungan antara AS dan China saat ini berada pada titik terburuk dan situasi itu tampaknya belum akan berubah.

Jauh sebelum duduk pada jabatannya sekarang, Sullivan ikut menulis artikel di majalah Foreign Affairs bersama penasihat Biden untuk kawasan Asia, Kurt Campbell.

Dalam tulisan itu, mereka secara blak-blakan menyatakan bahwa “masa-masa hubungan dengan China berakhir begitu saja”.

Saat ini lumrah menggambarkan hubungan AS dan China sebagai “Perang Dingin” baru. Terminologi itu merujuk persaingan antara AS dan Uni Soviet selama beberapa dekade, pada paruh kedua abad ke-20.

Cara Anda menggambarkan hubungan antara Washington dan Beijing itu penting. Gambaran itu akan menentukan pertanyaan yang kita ajukan dan jawaban yang kita terima terkait persoalan ini.

Cara melihat hubungan kedua negara itu juga menetapkan batasan opsi kebijakan, menarik kita ke beberapa pilihan dan memblokir pilihan lainnya.

Menggunakan analogi sejarah kerap disebut dapat memperjelas pilihan kebijakan, konteks dan dilema. Meski begitu ada pula kelompok yang berpendapat bahwa pendekatan sejarah bisa berujung kontraproduktif.

Sejarah tidak terulang dengan cara ini dan perbedaan yang terjadi mungkin lebih besar daripada persamaannya.

Jika yang dimaksud “Perang Dingin” adalah persaingan hebat yang melibatkan seluruh kekuatan nasional dua sistem politik yang berlawanan, maka jelas persaingan AS-China memunculkan kembali nuansa konfrontasi antara AS dan Uni Soviet.

Strategi kebijakan luar negeri sementara pemerintahan Joe Biden yang dirilis awal bulan ini menyebut bahwa China yang “lebih tegas” adalah satu-satunya pesaing AS yang bisa menggabungkan kekuatan ekonomi, diplomatik, militer, dan teknologi untuk terus-menerusmenjadi penantang kekuatan global yang stabil dan terbuka.”

Menantang China kapan pun langkah itu diperlukan maupun bekerja sama jika itu memungkinkan adalah pendekatan AS di bawah Biden.

Di sisi lain, China juga mengambil sikap yang sama. Itu menandakan mereka menginginkan hubungan yang konstruktif, sambil terus memperkuat kepentingan mereka, seperti larangan anti-demokrasi di Hong Kong dan perlakuan tanpa malu terhadap minoritas Muslim Uighur, yang disebut Menlu AS sebagai genosida.

China hampir tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk menunjukkan penyakit sistem yang dijalankan AS.

China memanfaatkan penanganan bencana pandemi Covid-19 pada masa pemerintahan Donald Trump dan penyerbuan ke Gedung Capitol untuk mengkampanyekan bahwa model sosial dan ekonomi mereka lebih unggul.

Jadi dalam istilah yang dangkal, mungkin label “Perang Dingin” tampak sesuai dengan konstelasi AS dengan China saat ini, tapi seberapa berguna kita menggunakan perspektif tersebut?

Dalam Perang Dingin asli, Uni Soviet dan sekutunya sebagian besar terisolasi dari ekonomi dunia. Mereka tunduk pada kontrol ekspor yang ketat.

Sebaliknya, China saat ini adalah ujung tombak ekonomi global dan ekonomi mereka sangat terintegrasi dengan ekonomi Amerika Serikat.

Perang Dingin yang asli juga memiliki dimensi teknologi yang penting, terutama dalam persenjataan dan perlombaan mengeksplorasi ruang angkasa.

Adapun, persaingan AS-China melibatkan teknologi penting yang mendorong dan akan menggerakkan masyarakat di masa depan, seperti kecerdasan buatan dan 5G.

Konteks globalnya pun berbeda. Dalam Perang Dingin asli, dunia dibagi menjadi dua kubu statis, ditambah kelompok non-blok yang signifikan, yang sering dilihat oleh Barat sebagai pendukung Soviet.

Sekarang dunia pada dasarnya terdiri dari multi-kutub, tapi lembaga-lembaga liberal berada di bawah ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini memberikan China pengaruh untuk menjual sistem yang mereka jalankan.

Bagaimanapun, model Perang Dingin sangat berbahaya dalam hal yang mendasar.

Perang Dingin adalah persaingan politik setara di mana masing-masing pihak menyangkal legitimasi pihak lain. Meski AS dan Uni Soviet jarang bertikai, banyak orang tewas dalam konflik proksi ini di seluruh duni

Dalam analisis terakhir terkait persaingan ini, satu pihak benar-benar kalah, yakni saat sistem Uni Soviet tersapu gelombang sejarah.

Banyak kelompok cemas bahwa persaingan AS-China dalam istilah ideologis yang mencolok ini dapat memicu kesalahan perhitungan di kedua negara itu.

Menempatkan persaingan ini dalam kaca mata Perang Dingin juga dianggap akan memberi Beijing lebih banyak alasan untuk mengambil tindakan yang berpotensi memicu bencana demi menghindari potensi kekalahan.

China, bagaimanapun, bukanlah Uni Soviet. China jauh lebih kuat. Pada puncaknya pencapaiannya, pendapatan domestik bruto (PDB) Uni Soviet hanya sekitar 40% dari AS.

China, sementara itu, akan memiliki PDB yang sama dengan Amerika Serikat dalam dekade ini.

China adalah pesaing yang lebih kuat daripada apa pun yang dihadapi AS sejak abad ke-19. Dan hubungan dua negara ini harus dikelola selama beberapa dekade mendatang.

Ini adalah persaingan penting pada zaman ini. Analogi sejarah klise dan palsu harus dikesampingkan.

Yang terjadi saat ini pada kenyataannya bukan “tanda-tanda Perang Dingin kedua”. Ini jauh lebih berbahaya.

China sudah menjadi pesaing setara AS di banyak bidang. Dan meski belum menjadi negara adidaya global, China merupakan pesaing militer AS.

Persoalan tentang China yang dihadapi Joe Biden rumit. Tujuan kebijakan luar negeri Biden memiliki pendekatan yang bertentangan dengan China.

Bagaimana Anda menekan China untuk menerapkan perdagangan yang lebih adil, tentang demokrasi atau hak asasi manusia, sambil tetap berharap mereka bekerja sama dalam mengatasi perubahan iklim dan memastikan stabilitas di kawasan Asia-Pasifik?

Ini semua tentang mengelola persaingan strategis.

Namun walaupun nuansa kompetisi tidak boleh diremehkan, persaingan ini juga tidak boleh dilebih-lebihkan.

Klise tentang kebangkitan China dan penurunan AS, seperti semua klise lainnya, mengandung kebenaran. Tapi klise itu tidak mengungkap keseluruhan cerita.

Bisakah AS pulih dari kekacauan era Trump dan merevitalisasi demokrasi mereka?

Bisakah AS meyakinkan sekutu mereka bahwa AS secara permanen kembali sebagai pemain yang dapat diandalkan di panggung dunia?

Dan dapatkah AS secara cepat memperluas basis pendidikan dan teknologinya sendiri?

China mengambil banyak keuntungan dari situasi AS. Tapi apakah penyimpangan rezim otoriter China akan menghambat kemajuan ekonomi mereka?

Bisakah Cina mengatasi pertumbuhan ekonomi yang melambat dan populasi mereka yang menua? Dan apakah Partai Komunis mampu mempertahankan loyalitas dan dukungan masyarakat China dalam jangka panjang?

China memiliki banyak kekuatan, tapi juga banyak kerentanan. AS memiliki kelemahan besar, tapi juga dinamisme dan kapasitas yang luar biasa untuk mengembalikan kekuatan mereka.

Namun, seperti yang terlihat secara gamblang selama pandemi Covid-19, apa yang terjadi di China tidak hanya terjadi di China. China adalah pemain global yang penting bagi kehidupan kita.

Kencangkan sabuk pengaman Anda! Ini akan menjadi perjalanan yang bergelombang. Persaingan dua negara ini baru saja dimulai.